Rabu, 24 September 2014

September to Remember Hop -Cerpen



Aku berkali kali memutar mutar peta, sial, matahari sudah di ubun-ubun tapi aku masih belum menemukan Mahogani Hills. Kenapa juga di tempat ini sinyal ponselku minim, mana sepi banget, ngga ada orang yang sesekali lewat. Jalan raya ini panjang membentang dan hanya aku sendiri berkendara bersama Si sepeda merah.

Mr. Justice Raffles, tetangga baruku yang nyentrik, berkata bahwa ada sebuah perpustakaan lengkap di Kota Mahogani Hills, pemiliknya seorang perempuan bernama Bokken. Untuk menuju ke Kota itu, katanya lagi, aku hanya perlu mengikuti jalan raya, nanti akan ada sebuah papan tanda selamat datang. Tapi setelah satu jam aku mengayuh dan betisku mulai terasa kaku, papan sialan itu belum juga terlihat.

Eh tunggu, lihat, ada sebuah mobil lewat. Aku membetulkan penyangga sepeda dan melambaikan tangan dari jauh. Ah, syukurlah mobil itu memperlambat lajunya!

"Halo, permisi..Saya mau ke Mahogani Hills, apa masih jauh ya?"
"Wah, masih jauh, Nona. Kamu dari kora sebelah?", kata Sang Wanita di belakang setir. 
"Iya..", aku memasang muka memelas.

"Mungkin lebih baik aku kembali saja ke rumah,sepertinya lain kali aku harus naik mobil kalau ke sana. Sepeda merah ini membuat kakiku gempor.", aku menertawakan keadaanku sendiri.
Saat aku hendak mengambil sepedaku dan memutar balik, sang Pria turun dari mobil pick up tadi.
"Mari bareng kami saja, sepedamu biar ditaruh di belakang mobil. "

Aku ragu, bagaimana kalau ternyata mereka adalah psikopat psikopat seperti di film Criminal minds?
Tapi toh aku tidak punya siapa siapa lagi, kalaupun aku mati juga tidak ada yang akan kehilangan dan mencariku. Baiklah, kucoba saja ikut mereka.

"Tidakkah saya akan merepotkan kalian?"
"Tidak, tentu saja tidak.", Sang Wanita tersenyum ramah lalu mempersilakanku naik. Mereka bertukar tempat, Si Pria dan Wanita, sehingga gantian Si Pria yang menyetir.
Aku duduk di tengah, bingung hendak memulai pembicaraan apa. Mataku menjelajahi dashboard, ada sebuah pajangan wanita hula yang bergoyang saat pick up berjalan, ada novel The Catcher in the Rye di pojok kiri, dan ada stiker bertuliskan huruf LP di tengah kemudi.

"Kami sampai lupa memperkenalkan diri, Aku Liesl dan ini Po, kakakku.", Sang Wanita mengajakku bersalaman.
"Oh, aku Nara.", kujabat erat tangan Liesl lalu tersenyum kepada Po yang melirik ke arahku.
"Jadi stiker di setir itu LP maksudnya Liesl and Po, ya? Kukira Linkin Park.", aku tertawa.
" Oh itu. Hahahha. Iya, tapi bolehlah anggap saja stiker serba makna.",
"Jadi...kalian tinggal di Mahogani Hills?"
"Tidak, kami ke sana atas undangan seorang teman. Rosie, dia semacam Kartini nggak sampai Eropa, tapi malah nyangkut di sebuah kota kecil itu. Kami ada janji menikmati Sunset bersama Rosie. Sedangkan kau sendiri, tepatnya mau ke mana?"
"Perpustakaan. Kabarnya ada perpustakaan lengkap di kota itu."
"Ah, Perpustakaan Ajaib Bibi Bokken! Tentu saja semua orang tahu perpustakaan itu."
"Kalian tahu juga?"
"Iya, Rosie salah satu pegawai di sana. Seperti kubilang, dia Kartini yang cinta sekali dengan buku, sampai akhirnya ngga jadi berangkat ke Eropa malah jadi petugas perpustakaan di sana."

Kami melanjutkan perjalanan sambil bercerita macam macam. Ternyata dua orang ini asyik diajak mengobrol, jauhnya jarak tidak terasa karena tahu tahu kami sampai di depan sebuah bangunan unik.
"Welcome to The Red Pyramid!", kata Po sambil keluar dari mobil.
Aku bergegas menyusul Liesl yang juga turun dan aku melongo memandang bangunannya. 

"Lho kok bangunannya berbentuk piramida?", tanyaku
"Yup, perpustakaan ini memang unik dan ajaib. Yuk, masuk.", kata Liesl sambil menggandeng tanganku.
"Kalian kan ada janji dengan Rosie?"
"Iya, Rosie lagi kebagian jaga perpus hari ini", Po memamerkan cengiran tengilnya.

"Rosie, where are youu?", teriak Liesl saat kami masuk ke dalam perpustakaan.

Ruangannya amat luas, meski berbentuk piramida, ternyata dari dalam tidak terlihat bentuk limasnya. Mari sedikit kugambarkan keadaannya..Begitu membuka pintu depan, ada lorong yang mengantarkan kita ke pintu utama perpustakaan. Di sisi kanan setelah kita membuka pintu itu, ada meja tinggi untuk petugas perpus. Di baliknya mungkin ada komputer dan perkakas lainnya, tapi tak terlihat olehku. Kemudian kita masuk ke pintu putar kecil, kau tahu, yang sering ada di supermarket itu, tempat anak anak kadang memainkannya sebelum disemprot kemarahan ibu mereka.

Perpus ini ada dua lantai, lantai pertama penuh dengan lemari lemari tinggi yang menempel di dinding dindingnya membentuk huruf L. Bagian tengah adalah kumpulan meja kursi yang disusun seperti aula kantin sebuah sekolah. Lalu ada dua tangga, masing masing di sisi  kanan dan kiri ruangan dan keduanya menuju lantai dua yang pastinya lebih banyak buku. Di bagian atap ada lukisan lukisan tiga dimensi tentang awan biru dan langit lepas. Wah ini jauh lebih bagus dari harapanku.

Saat itu suasana sedang sepi, kami dapat mendengar deru mesin pendingin ruangan dan sejenak aku merasa bahagia melihat kumpulan buku buku itu.
"Hey, kok ngelamun?", Liesl memukul pundakku.
"Kenalkan, ini Rosie."
"Oh..halo, aku Nara."
"I am Rosie, so.. i guess this is your first time, isn't it?"
"Rosie berkebangsaan Singapura, Nara. Jadi maaf aja kalau ternyata dia ngomongnya semacam Singlish gitu. Hahahah. Dia bisa bahasa Indonesia juga tapi belum lancar", Po tertawa dan kulihat muka Rosie memerah malu.
"Hello, the kite runner!", Rosie menggelayut manja di bahu Po. Ah, ternyata mereka sepasang kekasih.
"Iya, daripada kamu bingung, Nara. They are actually A Match Made in High School", kata Liesl
Aku tersenyum mendengar penjelasan itu.
"You know, what.. kalian berdua pergi aja deh sana menikmati sunset. Biar aku temani Nara di sini.", Liesl menarik tanganku untuk duduk di sebuah kursi.
"Kamu yakin?", kata Rosie.
"Yup. Ngga apa kan, Nara?"
"Yah aku ditemani ya syukur..ditinggal sendiri juga nggak apa apa kok. Udah puas sama buku buku ini.",kataku terkekeh.

"Bipbipbipbip", sebuah suara mengagetkanku.
"It is the time keeper. Both of you should beware of this thing.", kata Rosie
"Why?"
"Because it looks like A Monster Calls."
Aku makin bingung mendengar jawaban Rosie.
Rosie berjalan ke arah meja tinggi dan mengeluarkan sebuah jam pasir setinggi sekitar 20 cm.
"I wonder why you call it a monster", kataku.
"Liesl, kau jelaskan nanti ke Nara. Sekarang kami pergi dulu. Hati hati dengan jam itu ya!", kata Po menggandeng Rosie pergi. Rosie terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan karena Po sudah mengajaknya menjauh keluar pintu.

"Kemari, kita duduk di sini sambil aku bercerita.", Liesl menggiringku duduk di balik meja petugas perpus. Ternyata Ada tiga buah sofa di sana, sebuah kulkas, dispenser air, serta sebuah lukisan besar di dinding.

"Kau mau apa? A cup of Tarapucino or Jasmine Tea?", Liesl mengambil dua buah cangkir dan menyiapkan dispenser air.
"Tarapucino? Apa pula itu... aku pilih teh biasa saja."
Sambil menunggunya menyiapkan minuman, aku berjalan mengamati lukisan yang tergantung di salah satu dinding.
Gambar itu menunjukkan seorang Raja dengan burung mockingbird bertengger di bahunya. Raja itu sekilas tampak biasa saja, tetapi burung di bahunya sangat menyeramkan. Matanya merah dan paruhnya yang sedikit terbuka membuatnya makin terlihat kejam.
"The Runaway King After D-100"
Tulisan di bawah lukisan itu. 

