Senin, 30 Januari 2012

Karena aku hanya kekasihmu

Senja memerah kala itu, mentari seakan enggan masuk peraduan dan digantikan bulan. Sinarnya masih memancar, meski takdir memaksanya untuk pulang.

“Kembalilah padaku, aku membutuhkanmu”, kamu berkata pelan di telingaku.

Ini pertemuan pertama kita setelah 3 tahun lalu kamu begitu saja meninggalkanku. Setelah sakit itu, kini kamu minta kembali padaku?

“Kenapa sekarang? Istrimu tak sanggup lagi memuaskanmu?”, aku menyindirnya. Rasanya masih aku ingat kala siang itu di pelataran kampus kamu memberikan undangan pernikahan. Aku kamu tinggalkan begitu saja. Tidak tahukah kamu pandangan memelas dari para sahabat, keluargaku serta beberapa dosen yang sering menyindirku?

“Maaf, tapi aku masih mencintaimu, Nin.”, kamu menggenggam tanganku.


Sialnya aku juga masih mencintaimu. Jika banyak yang berkata bahwa cinta itu buta, maka demikianlah adanya. Aku mengangguk, mengiyakan ajakanmu. Biarlah aku menjadi kekasih gelapmu. Logika tak lagi tersangkut di dalam hatiku.


Semenjak pertemuan itu, kamu mulai sering menghubungiku. Kita bercanda dalam barisan pesan manis dan deretan ucap kata. Meski waktu memburu seperti mangsa yang dikejar massa, namun adrenalin terlalu menguasai kita.

“di luar lagi turun hujan.”, aku berbisik di telingamu kala itu. Pertemuan kesekian yang kita lakukan diam-diam.

“Lalu?”

“Setiap aku bersamamu, hujan pasti selalu turun. Kenapa ya?”

“Mungkin langit turut bersedih atas hubungan kita ini.”

“Lebih tepatnya bersedih atas penderitaanku.”, aku melepaskan pelukanmu lalu memandang wajahmu.

“Kamu sedih?”

“Aku Cuma bisa jadi kekasih gelapmu, kamu pikir aku bahagia dengan status itu, Ndre?”

Kamu terdiam lama.

“Setelah hujan pasti ada pelangi, kan?”, kamu menggandengku ke balkon kamar hotel kita saat itu.

“Terus?”

“Kata kamu tadi, setiap kita bersama, hujan selalu turun.”

“Iya. Lalu hubungannya apa?”

“Semoga saja meski kamu sekarang ini sedih. Akhir cerita kita nantinya bahagia, seperti indahnya pelangi.”

Aku tersenyum, ah kamu memang selalu suka menaburkan indahnya janji, membangkitkan manisnya kenangan.


Hari ini tadi, mendung seharian menggelayuti langit di kotaku. Sepertinya ia tahu bahwa aku dan kamu akan bertemu lagi kali ini. Merayakan tepat setahunnya hubungan kita, meski aku juga masih tak paham untuk apa merayakan hubungan yang diam-diam dibina?

“Maaf aku terlambat, langitnya gelap banget. Tadinya aku mau membatalkan pertemuan kita, tapi nggak jadi.”

“Kenapa? Kamu sudah terlalu merindukanku, ya?” , lagi-lagi kamu merayu.

Kamu memelukku, memagut dalam-dalam bibirku. Kalau saja aku bisa menghentikan waktu, aku akan membiarkan ia mengabadikan momen ini saat bersamamu.

“Ndre.”

“Hmm. Kenapa, Nin?”

Aku mulai salah tingkah, memandang wajahmu adalah sebuah anugerah tak terkira yang bisa kunikmati lagi, dan kini haruskah aku mengambil keputusan ini?

“Ndre, Aku besok pergi ke Surabaya.”

“Berapa hari?”

“Aku dipindahkan ke kantor cabang di sana.”

“Kok kamu baru bilang sekarang?”, kamu memandangku curiga.

“Aku mau kita pisah aja mulai dari sekarang.”

“Kamu… kamu apa? Minta pisah?”

“Kembalilah ke keluargamu, Ndre. Setiap kali aku berduaan denganmu, satu sisi hatiku bahagia. Tapi sisi lainnya merasa terluka. Aku nggak mau istri dan anakmu merasakan kekecewaan yang sama denganku seperti hari itu dulu. Ketika kamu tiba-tiba memutuskan hubungan kita.”


Kamu terdiam. Aku tak sanggup menahan air mata yang mengalir di wajahku. Rasanya sakit, perih memang. Namun aku tahu hubungan ini harus diakhiri.

Aku berdiri dan mengecup dahimu. Melepaskan genggam erat tanganmu.


“Aku suka bibir ini, aku suka mata ini, aku suka kamu perlakukan seperti kekasihmu, Ndre. Tapi aku sadar bukan aku yang sebenarnya menjadi pasanganmu. Meski mungkin semakin sulit melupakanmu, namun ini harus diakhiri.”

Aku berjalan membuka pintu kamar dan tak mau menoleh kembali padamu meski kamu saat itu memanggil namaku. Tahu bahwa kamu tak mengejarku, aku merasakan sesak dan sakit di dada, tapi toh tak ada guna.

Ketika keluar dari hotel, hujan sudah berhenti. Pelangi membingkai cantik langit yang mulai senja. Aku tersenyum, setelah hari ini, aku tahu semuanya akan baik-baik saja.

Ketika Pelangi muncul di Langit Senja

Aku berlari menerobos pekatnya hutan. Semak-semak tinggi dan pohon-pohon yang malang melintang di jalan cukup mengganggu, tapi aku harus pergi ke sana. Ke kaki pelangi.


Akhirnya setelah seminggu lebih tak turun hujan, kali ini langit sedang murah hati. Sejak siang tadi dia meneteskan hujan yang teramat deras, dan aku menunggunya berhenti. Agar bisa menemukan pelangi. Lalu aku melihatnya, dengan indah ia membingkai langit yang mulai senja. Selalu begini, pelangi yang ada di kala senja itu lebih lama penampakannya daripada pelangi di kala siang atau pagi.


Aku berlari sambil sesekali mengamati langit. Jangan, jangan pergi dulu, pelangi. Aku belum tentu bisa menemukanmu esok hari. Padahal aku sudah begitu rindu dengan kekasihku. Para penjaga puri membawanya pergi, ke sana ke negeri di kaki pelangi.

“Aku benci pelangi.”, katamu suatu hari.

“Kenapa?”, tanyaku.

“Membuatku ingat rumah.”

“Kamu aneh, bukankah harusnya hal-hal yang mengingatkan rumah itu adalah kebahagiaan? Lalu kenapa kamu malah membencinya ? “

“Bahagia? Sejak ibu tiriku masuk ke istana Ayahku, tak ada lagi kata bahagia di sana.”

“Ibu tirimu kejam? “

“Lebih dari itu. Ia seorang penyihir buruk rupa. Seluruh penghuni istana yang setia terhadap Ayahku terpaksa disiksa di ruang bawah tanah. Aku memilih melarikan diri dari istana yang terkutuk itu.”

Semenjak itu, aku tak pernah membicarakan lagi pelangi, apalagi pelangi yang muncul saat senja. Sampai hari itu, saat Para penjaga berhasil menemukan persembunyian Ela dan aku.


“Pergi. Tinggalkan aku, Lang. “, kamu menjerit putus asa saat mereka menarik dan mengikat kedua tanganmu dengan tali.

Aku berusaha mencegah, menendang keras muka seorang penjaga. Memukul membabi buta, aku tak mau menyerahkan kekasihku begitu saja. Meski ternyata kecerobohanku berakibat sebaliknya. Sebuah pisau dihunuskan di leherku, lalu mereka berbicara.


“Putri Pelangi, kalau engkau menurut kepada kami, maka lelaki ini akan kami bebaskan. Namun jika tidak, maka jangan harap kami akan membiarkannya melihat matahari esok pagi. “

Ketika Ela menganggukkan kepalanya dan berubah menjadi penurut, jiwa kelaki-lakianku runtuh. Bagaimana bisa aku dijadikan umpan dan tahanan untuk mendesak kekasihku pulang ke tempat yang paling dibencinya? Aku mencoba berontak, namun jeri juga rasanya melihat pisau itu. Maka aku membiarkan kekasihku pergi, meski aku melihat air mata dan ucapan selamat tinggalnya yang menyiksa.


Aku dibiarkan hidup, sementara belahan hatiku menderita. Bagaimana bisa aku hidup dengan kenyataan itu? Maka keesokan harinya aku pergi ke kota dan menyiapkan perbekalan sambil menunggu pelangi tampak.

Itulah alasanku pergi mengejar kaki pelangi. Dan nampaknya sedikit lagi aku berhasil.


Entah sudah berapa pelangi yang kukejar, yang pasti telah lewat 12 purnama di perjalananku. Namun ketika akhirnya aku melihat negeri kaki Pelangi, aku puas berhasil sampai ke sini.

Sebuah negeri yang kecil ternyata, namun istananya jauh lebih besar dari yang aku sangka. Aku mencoba mencari kabar keadaan Ela di dalam istana, namun bagaimana caranya? Sebuah gerobak pembawa jerami lewat di depanku, arahnya seperti akan masuk ke Istana. Mungkin akan dipergunakan untuk kuda-kuda di istal. Maka diam-diam aku menyelinap masuk ke dalam rimbunan tumpukannya.

Ya, aku berhasil masuk istana. Meski bau kastil ini menyengat, aku masih harus mencari jalan untuk menemui Ela dan mengajaknya pergi. Ah, ada seorang penjaga lewat, mungkin aku bisa menggunakan seragam miliknya. Aku menubruknya dari belakang, tangannya kupelintir lalu kubuat dia pingsan. Setidaknya itulah yang aku ingat sebelum aku turut tak sadar.


Begitu bangun, aku merasakan pusing yang sangat.

“Di mana aku?”, kepalaku berdentam-dentam seperti baru dipukul dengan palu.

“Kamu siapa? Berani-beraninya penyelundup masuk ke wilayaha Istana!”, seorang lelaki memaksaku berdiri.

“Aku Langit. Aku mencari Putri negeri kalian, Pelangi. Kembalikan dia padaku!”

“Tidak ada yang bernama Putri Pelangi!”

“Tunggu sebentar, tadi dia bilang, namanya Langit? Ia mencari Putri Pelangi?”, seorang gadis berparas jelita bertanya kepada lelaki yang menginterogasiku.

“Iya, Putri.”, jawab lelaki itu.

“Tidak. Ini tidak mungkin, tunggu sebentar Pengawal. Jangan siksa dulu orang ini!”, gadis itu masuk lalu setelah lama menunggu, ia datang lagi membawa sebuah kotak berwarna cokelat muda.


“Kamu Langit kan?”, ini milikmu. Gadis itu menyerahkan kotak tersebut padaku.

Aku membuka isinya, sebuah surat terlipat rapi di dalamnya.


Langit, ketika kamu membaca surat ini berarti kita memang tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Saat aku menulis surat ini, aku telah berhasil menyingkirkan nenek sihir yang bersemayam di istana Ayahku. Setelah aku kembali ke negeri ini, aku berhasil menggerakkan pasukan untuk melawan wanita itu. Tampuk kepemimpinan berhasil aku selamatkan, namun aku tak bisa kembali mencarimu. Aku tak berani membayangkan jika kamu ternyata sudah melupakanku. Ketahuilah, aku selalu mencintaimu. Tanpa pernah berkurang sejak dulu. Aku selalu meminta hujan turun dan menyisakan pelangi yang lama saat senja, agar aku bisa mengenang kebersamaan kita dulu. Dan sedikit harap bahwa kamu akan menyusulku ke sini.

Yang selalu mencintaimu,

Ela.


Aku tak percaya apa yang aku baca. Bagaimana bisa ini terjadi? Tidak mungkin!

“Mana Ela? Kembalikan Ela !”, aku menjerit di hadapan gadis itu.

“Dengar, aku Putri negeri ini. Ela adalah nama kakak dari nenek buyutku. Sejarahnya melegenda, meski sekarang mungkin sudah banyak orang yang melupakannya.”, gadis itu menjelaskan.

“Tunggu. Apa maksudmu?”

“Berapa purnama menurutmu sejak kepergian Ela?”

“Aku rasa 12.”

“12 purnama di duniamu sama seperti 120 tahun di negeriku.”


Seketika aku merasa lelah. Perjalananku yang panjang ternyata berakhir di sini. Aku melihat pisau yang terselip di pinggang seorang pengawal. Aku tarik lalu kutancapkan di dadaku.


Baiklah, Ela, aku datang menemuimu.


(diikutkan dalam #Proyek27 dengan tema Langit, Senja, Pelangi )


Jumat, 27 Januari 2012

Cerita tentang Cinta (Kuis Sanna Shop)

Aku pernah menyukai seorang pria. Sebut saja dia Cinta. Mencintai Cinta bukanlah suatu hal yang sulit, ia baik, ramah dan kebanyakan wanita akan langsung berdebar begitu Cinta memanggilnya. Bukan, bukan debar ketakutan, tapi lebih berupa debar yang membuat wajah seketika merona.

Cinta memang tampan, hanya sayangnya dia tipe lelaki yang sulit untuk jatuh cinta terhadap wanita. Aku pernah mendekatinya dan mengungkapkan perasaanku terhadap dia.Jawabannya hanya senyum, entah mengapa Cinta tak terkejut. Seakan dia sudah tahu bahwa aku akan “menembak” dia duluan.


“Aku nggak pingin punya Pacar, Na.”, begitu jawab Cinta saat itu.

“Kenapa?”

“Aku masih menikmati kebebasanku. Aku tak mau secepat ini terikat dengan wanita.”


Aku yang saat itu ditolak mentah-mentah tentu saja kecewa. Rasanya ingin membenci dia karena menolak pengungkapan cintaku. Apalagi aku wanita, jarang kan Wanita “nembak” Pria duluan?

Tapi apa mau dikata, Cinta tetaplah Cinta. Ia masih pintar menebar senyum dan menumbuhkan asmara di kalangan kami teman wanitanya.


Suatu hari aku terpaksa pindah ke luar kota. Lama rasanya tak berhubungan lagi dengan Cinta. Kabarnya diam-diam aku tanyakan lewat seorang sahabat yang rumahnya dekat dengan rumah Cinta. Mengapa aku tidak bertanya langsung ke Cinta? Malu rasanya, apalagi kalau sudah ditolak mentah-mentah sama Cinta. Masa masih keukeuh pedekate? Sahabatku bilang, sekarang Cinta sudah berubah. Dia tidak lagi ramah seperti dulu, wajahnya juga kerap dirundung sendu.

Sampai aku dapat kabar dari Sahabatku, kalau Cinta melanjutkan study ke luar kota. Setelah itu Cinta jarang pulang ke rumah. Hidupnya sekarang lebih banyak dihabiskan di kota yang dia gunakan untuk menimba ilmu. Keluarganya juga menjadi tertutup, jarang bertegur sapa dengan tetangga.


Entah bagaimana kabarnya Cinta sekarang. Mungkin dia sudah menemukan kebahagiaannya di sana, begitu selalu yang kuharapkan. Mungkin dia sudah mendapatkan apa yang dicita-citakannya, atau mungkin dia sudah berkeluarga seperti aku sekarang. Cinta adalah masa lalu, seorang Pria yang pernah menolak perasaan cintaku.



(Jumlah Kata : 300). Diikutkan dalam rangka "Hadiah Valentine Sanna Shop“

Kamis, 26 Januari 2012

#15HariNgeblogFF

Saya bercita-cita pingin jadi penulis dan berhasil menerbitkan buku saya sendiri. Kan kalau jadi penulis, kayaknya asyik, kerjanya di rumah, udah gitu bisa nyesuaikan sama jadwal anak. Nah, karena itu sudah sejak lama saya mencoba membiasakan nulis di blog. Tujuannya biar saya rajin berlatih nulis dan semakin cerdas menuangkan ide dalam tulisan. Practice makes perfect, pepatah bilang.


Sialnya, saya kadang malas “ngopeni” (ngurus) blog saya. Sesekali kalau mood lagi lancar, bisa nulis tiap hari. Tapi kalo lagi banyak kerjaan lain dan kena virus malas, langsung deh bakal berminggu-minggu saya nggak update Blog. Dan yang paling banyak porsinya justru “si malas” itu.


Suatu hari saya di “tag” di catatan seorang temen di FB, namanya Inge. Di bagian akhir tulisan singkat tersebut, dia menuliskan #15HariNgeblogFF. Kemudian saya bertanya ke dia, penasaran donk, apaan sih maksud hastag pagar tersebut? Nah, terus dia cerita deh, dan ngajak saya buat ikutan nulis. Cuma 15 hari nulis cerita singkat begini, saya pasti bisa, waktu itu sih pikir saya gitu.


