Hari ini Dimas akan datang ke rumahku. Aku sudah mondar-mandir menunggu dia datang. Ayah sudah aku beritahu sejak kemarin, sepertinya mood beliau sedang baik, buktinya dia membolehkan Dimas menemuinya. Selang sebentar suara bel berbunyi. Mbok Minah, asisten rumah tanggaku, yang membukakan pintu.
“Gimana, Mbok. Ayah masih serem gitu mukanya?”, aku berbisik-bisik dengan Mbok Minah di dapur.
“Masih, Neng. Udah, duduk sini aja dulu di dapur, sambil nunggu Bapak selesai bicara sama Mas Dimas.”
Aku mulai mengigiti kuku jariku, kebiasaan buruk kalau sedang gugup. Apakah Ayah mengijinkan? Jika tidak terus bagaimana?
“Mei.. kesini sebentar, Nak.”, Panggil Ayah.
Aku segera masuk ke ruang tamu. Raut muka Dimas tampak tidak tegang, lalu Ayah juga terlihat santai.
”Kamu mau menikah sama Dimas?”
”Em... Kalau Ayah mengijinkan, Mei bersedia, Yah.”, kataku jujur.
”Ya sudah, masuk lagi sana ke dalam, biar Ayah ngobrol lagi sama Dimas.”
Satu jam berlalu sampai suara motor Dimas meninggalkan rumahku. Celaka, batinku. Jangan-jangan Si Ayah mengusir dia. Aku mulai ketar-ketir membayangkan apa jadinya hubungan kami.
”Mei, Ayah tadi udah bicara banyak sama Dimas. Setelah diskusi alot, Ayah... ayah terpaksa..”,
”Terpaksa apa, Yah?”, aku mulai deg-degan. Panik, Grogi dan Takut nggak wajar.
”Ayah ngijinin Dimas nikah sama kamu.”
”Beneran? Ayah serius?”
Lalu mengalirlah sedikit percakapan Ayah sama Dimas, hanya sedikit karena dengan gayanya Ayah bilang selebihnya adalah obrolan antarlelaki. Intinya sih, Ayah setuju Aku dan Dimas menikah tapi setelah aku wisuda (yang itu berarti sekitar 3 bulan lagi kalau skripsiku lancar). Dimas juga ternyata sudah mendapatkan pekerjaan sejak 5 bulan yang lalu (yang bisa-bisanya aku nggak tahu). Jadi, akad nikah, here we come!
4 bulan kemudian, disinilah aku, bersiap-siap untuk pembacaan akad nikah yang sederhana di sebuah masjid dekat rumahku. Yang hadir hanya keluarga dekatku dan Dimas. Ayah tampak grogi sejak tadi, bahkan melebihi grogiku. Bolak-balik ia mengatakan aku cantik dengan kebaya warna biru ini.
Ketika penghulu masuk ruangan, kami diatur dalam posisi kami masing-masing. Pembacaan akad dimulai, kemudian ketika qabul diucapkan Dimas, aku mulai menitikkan air mata.
”Saya terima nikahnya dan kawinnya, Meisya Angelina binti Purnomo Putra dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”
”Sah?”
”Sah!”, kata para saksi pernikahan.
Aku mencium tangan Dimas, lalu menatap wajahnya. Inilah suamiku, orang yang berhak atas diriku. Aku kemudian menatap Ayah dan berjalan ke pelukannya. Ayah adalah sosok yang keras, maka ketika saat itu aku lihat ia menitikkan air mata, aku menjadi khawatir.
”Ayah sedih? Mei kan masih akan sering mengunjungi Ayah. Nanti Mei cari kontrakan yang deket sama rumah kita deh Yah. Ayah nggak usah sedih, Tuh kan, Mei jadi ikutan nangis.”, aku menghapus linangan air mata yang jatuh ke pipi.
”Ayah bahagia, Mei. Kamu sekarang sudah dewasa, Ayah rindu Ibumu, seandainya ia bisa melihat kamu sekarang, dia pasti bahagia sekali.”
Kami berpandangan lalu sekali lagi aku memeluknya dengan erat sebelum Ayah melepaskannya.
”Pergilah ke suamimu. Nanti kita sedih-sedihan lagi.”, katanya tertawa.
Ini hari bahagiaku, dan aku rasa Ayah juga bahagia. Aku berjalan ke arah Dimas, suamiku. Menikah itu tidak perlu menyamakan perbedaan, tetapi menyatukannya dengan keunikan masing-masing. Setelah kata ”Sah!” diucapkan. Maka seketika itu hidupmu akan berubah. Seperti aku.
@alvina13 #15HariNgeblogFF Hari kelima belas (2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar