Sabtu, 25 Februari 2012

Awas, apa Anda Anemia, Bund?


Dua garis menandai perubahan Anda selamanya. Sebagian wanita akan histeris bahagia, tetapi ada juga yang meneteskan air mata ketakutan, ‘Sanggupkah saya jadi Ibu?’. Tentu saja menjadi seorang Ibu adalah sebuah karunia yang paling membahagiakan. Bayangkan, akan ada kehidupan manusia lain di dalam perut Anda!

Kehamilan adalah salah satu proses superkompleks yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Mulai proses pembuahan, berkembangnya sel janin, sampai tiba saatnya melahirkan, kesemuanya terdiri dari begitu banyak faktor yang bisa berpengaruh pada janin yang sedang dikandung Ibu. Tentu saja faktor utama yang berpengaruh pada kesehatan dan perkembangan janin adalah kesehatan Ibu yang mengandungnya sendiri. Ibu yang memiliki kesehatan baik pada umumnya akan memiliki janin yang berkembang dengan baik juga.

Tetapi terkadang Ibu hamil mengalami anemia, penyakit yang seringkali diabaikan oleh banyak orang, padahal penyakit ini cukup berbahaya apabila diderita oleh Ibu hamil. Gejala-gejala anemia pada Ibu hamil biasanya ditandai dengan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang, lidah luka, nafsu makan turun, susah konsentrasi, nafasnya pendek-pendek (Simanjuntak, 2008). Sedangkan penyebab anemia pada Ibu hamil dapat dikarenakan makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat besi, defisiensi folat, pendarahan, atau kelainan sel darah merah (sel bulan sabit).

Akibat anemia pada saat kehamilan adalah dapat mengurangi suplai oksigen pada metabolisme ibu yang menjadikan terhambatnya tumbuh kembang janin, kemungkinan bayi lahir prematur, ketuban pecah dini dan meningkatkan risiko mortalitas pada janin ataupun Ibu pada saat melahirkan. Inilah yang menjadikan penting untuk memahami penyakit anemia pada ibu hamil sehingga kita bisa melakukan pencegahan ataupun mengkonsultasikannya kepada dokter kandungan secepatnya bila ada Ibu hamil yang merasakan tanda-tanda anemia di atas.

Lalu bagaimana cara mengatasi atau mencegah anemia pada Ibu hamil? Bisa melalui konsumsi makanan yang mengandung zat besi seperti daging, telur, ikan, sayur-sayuran hijau, kacang-kacangan, dan padi-padian. Hindari memasak sayuran hijau terlalu lama karena dapat merusak kandungan zat besi di dalamnya. Usahakan tidak mengonsumsi teh bersamaan dengan makanan yang mengandung zat besi karena dapat menghambat penyerapan zat besi, ini disebabkan tannin yang terkandung di dalam teh merupakan inhibitor penyerapan zat besi dalam tubuh.

Konsultasikan pada dokter kandungan jika kehamilan yang Anda alami mengalami gejala anemia atau bahkan sesegera mungkin coba tanyakan apakah Anda perlu melakukan pemeriksaan hitung darah lengkap. Apabila Ibu hamil diresepkan suplemen tambahan zat besi, akan lebih baik bila diminum saat jeda makan (perut kosong), sehingga tidak terjadi kompetisi penyerapan makanan dengan zat besi dan dapat memaksimalkan penyerapan zat besi dalam tubuh.

Peran seluruh anggota keluarga amatlah penting terutama saat seorang Ibu sedang hamil. Kesabaran, dukungan dan perhatian yang diberikan akan berpengaruh juga pada kesehatan Ibu hamil. Generasi yang kuat dan sehat tentunya berawal dari Ibu yang sehat.

Jadi, Ayo dukung Bunda, sebab kesehatan Bunda adalah kesehatan kita juga!!

Artikel ini dibuat untuk mengikuti lomba Blog Writing Competition dengan tema “Ayo Dukung Bunda: Kesehatan Bunda Kesehatan Kita”

Sumber artikel :
-         Simanjuntak, Nelly A., 2008. Hubungan Anemia pada Ibu hamil dg kejadian BBLR di Badan Pengelola RSU Rantauprapat Kabupaten Labuhan Ratu Tahun 2008. Skripsi. Universitas Sumatera Utara
-         Micronutrient Initiative, 2000. Severe Anemia in Pregnancy. International Develompment Research Centre.


Rabu, 15 Februari 2012

Rumahku Itu Kamu

“Kamu kapan pulang, Ta?”, katamu di telepon.
“Rencananya seminggu lagi.”, jawabku.
“Kok masih lama, sih?”
“Iya, ini tugas dari big Boss nambah melulu. Kenapa, kamu kangen aku ya?”
Renyah suaramu tertawa. Sudah  dua minggu aku pergi ke luar kota, proyek besar ini menuntut lebih banyak pekerjaan dari yang aku perkirakan. Tapi sebenarnya, besok aku akan pulang ke rumah. Bukan, bukan seminggu lagi, tapi besok. Aku hanya ingin memberikanmu kejutan yang membahagiakan.

“Jadi pulang besok, Ta?”, Ellie, sahabatku menepuk keras pundakku.
“Ya jadi donk.. “, aku tersenyum sumringah.
“Mau diantar sampai bandara nggak?”
“Aku naik taksi aja. Eh, temenin aku beli oleh-oleh dulu yuk, El.”
Aku mengeluarkan daftar belanjaan yang siap diborong hari ini untuk oleh-oleh saat pulang besok.

Pesawat yang menerbangkanku ke Jakarta terpaksa di delay 2 jam karena cuaca benar-benar buruk. Awan hitam masih menggantung malu-malu di langit ketika aku meninggalkan Bandara Soetta,  aku pulang. Tentu saja kemana lagi kalau tidak ke dirimu. Rumahku itu kamu, pikirku sambil tersenyum sendiri di dalam taksi.
“Sudah sampai, Bu. Benar ini kan rumahnya?”, suara supir mengejutkanku.
“Oh, iya. Terima kasih, Pak.”, aku memberikan ongkos setelah Bapak supir itu membantu mengeluarkan barang bawaanku ke teras rumah.

Malam hampir larut, jarum jam menunjuk ke angka 11 ketika aku memutar kunci pintu rumah. Ketika aku masuk, ada sepasang stiletto hitam tercecer di lorong ruang tamu, seperti dilepaskan dengan terburu-buru.
Perasaanku mulai nggak enak. Tidak, aku tidak boleh berpikiran buruk. Ini mungkin sepatu.. sepatu.. ah, aku tidak bisa menemukan ide sepatu siapa itu. Jangan-jangan kamu menduakanku? Aku hampir tidak berani masuk rumah, takut kalau aku tersakiti. Meski ragu, aku menyalakan lampu di ruang keluarga, tapi sepi, hanya sebuah tivi yang menyala tapi tidak bersuara.

Aku melangkah menuju kamar, pikirku saat itu hanyalah harus segera bertemu denganmu. Pintu kamar terbuka separuh, aku memberanikan diri melangkah masuk ke dalamnya sebelum terdengar teriakan
“Kejutaaaaan..”
“Selamat dataaang, Ritaaa..”
“Surpriseeee..”

Dan banyak teman-teman kita bermunculan mengagetkanku. Aku tersenyum salah tingkah sambil mencari sosokmu.
“Cari aku ya?”, kamu memelukku. Sambil berbisik mengucapkan selamat hari jadi pernikahan kita yang pertama.
Ah, ternyata kamu masih ingat. Aku menitikkan air mata, antara terharu dan sebal karena tadi masih terbayang-bayang sepasang stiletto di ruang tamu.
“Aku tadi lihat stiletto, terus.. aku.. aku..”, aku menangis di bahumu sambil mempererat pelukanku.
“Shh.. nggak apa, itu pasti kerjaan teman-temanmu yang usil.”, kamu menenangkan sambil membelai rambutku.
“Kamu tahu, rumahku itu kamu. Rasanya kalau begini, aku nggak sanggup lagi jauh dari kamu.”, aku terisak-isak sambil tertawa mendengar sorakan teman-temanku.
“Aku selalu di sini, siap menjadi tempat yang nyaman dan perlindunganmu. Aku nggak akan menyakitimu apalagi menduakanmu.”, senyummu melelehkan hatiku.

Rabu, 08 Februari 2012

Cookies


“Nama saya Andrea Darmawan. Panggil saja Rea.”, aku memperkenalkan diri di depan kelas.

“Baik, Rea, silakan duduk di sebelah Nuril. Pelajaran akan segera kita mulai.”, Bu Anita guru kelasku menunjuk ke sebuah kursi kosong di sebelah seorang gadis berkacamata yang duduk di baris kedua dari depan.

Aku melangkah di sela kursi dan terjatuh. Seseorang menjegal kakiku. Seisi kelas tertawa keras.

“Re, kamu nggak apa?”, kata Bu Anita.

“Nggak Bu, saya… saya keserimpet tali sepatu.”

“Oh, kalau begitu hati-hati.”

Aku menoleh ke arah anak yang kakinya terjulur ke arahku tadi. Seorang anak lelaki dengan tampang menyebalkan dengan senyum sinis di mukanya. Oh, bagus, hari pertama sekolah dan aku sudah punya musuh.


Ketika bel istirahat akhirnya berbunyi, aku memilih berada di kelas daripada makan di kantin. Teman sebelahku, Nuril, rupanya membawa bekal juga sepertiku.

“Kamu bawa apa?”, kataku.

“Aku bawa mie goreng. Tadi aku yang buat sendiri.”, Nuril memamerkan bekalnya sambil tersenyum bangga.

“Wah, pasti enak.”, aku tersenyum.

“Kamu sendiri bawa apa, Re?”

“Aku bawa Choco chips cookies. Mau?”


Itu awal persahabatanku dengan Nuril, dia teman yang baik dan perhatian. Selain kami sering belajar bersama, kami juga mulai sering bertukar bekal makan. Nuril punya hobi sama seperti Ibunya, jadi kalau bawa bekal pasti menunya variatif dan menggoda perut sampai keroncongan. Sedangkan aku? Aku lebih sering membawa cookies ringan yang biasa dibeli tiap akhir minggu bersama Ayah, meski tetap aku memilih variasi rasa dan topping di atasnya.

***

“Eh, Re, kamu tau nggak kalau Ibunya Tyo kemarin meninggal dunia?”, pertanyaan Nuril mengejutkanku di sutu hari setelah aku menanyakan kenapa sudah dua minggu ini Tyo nggak masuk sekolah.

Sejak tragedi kesandung di awal masuk kelas, aku memilih menghindari percakapan apapun dengan anak lelaki menyebalkan itu. Namanya Tyo, sebenarnya muka dia ganteng sih, tapi sikapnya yang menyebalkan dan suka menggoda anak perempuan membuat Tyo terkenal sebagai biang kerok masalah di sekolah.

“Tyo? Ibunya.. meninggal?”, aku kaget.

“Iya, habis kelas selesai nanti teman-teman akan ta’ziah ke rumahnya. Kamu ikut?”

“Ikut.”, aku mengiyakan ajakan Nuril.


Meninggalnya Ibu Tyo menjadikan anak itu berubah 180 derajat. Ia yang tadinya paling cerewet dan usil di kelas sekarang menjadi pendiam dan lebih banyak melamun. Teman-teman juga tak banyak yang berani mengajak anak lelaki itu mengobrol atau berbicara. Kebanyakan yang mencoba akan selalu diabaikan Tyo, para guru juga sepertinya tidak ada yang mau mendekati anak itu. Sedangkan aku? Aku penasaran sih, tapi mungkin butuh waktu yang tepat untuk mengajaknya bicara, selain itu aku tidak pernah mengobrol sama Tyo, bagaimana caranya aku memulai percakapan?

***

Suatu siang sebelum tambahan pelajaran dimulai, aku dan Nuril baru akan menyantap bekal makanan ketika kami melihat Tyo duduk sendirian di depan kelas. Sudah 3 bulan sejak kematian Ibunya dan Tyo masih pendiam, bahkan nilai ulangannya juga mulai jeblok. Setelah saling lirik sama Nuril, aku memutuskan untuk duduk menghampiri Tyo.

“Hai, Tyo.”

“Hmm.”

“Kamu nggak makan?”

“Nggak.”

“Kamu nggak lapar?”

“Nggak.”

Sial, aku dicuekin, batinku sambil menggerutu.

“Yo.”

“Apa.”

“Waktu ibuku meninggal, aku nggak tau bahwa duniaku ternyata berubah semuanya.”

“Ibumu.. udah meninggal?”, kata Tyo.

“Yup. Waktu aku kelas 2 SD.”

“Wow, kamu masih kecil banget.”

Aku tersenyum, “ Adikku malah baru berumur setahun.”

“Terus kapan kamu sadar kalau hidupmu berubah?”

“Ketika aku kelas 5 SD, aku suka dengan teman sekelasku. Biasanya kalau aku punya rahasia, aku bakal cerita ke Mama. Tapi saat itu aku sadar, aku nggak punya siapa-siapa untuk diajak menyimpan rahasia.”

“Ayahmu?”

“Papa terlalu sibuk dengan kerjaannya. Mama baruku juga bukan tipe Mama yang bisa aku ajak curhat.”

“Ayahmu nikah lagi?”

“Yup. 2 tahun setelah kematian Mama.”


Hening sejenak, aku membuka bekal cookiesku, kali ini aku bawa vanilla cookies.

“Kamu mau?”, aku menyodorkan cookies ke Tyo.

“Makasih.”, Ajaib! Ia mengambil dan mengunyahnya.

“Aku perhatiin, kamu sering bawa cookies kalau sekolah.”, Tyo memandangiku.

“Kamu perhatian banget, sampe tau bekal makanku.”, aku tertawa sambil menepuk lengannya.

Tyo ikut tertawa, ah sudah lama aku tak mendengar tawanya.

“Iya, ini makanan kesukaan Mama dulu.”

“Jadi kamu bawa bekal cookies buat mengenang Ibumu?”

“Kurang lebih seperti itu. Aku rasa meski Mama udah nggak deket aku, tapi aku masih bisa mengenang dia. Salah satunya dengan cookies ini“.


“Kamu pernah kangen Ibumu?”

“Sering. Tapi mau gimana lagi, aku kan masih harus sekolah, hidupku nggak mungkin berhenti di baying-bayang meninggalnya Mama melulu. Impianku sih membanggakan Mama meski dia udah nggak ada.”

“Gitu ya?”

“Iya. Eh Yo. Kamu mau nggak besok belajar bareng ama aku dan Nuril. “

“Belajar bareng?”

“Iya. Eh jangan marah, aku Cuma ngajak kalau kamu nggak mau ya nggak apa-apa kok.”


Tyo terlihat berpikir sebentar sebelum menganggukkan kepalanya. ”Oke, besok jam?”

“Jam setengah 4 sore di rumahnya Nuril. Kamu tahu rumahnya kan?”

“Tahu kok.”

“Oke, kami tunggu ya.”

Kami tersenyum bersama sambil menunggu bel masuk berbunyi.


“Ehem. Ehem..”, Nuril mengagetkanku dan Tyo.

“Eh iya, lupa kalo ada orang lain di kelas ini.” Aku tertawa sambil melirik Nuril.

Sebuah spidol dilemparkan ke arahku, “Oh, jadi gitu ya, aku dilupakan.”, Nuril memasang muka merengutnya yang khas.

Tyo yang melihat kelakuan kami seketika tertawa, menjadikan aku dan Nuril saling tersenyum sambil mengedipkan mata. Terkadang yang dibutuhkan seseorang yang sedang berduka hanyalah sebuah perhatian dan bekal cookies untuk dinikmati bersama.


(gambar cookies di atas diambil dari http://us.123rf.com/)

Jumat, 03 Februari 2012

Secangkir Kopi, dan bayangmu

“Kenapa sih kamu suka black coffee?”