Maka resmilah saya mulai menulis lagi, dan yang membahagiakan adalah rutin selama 15 hari berturut-turut! Suatu kemajuan besar, soalnya setiap saya malas nulis, rasanya sayang gitu kalau nggak ikutan. Bahkan meski saat lelah pulang kuliah saat petang pun, saya masih termotivasi untuk menulis. Untuk ini, saya sangat berterimakasih kepada admin #15HariNgeblogFF (Mbak Unge dan Mas Momo) atas kesempatan dan lecutan semangat yang diberikan. :)

Terima kasih juga buat inge (@noninge) yang memperkenalkan saya pada kegiatan ini.


Ini hari kelimabelas, rasanya nggak rela kalau besok saat bangun pagi-pagi nggak ada para admin yang “di-galau-in” lagi. Sedih? Pasti. Tapi saya nggak mau kepuasan menulis ini berhenti di sini, saya nggak mau juga ngecewain para admin yang baik hati itu, yang udah berbagi waktunya untuk ngebaca dan ngomentarin tulisan-tulisan kami para penikmat #15HariNgeblogFF .


Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya!! Eh kabarnya ada #15HariNgeblogFF tahap kedua ya? *ikutan lagi aaah* See you next time. Masih rela kan kapan-kapan kita galau-in lagi? :D


@alvina13 #15HariNgeblogFF

Menikahlah Denganku (2) "Sah!"

Hari ini Dimas akan datang ke rumahku. Aku sudah mondar-mandir menunggu dia datang. Ayah sudah aku beritahu sejak kemarin, sepertinya mood beliau sedang baik, buktinya dia membolehkan Dimas menemuinya. Selang sebentar suara bel berbunyi. Mbok Minah, asisten rumah tanggaku, yang membukakan pintu.


“Gimana, Mbok. Ayah masih serem gitu mukanya?”, aku berbisik-bisik dengan Mbok Minah di dapur.

“Masih, Neng. Udah, duduk sini aja dulu di dapur, sambil nunggu Bapak selesai bicara sama Mas Dimas.”

Aku mulai mengigiti kuku jariku, kebiasaan buruk kalau sedang gugup. Apakah Ayah mengijinkan? Jika tidak terus bagaimana?

“Mei.. kesini sebentar, Nak.”, Panggil Ayah.

Aku segera masuk ke ruang tamu. Raut muka Dimas tampak tidak tegang, lalu Ayah juga terlihat santai.

”Kamu mau menikah sama Dimas?”

”Em... Kalau Ayah mengijinkan, Mei bersedia, Yah.”, kataku jujur.


”Ya sudah, masuk lagi sana ke dalam, biar Ayah ngobrol lagi sama Dimas.”

Satu jam berlalu sampai suara motor Dimas meninggalkan rumahku. Celaka, batinku. Jangan-jangan Si Ayah mengusir dia. Aku mulai ketar-ketir membayangkan apa jadinya hubungan kami.


”Mei, Ayah tadi udah bicara banyak sama Dimas. Setelah diskusi alot, Ayah... ayah terpaksa..”,

”Terpaksa apa, Yah?”, aku mulai deg-degan. Panik, Grogi dan Takut nggak wajar.

”Ayah ngijinin Dimas nikah sama kamu.”

”Beneran? Ayah serius?”


Lalu mengalirlah sedikit percakapan Ayah sama Dimas, hanya sedikit karena dengan gayanya Ayah bilang selebihnya adalah obrolan antarlelaki. Intinya sih, Ayah setuju Aku dan Dimas menikah tapi setelah aku wisuda (yang itu berarti sekitar 3 bulan lagi kalau skripsiku lancar). Dimas juga ternyata sudah mendapatkan pekerjaan sejak 5 bulan yang lalu (yang bisa-bisanya aku nggak tahu). Jadi, akad nikah, here we come!


4 bulan kemudian, disinilah aku, bersiap-siap untuk pembacaan akad nikah yang sederhana di sebuah masjid dekat rumahku. Yang hadir hanya keluarga dekatku dan Dimas. Ayah tampak grogi sejak tadi, bahkan melebihi grogiku. Bolak-balik ia mengatakan aku cantik dengan kebaya warna biru ini.

Ketika penghulu masuk ruangan, kami diatur dalam posisi kami masing-masing. Pembacaan akad dimulai, kemudian ketika qabul diucapkan Dimas, aku mulai menitikkan air mata.


”Saya terima nikahnya dan kawinnya, Meisya Angelina binti Purnomo Putra dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”

”Sah?”

”Sah!”, kata para saksi pernikahan.


Aku mencium tangan Dimas, lalu menatap wajahnya. Inilah suamiku, orang yang berhak atas diriku. Aku kemudian menatap Ayah dan berjalan ke pelukannya. Ayah adalah sosok yang keras, maka ketika saat itu aku lihat ia menitikkan air mata, aku menjadi khawatir.

”Ayah sedih? Mei kan masih akan sering mengunjungi Ayah. Nanti Mei cari kontrakan yang deket sama rumah kita deh Yah. Ayah nggak usah sedih, Tuh kan, Mei jadi ikutan nangis.”, aku menghapus linangan air mata yang jatuh ke pipi.

”Ayah bahagia, Mei. Kamu sekarang sudah dewasa, Ayah rindu Ibumu, seandainya ia bisa melihat kamu sekarang, dia pasti bahagia sekali.”

Kami berpandangan lalu sekali lagi aku memeluknya dengan erat sebelum Ayah melepaskannya.

”Pergilah ke suamimu. Nanti kita sedih-sedihan lagi.”, katanya tertawa.