"Jadi, apa sebenarnya jam pasir itu?",tanyaku.
" Bokken adalah seorang wanita biasa yang mencintai buku, sampai suatu hari keajaiban terjadi dari sebuah buku yang ia baca. Bellamore A Beautiful Love To Remember, judulnya. Buku itu suatu ketika membuka di bagian paling belakang. Tiba tiba dari kertas putih keluarlah sinar menyilaukan dan seorang lelaki yang tampan. Singkat cerita ternyata lelaki itu raja dari Negeri bernama "A World without heroes". Kau boleh tertawa tak percaya, tapi itulah yang terjadi. Ia pergi melarikan diri dari burung peliharaannya yang ternyata adalah seorang penyihir jadi jadian. Penyihir itu mengancam akan membunuh Raja dan mengambilnya sebagai tumbal, tetapi karena raja berhasil melarikan diri, ia tak pernah tahu bagaimana kabar penyihir gelap itu. Oh ya, Raja itu memiliki kemampuan ajaib yang membuatnya mampu membuat sebuah perpustakaan lengkap dengan isinya dan sebuah kota dalam hitungan hari. Asal kau tahu saja, kota inilah yang ia bangun."
"Lalu para penghuninya?"
"Beberapa adalah tunawisma yang datang setelah menerima penawaran dari Raja yang berpura pura sebagai petugas sosial. Lainnya datang dari berbagai kota, Yah, dengan iming iming gratis kau akan dengan mudah mendapatkan banyak peminat untuk menempati sebuah kota."
"Terus?"
"Raja itu memiliki sebuah amanat untuk Bokken sebelum meninggal. Kalau Bokken harus membalik jam pasir ini tiap 12 jam sekali, atau jika tidak, sebuah petaka akan terjadi."
"Oke..lalu?"
"Bokken meninggal dan mewariskan amanat itu ke Rosie, asisten kepercayaannya."
"Ada yang pernah mencoba mengabaikan amanat itu?"
"Tak pernah,sepertinya. Aku juga tak mau berurusan dengan hal-hal aneh. Lagian kan kita cuma perlu membalikkan jam itu. Bukanlah sebuah tugas yang sulit."
"Jadi, kapan jam berikutnya harus dibalik?"
"Jam 3 malam nanti."
"Oke, gampang sekali."
Kami meninggalkan sofa dan berjalan ke arah lemari lemari buku. Di sana kami khusyuk memilih milih buku dan bertukar cerita, tanpa memedulikan waktu berlalu.

"Bipbipbipbip." Sebuah suara membangunkanku. Sial, rupanya aku dan Liesl tertidur.
"Bipbipbip." Suara itu terdengar lagi. Berisiknya bukan main.
Astaga!! Jam pasir itu!!
Aku berlari dari lantai dua sambil meneriaki Liesl.

"Bangun, Liesl. Kamu di mana? Jam itu bunyi!!! Liieesll!!"
Terbirit birit aku mendekati meja tinggi untuk mencari jam pasir.
Tapi terlambat, sebuah sinar muncul dari sebuah sisi lemari. Begitu menyilaukan, begitu menggoda.

Aku berjalan mendekati sinar itu. Terperangah dengan takjub, sinarnya menenangkan, kemudian berganti berkilau dengan warna kuning yang lembut.
"Bukkk" Sebuah buku dilempar ke arah kepalaku.
Aku mengaduh kesakitan. Tersadar dari godaan sinar itu, aku mengambil buku yang tadi dilempar ke arahku. Buku berwarna ngejreng itu ternyata " The Not-So-Amazing Life of @aMrazing" well, this is not so amazing night of my nightmare, i think.
"Naraaa. Menjauh dari buku itu!!", aku mendengar jeritan Liesl dari arah tangga.
Buku itu? Yang mana maksudnya?
"Sial!! Menjauh dari cahaya sialan itu, Nara!!"
Aku memandangnya sejenak, lalu melambaikan tangan. Rasanya cahaya ini jauh lebih damai dari perpustakaan ini. Lagian apa salahnya kalau aku mendekatinya?
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pintu perpustakaan terbuka, sepasang kekasih masuk dan memandang sekeliling.
"Oh, shit!.. This Lullaby....."
Sebuah tembang mengalun pelan dari arah meja tinggi petugas perpus. Seorang gadis dengan panik mencari sesuatu di balik meja.
"The Mysterious Howling...Oh, damn!", katanya sambil menatap jam pasir yang berkilau misterius.
"Rosie, what's wrong?"
"Liesl!! Nara!!", teriak gadis itu panik.
Ia berlari menuju rak rak buku dengan isi yang telah berhamburan di segala tempat.

"Apa yang terjadi? Mengapa semua buku di sini berantakan? Liesl, kamu di mana??", Lelaki pasanganya ikut berteriak. Mereka mencari ke seluruh sisi tumpukan buku. Mungkin berharap ada orang yang mereka temukan, atau ada penjelasan di balik peristiwa kacau itu.

Saat si Wanita mencari ke salah satu rak, di bagian atas terdapat sebuah buku yang masih dalam posisi utuh, seperti tersusun sendirian. Ia memanjat rak dan mengambilnya. Sebuah buku berjudul Measuring up, ia buka satu demi satu halamannya dengan tidak sabar. Di halaman terakhirnya, muncul gambar aneh yang tak berhubungan dengan buku itu.

"aaaaaaaa!!!", ia berteriak.
Sang lelaki menghampirinya dan melihat halaman yang sama.
"Oh, sial!!"
Foto Dua orang gadis berekspresi terkejut ada di halaman terakhir buku itu. Berserta sebuah tulisan di bawahnya "To kill a mockingbird, you should kill the King and her friends too.".