“Emangnya nggak boleh?”

“Kamu kan cewek, biasanya yang minum black coffee kan cowok.”

“Dih, asal nge-judge. Suka-suka aku donk.”

***

Aku masih ingat pertemuan kita di café itu. Secangkir black coffee menjadi alasanmu menyapaku yang sedang duduk sendiri di meja dekat kasir. Kita baru berkenalan, tapi rasanya seperti sudah pernah lama bertemu.

“Eh, aku belum tahu siapa namamu.”

“Aku Delia. Pangggil aja Lia.”, aku mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman.

“Aku Cakra ”, kamu menjabat tanganku erat.

Semenjak itu kita sering bertemu di café, terlebih setelah jam pulang kantor. Kadang kita pergi ke bioskop, ke toko buku, tapi setelah itu pasti mampir lagi ke café ini. Memesan dua cangkir black coffee sambil tertawa menikmati sisa hari. Memandangi kemacetan lalu lintas ibukota yang tampak dari balik jendela, atau gemerlapan lampu Jakarta yang memesona saat malam tiba.

***

Hari ini, sudah 6 bulan lebih kita dekat, rasanya tak bisa dipungkiri lagi bahwa aku mulai mencintaimu. Segala sinyal sudah aku tampakkan agar kamu segera menyatakan bahwa kamu juga mencintaiku. Sudah aku tanyakan berkali-kali apakah kamu punya pacar, dan betapa senangnya aku waktu tahu kamu bilang kamu belum punya! Sesekali aku curi pandang ke arahmu lalu kamu melempar senyum manismu padaku. Oh ya ampun, kalau kamu juga suka aku, kenapa nggak bilang saja? Bahkan pelayan di café ini mengira bahwa kita sebenarnya sudah resmi pacaran, ya.. padahal bukan. Ups, belum maksudku. Rencananya malam ini aku yang akan mengungkapkan perasaanku sama kamu, kita sudah sama-sama dewasa jadi aku rasa kalau kamu nggak mau “nembak” aku duluan, maka aku yang akan melakukannya.

Aku sedang menyesap black coffee kegemaranku ketika kamu duduk di kursi depanku. Wajahmu ceria dan senyummu benar-benar lebar. Nampaknya hari ini kamu sedang bahagia, baguslah, pikirku, aku akan dapat menyatakan perasaanku dengan mudah kalau begitu.

“Ca, aku mau ngomong sesuatu.”

“Eh, aku juga mau nyampein sesuatu, Li.”

“Kamu duluan?”

“Nggak, ladies first.”, kamu tertawa.

“Oke. Begini, kita kan udah deket selama lebih dari enam bulan ini.”

“Iya, terus?”

“Aku mau bilang kalau.. aku..”, aku bingung memilih kata-kata yang tepat.

“Aku sayang kamu, Ca. Gimana kalau kita jajaki hubungan kita lebih lanjut? Kamu mau nggak jadi pacarku?”, aku memandang matanya sambil berusaha menutupi betapa gugupnya aku.

Kamu terdiam, lama. Aku mulai punya perasaan nggak enak.

“Lia, aku… tadinya aku mau memberikan ini.”, ia menyerahkan sebuah amplop berwarna merah marun. Seketika dadaku terasa sesak, air mata mulai menggenang di pelupuk mataku.

“Maafkan aku, Lia. Aku nggak bermaksud membuatmu jatuh cinta padaku lalu aku meninggalkanmu begitu saja. Bagiku kamu hanya seorang sahabatku, tidak lebih.”

Aku mengusap airmata yang jatuh, lalu menatap wajahmu sambil memberikan senyum termanis yang bisa aku berikan saat itu.

“Nggak apa, Ca. Siapa wanita yang beruntung itu? Kamu harus mengenalkannya padaku.”

“Namanya Andrea. Pasti, kamu akan aku kenalkan sama dia, Li. Maaf, aku pergi dulu.”

Aku menatap punggungmu yang menghilang dari balik pintu café saat seorang pelayan membawakan secangkir black coffee yang tadi sempat kamu pesan. Sekarang aku termenung di meja ini, bersama secangkir kopi dan bayangmu yang menjauh pergi dari hidupku.