Ini hari bahagiaku, dan aku rasa Ayah juga bahagia. Aku berjalan ke arah Dimas, suamiku. Menikah itu tidak perlu menyamakan perbedaan, tetapi menyatukannya dengan keunikan masing-masing. Setelah kata ”Sah!” diucapkan. Maka seketika itu hidupmu akan berubah. Seperti aku.


@alvina13 #15HariNgeblogFF Hari kelima belas (2)

Menikahlah Denganku (1)

“Kamu masih berhubungan sama Dimas, ya?”, kata Ayahku.

”Iya, Yah. Kenapa?”

”Kan Ayah sudah bilang, kuliah dulu, kerja dulu baru boleh pacaran. Lagian Si Dimas itu udah kerja apa sih? Pengangguran kan?”

Aku menahan air mata yang sudah menggenang.

”Dimas masih cari kerja, kok Yah. ”

”Jauhi dia, Ayah nggak mau kuliahmu berantakan Cuma gara-gara cowok!"


Aku masuk ke kamar setelah diceramahi Ayah lebih lama lagi. Air mata yang kubendung mulai menderas satu-satu. Ayah memang melarangku berhubungan sama Dimas, cowokku sejak semester dua kuliah. Mungkin sejak meninggalnya Ibu, Ayah jadi protektif terhadapku, putri semata wayangnya. Padahal Dimas adalah cowok baik-baik, dia kakak tingkatku di fakultas. Kami berbeda jurusan dan terpaut jarak 3 tahun.


Keesokan sore sepulang kerja di lab mengurus skripsiku yang hampir selesai, Aku mampir ke taman dekat kampus. Dimas tadi mengirimkan pesan untuk menemuinya di tempat favorit kami bercerita, di dekat kolam ikan di tengah-tengah taman.

”Gimana ngelabmu?”, tanya Dimas.

”Hampir selesai, tinggal ambil data terakhir besok pagi. Ya, masih harus olah data sih, tapi semoga nggak perlu lebih lama di lab lagi. Bosen ngeliatin labu destilasi melulu.”, kataku.

Dimas tertawa, tawa yang menyenangkan untuk didengar. Seandainya aku bisa menghentikan waktu, aku akan memilih momen ini, di saat aku tak perlu mengkhawatirkan Ayah yang keras terhadap hubunganku dengan Dimas.

”Mas, aku semalem diceramahin Ayah lagi.”

“Lagi?”, ia menghela nafas.


Lalu hening sejenak, mungkin kami bingung harus berkata apa.

”Mei, kamu serius nggak sama hubungan kita?”, dia bertanya tiba-tiba.

”Ya serius lah, kalau nggak, ngapain aku pertahanin sampai mau diceramahin Ayah hampir setiap hari.”, kataku.


”Menikahlah denganku.”

”Apa?”

”Meisya Angelina, maukah menikah denganku?”, Dimas berlutut sambil mengeluarkan sebuah cincin bermata putih dari sakunya.


Tahukah kau kawan, kecuali saat itu sadar bahwa Ayahku masih tidak merestui hubungan kami, aku bahagia sekali.

”Aku.. aku, mau. ”, kataku malu-malu.

”Tapi...”, aku ingat bagaimana mungkin Ayahku merestui hubungan kami?

”Ayahmu? Aku akan menemuinya baik-baik. Akan aku tempuh cara apapun untuk menaklukan hatinya. Kita akan menikah dengan restunya. Dia satu-satunya orangtuamu yang tersisa, aku nggak mau kamu terlalu mencintaiku lalu durhaka sama dia.”, Dimas tersenyum memelukku.


Saat itu aku ingat langit senja, warnanya jingga merona. Mungkin sama meronanya dengan wajahku. Air mata mengalir pelan di wajahku. Aku bersyukur Dimas yang melamarku, setidaknya ia tahu bagaimana caranya berbakti kepada orang tua.


Kami bergandengan tangan ke tempat kami memarkir kendaraan, aku masuk ke mobil lalu memutar sebuah lagu yang akhir-akhir ini sering kudengarkan.

Marry me Juliet, you'll never have to be alone. I Love you, and that’s all I really know. I talked to your dad, go pick out the white Dress. It is love story, baby just say yes.

“Yes, I do.”, aku berbisik sambil menyeka rintik yang jatuh lagi dari mataku. Tuhan, jika cinta ini Kau restui, mudahkan jalan kami untuk melangkah, doaku dalam hati.



@alvina13 #15HariNgeblog FF Hari kelima belas (1)

Rabu, 25 Januari 2012

Ini bukan judul terakhir

Aku menikmati angin lembut pantai yang menyapu anak rambutku, sambil sesekali melihat ke layar ponsel. Ah, rasanya aku masih belum terbiasa melepaskan hubungan kita.

Sebuah pesan masuk ke ponselku, berharap darimu. Dan ya, ternyata itu kamu.


Kamu masih di pantai? aku OTW ke sana. Tunggu ya. – Danu


Aku tersenyum sambil mengetikkan kata ‘ya’ dan mengirimnya.

Kita memang sudah resmi putus, tapi kamu masih mau menjadi temanku. Agak janggal rasanya, tapi biarlah. Toh kita berpisah baik-baik, tak ada caci maki apalagi dendam. Memang saat itu ada air mata, tapi aku rasa air mata yang jatuh lebih berupa air mata lega. Lega karena aku tak harus berpura-pura masih jatuh cinta sama kamu.


Sebentar kemudian kamu sampai dan mengambil duduk di sebelahku. Ombak menjilat lembut kaki kita, sebentar lagi mentari rebah ke peluk malam. Kita sejenak terbuai dalam suara semesta, debur laut, siulan camar serta kelepak sayapnya.


“Kamu pernah menyesal pacaran sama aku? “, tanyamu tiba-tiba.

Aku menatapmu sambil menggeleng. Tentu saja mencintai seseorang bukanlah sebuah kesalahan, pikirku.

“Kenapa kamu nanyanya aneh?”, aku tersenyum.

“Entahlah, ini kali kesekian aku putus sama cewek. Bukan bermaksud sombong, tapi sepertinya aku udah kaya piala bergilir. Dari satu cewek ke cewek yang lain.”

“Kok kamu mau?”

“Mau apa?”

“Ya, jadi piala bergilir gitu? Jual mahal dikit donk,” aku tertawa sambil menepuk bahunya.

“Mungkin. Sepertinya setelah ini aku akan lebih selektif dalam memilih cewek.”

“Nggak yang kaya aku, gitu maksudnya?”, godaku.

“Enggak, bukan begitu, Mel.”

“Hahaha, nggak apa Dan, aku nggak pernah menyesal pernah pacaran sama kamu. Toh kita juga berpisah baik-baik. Mungkin baiknya kita jadi sahabat aja. ”, aku menatap langit yang mulai menjingga.


“Ini bukan judul terakhir, kan Mel?”

“Maksudmu?”

“Iya, ini, kamu, kita. Bukan judul terakhir dalam kisah cinta kita masing-masing, kan? “

“Tentu saja nggak, Dan. Kamu dan aku, kita bakal nemuin suatu hari nanti, pasangan kita yang sebenarnya. Mungkin mereka sedang ada di sisi lain pantai ini, mungkin mereka juga pernah pacaran kaya kita, Siapa yang tahu? Cinta itu berkah, tapi jodoh itu rahasia Tuhan. “, aku tersenyum, berdiri sambil menyapu butir-butir pasir yang menempel di kakiku.


“Pulang yuk.”, ajakku.

“Oke. Kamu aku anter pulang ya?”


Aku mengangguk. Kita bergandengan pulang, seiring mentari yang pulang ke haribaan malam.


@alvina 13 #15HariNgeblogFF hari keempatbelas

Selasa, 24 Januari 2012

Kalau odol lagi jatuh cinta

“Menurutmu, odol bisa jatuh cinta nggak? “, iseng aku bertanya padamu.

“Odol?”

“Iya, Odol.”

“Kalau odol lagi jatuh cinta, mungkin dia akan terlibat cinta segitiga.”, jawabmu.

“Kenapa?”

“Karena aku rasa, odol bingung harus memilih akan setia sama siapa, sikat gigi sebagai pasangannya atau gigi geligi sebagai takdirnya.”


Saat itu aku tertawa mendengar jawabanmu. Hei, aku hanya iseng bertanya. Kenapa kamu membawa-bawa sampai cinta segitiga segala? Mungkin waktu itu, sebenarnya kamu sudah memberi tanda kepadaku, akan apa yang aku temukan hari ini.


Pagi tadi, aku terbangun karena ponselmu terus menerus berbunyi. Aku tahu semalaman kamu lembur kerjaan, jadi aku berinisiatif mengangkat telepon itu.

“Halo, selamat pagi.”, aku membuka percakapan.

“Selamat pagi, maaf apa ini nomer hape Bapak Tyo?”

“Iya, betul. Ada perlu apa ya, Pak?”

“Saya Komar, Bu. Tetangganya Bu Sinta. Saya mau memberi kabar, Bu Sinta masuk rumah sakit. Tadi jatuh di kamar mandi, kata pembantunya sih pendarahan. Tolong disampaikan ya, Bu. Di rawat di RS. Kasih Ibu, Kamar Anyelir.”

“Sebentar, Pak. Bu Sinta itu siapa ya? Maaf sekali, tapi rumahnya mana? Apa hubungannya sama Suami saya?”

“Lho, gimana sih. Bu Sinta itu ya Istrinya Pak Tyo. Ibu ini siapanya Pak Tyo to, kok bisa sampai nggak tahu?”


Aku tak mampu berkata. Sambungan aku matikan, lalu aku merasakan penyesalan terbesar dalam hidupku atas keputusan mengangkat telepon itu pagi ini.


Aku menunggu kamu bangun sambil menangis. Entah untuk apa air mata ini. Mungkin untuk wanita itu yang kau nikahi diam-diam tanpa sepengetahuanku, Mungkin untuk rahimku yang tak mampu memberikan anak untukmu, atau mungkin aku menangisi takdir.

Kamu bangun, seperti biasa melakukan rutinitasmu. Mencuci muka, menggosok gigi (yang membuatku ingat akan percakapan kita dulu tentang odol yang jatuh cinta), lalu menghampiri meja makan untuk sarapan.

Setelah itu kamu memandangiku, mungkin heran karena aku terlalu banyak diam pagi ini.


“Kamu sakit, Dy?”, tanyamu.

“Nggak, Mas.”

“Kok kayaknya kamu pucat? Kamu habis nangis, ya?”

“…” , aku diam. Bingung bagaimana mengatakannya padamu.

“Hei, besok kan ulang tahun perkawinan kita yang kelima. Kamu mau minta hadiah apa?”


Aku menangis. Rasanya perih ketika kamu ingat hari pernikahan kita, tapi apakah kamu ingat janji setia kita dulu?


“Dy, eh. Kok malah nangis?”, kamu menghampiriku.

“Mas. Kamu nggak perlu jadi odol buatku.”, kataku.

“Kamu ngomong apa sih?”

“Kita berpisah saja, Mas. Aku tahu kamu ngga bahagia hidup bersamaku.”

“Dyah. Kamu itu ngomong apaan?”, kamu menatap wajahku, mungkin mengamati apa aku serius dengan perkataanku.

“Sinta masuk rumah sakit. Dia pendarahan. Kamu temani saja dia. Setelah urusanmu beres, kamu bisa menceraikanku.”, aku menatap matanya dengan tegas. Kuhapus air mata yang tadi berjatuhan di pipiku.