Jumlah kata : 500. (Yeay, 2 FF udah jadi XD)

Kamis, 02 Februari 2012

Ruang Hati

“Re… “. Suara itu mengagetkanku. Suara dari orang yang sudah hampir 3 bulan ini begitu aku rindukan. Aku yang sedang asyik memandangi jendela kamar langsung menoleh ke arahnya.


“Ndre, akhirnya kamu datang!”, aku menghampirinya, mengecup dahinya dan memeluknya dengan erat.

“Kamu kangen ya?”, dia menatap wajahku.

“Kamu sih nggak pernah kasih kabar. Aku kangen banget, Ndre.”, aku menggandengnya duduk di pinggir kasur.

“Tapi sekarang aku udah di sini kan. Kamu nggak kangen lagi, donk?”

“Nggak juga sih, sekarang waktunya kamu cerita. Kamu kemana aja berbulan-bulan ini? Kamu nggak tahu seberapa khawatirnya aku!”

Andreku masih sama seperti dulu, harum parfumnya, sentuhan tangannya, lembut kecupnya. Ah, tak ada yang beda dari kepergiannya dulu. Aku memandangi wajahnya sambil mendengarkan ia bercerita. Ah, dia adalah lelaki yang masih menguasai ruang hatiku.

“Re.. Lha, malah ngelamun..”, ia menggoyangkan tanganku.

“Eh, enggak. Aku seneng aja akhirnya ngeliat kamu Ndre. Kamu nggak tahu kan orang-orang bilang kamu udah pergi. Cuma aku yang berkeyakinan bahwa kamu suatu saat kembali lagi. Aku nggak mau kamu pergi, Ndre. Jangan tinggalin aku lagi.”, aku merasakan air mulai menggenang di pelupuk mata.

“Re, aku… aku minta maaf telah membuatmu lama menunggu. Aku sayang kamu, aku nggak akan tega ninggalin kamu, apalagi kamu selalu sedih begini gara-gara aku pergi.”

“Kalau begitu jangan tinggalin aku lagi, ya, Ndre. Please, jangan..”, aku mengusap bulir air mata yang jatuh.

Andre tersenyum, rasanya semua ini tak nyata, atau entahlah tapi aku masih bisa merasakan sentuhannya, kecupannya dan suaranya tadi. Bahkan kalaupun ini mimpi, aku memilih untuk tetap tertidur dan memimpikan Andre, selamanya. Aku memeluknya erat, lalu bersandar di bahunya yang bidang. Setelah hari ini, aku tahu semua akan kembali sama. Andre telah pulang!

“Re.. Rena… Mama ngajak kita jalan-jalan di taman. Kita keluar yuk.”, Mbak Arum, kakakku, mengajakku keluar kamar.

“Tunggu, Mbak, lihat, Andre sudah pulang. Dia boleh ikut aku ya, Mbak menemui Mama. Biar Mama tahu Andre kembali. Andre beneran pulang dan sekarang aku nggak akan mau pisah lagi sama dia.”, aku menggandeng jemari Andre yang dingin.

“Re.. Maksud kamu apa? Di mana Andre?”

“Ini, di sini, masa nggak ngelihat sih? Ini dia duduk di sebelahku..”, aku melirik dan tersenyum pada Andre.

“Kamu jangan bercanda, Re. Di kamar ini Cuma ada kamu dan aku! Nggak ada Andre! Andre sudah meninggal, Re. Bukankah kamu sendiri juga tahu, 3 bulan lalu pesawat yang ditumpanginya jatuh di Samudera Hindia …..”

Kata-kata Mbak Arum selanjutnya tidak aku dengarkan lagi. Dia pasti bohong, Andre di sini, dia masih tersenyum dan memandang lembut wajahku. Ia yang masih merajai ruang hatiku, tak akan pernah mudah menghapusnya pergi.

(Jumlah kata : 424) --> diikutkan untuk memenuhi Tantangan FFnya Inge :)