Tidak, aku tidak boleh terpuruk. Jika kamu memang terbelenggu olehku, maka aku yang akan melepaskanmu dari ikatan itu.



@alvina 13. #15Ngeblog FF hari ke tiga belas.

Senin, 23 Januari 2012

Merindukanmu itu seru

Kamu : Kamu nggak kangen aku?

Aku : Kangen kok

Kamu : Terus kapan donk kita ketemu?

Aku : Kamu udah nggak sabaran banget sih pengen ketemu aku?

Kamu : Habisnyaaa.. kamu sih jarang terima teleponku. Masa iya kita Cuma bisa chatting diam-diam?

Aku : Biarin. Biar aku puas merinduimu. Tau nggak sih, merindukanmu itu seru!!

Kamu : Seseru hubungan kita?

Aku : Hahahaha :D. Hei, GTG. Dia datang.

Aku keluar dari kotak percakapanku denganmu saat anakku masuk ke dalam ruang kerja.


“Papaaa.. Kita main bola yuk!”

“Ayo, kita ke teras”, aku menggandeng tangan mungilnya sambil bernyanyi-nyanyi riang.


Selang beberapa saat, ia mulai bosan lalu masuk lagi ke dalam rumah menonton film kesukaannya yang baru diputar di televisi.

“Gy, aku jam tujuh malam ada meeting sama klien baru. Kalian mau ikut apa di rumah aja?”, aku bertanya pada istriku.

“Di rumah aja Mas. Tapi kamu cepat pulang ya..“, ia tersenyum sambil bergelayut manja di bahuku.

Aku tertawa, selalu suka melihat istriku bermanja seperti itu.


Jam setengah tujuh aku keluar rumah, mengemudikan kendaraanku ke apartemen baru di tengah kota. Aku akan membuat sebuah kejutan untukmu, pikirku. Di tengah jalan aku mampir membelikanmu kue ulang tahun. Hari ini tepat setahun hubungan kita tetap terjalin rahasia.


Kita bertemu pertama kali saat rapat tahunan dari cabang lembaga kita di seluruh Indonesia diadakan di Cipanas. Aku sudah sering mendengar cerita tentang dirimu, kabarnya kamu adalah wanita pertama yang mampu melejitkan nama lembaga kita di cabang yang kau pegang itu. Kamu terkenal dingin, angkuh dan kaku. Tapi nyatanya setelah kita berkenalan, kamu hangat dan romantis. Sayang aku sudah punya istri dan anak, pikirku saat itu. Meski sebenarnya aku bisa saja menikahimu diam-diam, tapi aku ingin suatu saat nanti seluruh dunia tahu bahwa aku berhasil menaklukanmu.


Aku sudah sampai ke apartemenmu yang tiap akhir pekan kamu singgahi agar bisa bertemu denganku. Tapi kali ini aku tidak berkata akan mengunjungimu, jadi kejutan ini pasti seru. Saat di lobby, aku melihatmu sedang duduk membelakangi pintu masuk. Sepertinya kamu sedang menelpon seseorang. Aku mengendap-endap di belakangmu, siap memberikanmu kejutan saat aku mendengar namaku disebut di percakapanmu. Suaramu yang keras membuatku mampu mendengar kata-kata itu.


“Tenang aja, Si Tony nggak bakal ke sini. Tadi udah gue tanyain, tapi dia bilang sih nggak bisa kesini.”

“Mana gue tahu. Paling juga ngerayu istrinya biar ga curiga.”

“Udah, istrinya kalem banget. Anaknya juga cakep. Gue juga nggak tau kenapa pria kayak dia nggak puas, masih aja ndeketin gue.”

“Tenang aja, rencana kita bakal berjalan dengan sukses. Gue tinggal ngungkapin hubungan ini ke publik, terus setelah dia dipecat, bakal gue pastiin kamu yang nggantiin posisi jabatannya dia.”

“Ya iyalah, gue Cuma sayang sama kamu, Den. Percuma donk gue berbuat gini kalo nggak buat kamu.”

“I will. Secepatnya, setelah gue punya bukti-bukti yang banyak, akan gue habisi karier Si Tony.”

“oke, Bye. I love you, dear.”


Aku tersentak, lalu melangkah pulang. Pulang ke rumah dan keluarga yang selama ini setia terhadapku. Aku tak perlu merindumu lagi, tak ada seru-seruan lagi, semuanya palsu, batinku.



@alvina13 #15HariNgeblogFF hari kedua belas

Minggu, 22 Januari 2012

Tentangmu yang Selalu Manis

Secangkir black coffee sudah menemaniku sejak tadi sambil menunggumu di meja ini. Meja kecil di dekat jendela, di dalam kafe favorit kita dulu.

Aku melihatmu masuk lalu melambaikan tangan ke arahku.


“Hai, Mel. “, sapaku.

“Hai, Ndre.”, jawabmu.

Pelayan datang lalu kamu memesan vanilla latte, masih sama seperti dulu. Sepertinya kamu selalu suka dengan minuman itu, karena tiap ke kafe ini, kamu paling sering memesan minuman itu.


Sementara pelayan membuatkan pesananmu, kita terdiam dalam jeda yang lama.

“Apa kabarmu?”, aku bertanya mencoba memecahkan keheningan yang kaku.

“Baik.. Kamu kapan datang dari Jakarta, Ndre?”, tanyamu.

“Kemarin sore. Kamu sibuk apa sekarang?”


Lalu mengalirlah percakapan antara kita. Sesekali kamu tertawa, tawa yang dulu selalu aku rindukan sejak kita tidak pernah lagi berjumpa. Tapi kita tak pernah membahas luka lama lagi. Aku takut melukaimu, dan kamu mungkin takut melukaiku.


Hari beranjak sore, kamu pamit sebelum memberikan sebungkus kado untukku.

“Isinya buku, aku harap kamu masih suka baca Sherlock Holmes seperti dulu.”, kita berjabat tangan lalu kamu pergi.


Aku penasaran apa isi dibalik sampul putih polos tersebut.

Isinya sebuah buku Sherlock Holmes yang terbaru, dan sepucuk surat dalam amplop warna biru.


Hai Ndre,

Maaf bila akhirnya aku terpaksa menulis surat bukannya berani ngomong langsung ke kamu. Aku tahu masa lalu kita berakhir dengan perih, dan aku yang menyebabkan luka itu di hatimu.

Saat itu aku tak siap menerima kehadiranmu yang meminta lebih dari sekadar menjadi sahabatku. Aku sadar bahwa aku menyayangimu, namun aku masih merasa butuh waktu untuk memikirkan pernyataan cintamu.

Dan ternyata aku terlalu lama meminta waktu. Dua bulan setelah itu, kamu pergi ke Jakarta. Meninggalkan aku yang masih terombang-ambing dalam perasaanku sendiri. Saat itu aku berharap aku bisa lebih tegas pada diriku sendiri. Agar diantara kita tidak ada bayang-bayang luka.

Kamu pergi dan bahkan tidak memberi kabar untukku. Sampai kemarin malam, ketika kamu mengirimkan pesan ke ponselku mengajakku bertemu hari ini.

Ketika kamu pergi dariku, aku baru sadar betapa aku selama ini beruntung memilikimu. Benarlah pepatah yang mengatakan bahwa kita tidak pernah tahu betapa pentingnya sesuatu yang kita miliki sampai itu pergi. Segala hal yang ada di sekelilingku mengingatkan tentangmu yang selalu manis.

Sekarang setelah kamu kembali, masih adakah kesempatan untukku memilikimu? Cinta yang dulu kau nyatakan padaku apakah masih berlaku?

Kabari aku, Ndre. Aku mencintaimu.


Aku menutup surat itu. Mengapa harus sekarang, pikirku.


Sebuah pesan masuk di ponselku.


Besok aku berangkat naik penerbangan paling pagi biar cepet ketemu kamu, Mas. Jemput di Adi Soemarmo ya! I Love You. – Dina.


Mengapa sekarang, ketika aku sudah punya tambatan hati yang sebenarnya?



@alvina13 #15HariNgeblogFF hari kesebelas

Sabtu, 21 Januari 2012

Senyum untukmu yang Lucu

Aku masuk diam-diam ke ruang kelasmu, rasanya senang bisa hadir kembali di sisimu setelah lama rasanya tidak mengantarkanmu sekolah.


Rambutmu hanya diikat kuda, ah, Papamu pasti tak bisa mengepang rambutmu. Karena semenjak dulu, itu pekerjaanku. Aku yang memandikanmu, memakaikan seragammu, menyisir lalu mengucir rambutmu atau sesekali mengepangnya agar tidak berantakan. Rambutmu hitam pekat seperti milik Papamu, tapi sedikit ikal sepertiku. Setelah itu aku akan mengantarkanmu sekolah yang hanya berjarak satu blok dari tempat tinggal kita.


Sudah berbulan-bulan aku tak bisa mengantarkanmu. Tidak bisa melihat senyum atau menghapus tangis ketika kamu keluar dari gerbang sekolah, seringnya diusili oleh temanmu.


Hei, seorang anak cowok menghampiri mejamu. Apa itu Doni, cowok yang pernah kau ceritakan padaku? Waktu itu kamu bilang kalau kamu menyukainya, bahkan berkata kalau sudah besar kamu akan menikahinya.

Saat itu aku tertawa, impianmu sungguh tinggi. Imajinasimu selalu melangit, entah karena hobimu yang suka membaca atau memang kamu suka bercita-cita. Aku ingat kemudian membayangkan seperti apa pernikahanmu kelak.

Kembali melihatmu adalah suatu keberkahan luar biasa untukku. Apalagi melihatmu tersenyum dikelilingi teman-temanmu. Tapi kemudian..


“Eh, Na. Nyokap lu udah mati ya? Jadi lu nggak punya nyokap lagi?”


Deg. Sebilah pisau seakan menancap di uluhatiku saat pertanyaan itu terucap dari seorang temanmu. Matamu menggenang, lalu menetes menjadi hujan. Kamu tergugu dan terisak dengan sesak.


Aku ingin menghiburmu, Nak. Memelukmu. Memberikan senyum untukmu yang lucu, agar kamu tak kembali berduka, agar kamu kembali ceria. Namun bagaimana caranya, sedangkan kamu tak bisa melihatku.


Bulan-bulan penuh pengorbanan itu, penuh perjuangan, air mata dan kesakitan yang luar biasa. Sampai akhirnya aku kalah. Aku menyerah. Kanker itu terlampau ganas hingga ia sanggup menang melawanku. Rasanya aku tak mau meninggalkanmu, melihat duka dalam mata mungilmu, mendengan ceriamu berubah jadi tangis yang tersedu.


Tapi aku selalu ada di hatimu, Nak. Aku akan selalu ada saat kamu membuka mata di pagi hari, mendengar kicau burung atau merasakan dinginnya hujan. Aku akan selalu ada saat kamu tertawa, menangis atau tersipu malu. Aku akan selalu ada di hatimu, memberikan senyum untukmu yang lucu.


Aku mendekatimu, mencoba memelukmu hingga kau merasa aman dan tak ada yang akan mengganggumu. Tak ada yang berhak mengganggu gadis kecilku yang lucu.



@alvina13 #15HariNgeblogFF hari kesepuluh *dedicated 4 my Mom. I’ll always love you*