Tampilkan postingan dengan label 15HariNgeblogFF. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 15HariNgeblogFF. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Januari 2012

#15HariNgeblogFF

Saya bercita-cita pingin jadi penulis dan berhasil menerbitkan buku saya sendiri. Kan kalau jadi penulis, kayaknya asyik, kerjanya di rumah, udah gitu bisa nyesuaikan sama jadwal anak. Nah, karena itu sudah sejak lama saya mencoba membiasakan nulis di blog. Tujuannya biar saya rajin berlatih nulis dan semakin cerdas menuangkan ide dalam tulisan. Practice makes perfect, pepatah bilang.


Sialnya, saya kadang malas “ngopeni” (ngurus) blog saya. Sesekali kalau mood lagi lancar, bisa nulis tiap hari. Tapi kalo lagi banyak kerjaan lain dan kena virus malas, langsung deh bakal berminggu-minggu saya nggak update Blog. Dan yang paling banyak porsinya justru “si malas” itu.


Suatu hari saya di “tag” di catatan seorang temen di FB, namanya Inge. Di bagian akhir tulisan singkat tersebut, dia menuliskan #15HariNgeblogFF. Kemudian saya bertanya ke dia, penasaran donk, apaan sih maksud hastag pagar tersebut? Nah, terus dia cerita deh, dan ngajak saya buat ikutan nulis. Cuma 15 hari nulis cerita singkat begini, saya pasti bisa, waktu itu sih pikir saya gitu.


Maka resmilah saya mulai menulis lagi, dan yang membahagiakan adalah rutin selama 15 hari berturut-turut! Suatu kemajuan besar, soalnya setiap saya malas nulis, rasanya sayang gitu kalau nggak ikutan. Bahkan meski saat lelah pulang kuliah saat petang pun, saya masih termotivasi untuk menulis. Untuk ini, saya sangat berterimakasih kepada admin #15HariNgeblogFF (Mbak Unge dan Mas Momo) atas kesempatan dan lecutan semangat yang diberikan. :)

Terima kasih juga buat inge (@noninge) yang memperkenalkan saya pada kegiatan ini.


Ini hari kelimabelas, rasanya nggak rela kalau besok saat bangun pagi-pagi nggak ada para admin yang “di-galau-in” lagi. Sedih? Pasti. Tapi saya nggak mau kepuasan menulis ini berhenti di sini, saya nggak mau juga ngecewain para admin yang baik hati itu, yang udah berbagi waktunya untuk ngebaca dan ngomentarin tulisan-tulisan kami para penikmat #15HariNgeblogFF .


Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya!! Eh kabarnya ada #15HariNgeblogFF tahap kedua ya? *ikutan lagi aaah* See you next time. Masih rela kan kapan-kapan kita galau-in lagi? :D


@alvina13 #15HariNgeblogFF

Menikahlah Denganku (2) "Sah!"

Hari ini Dimas akan datang ke rumahku. Aku sudah mondar-mandir menunggu dia datang. Ayah sudah aku beritahu sejak kemarin, sepertinya mood beliau sedang baik, buktinya dia membolehkan Dimas menemuinya. Selang sebentar suara bel berbunyi. Mbok Minah, asisten rumah tanggaku, yang membukakan pintu.


“Gimana, Mbok. Ayah masih serem gitu mukanya?”, aku berbisik-bisik dengan Mbok Minah di dapur.

“Masih, Neng. Udah, duduk sini aja dulu di dapur, sambil nunggu Bapak selesai bicara sama Mas Dimas.”

Aku mulai mengigiti kuku jariku, kebiasaan buruk kalau sedang gugup. Apakah Ayah mengijinkan? Jika tidak terus bagaimana?

“Mei.. kesini sebentar, Nak.”, Panggil Ayah.

Aku segera masuk ke ruang tamu. Raut muka Dimas tampak tidak tegang, lalu Ayah juga terlihat santai.

”Kamu mau menikah sama Dimas?”

”Em... Kalau Ayah mengijinkan, Mei bersedia, Yah.”, kataku jujur.


”Ya sudah, masuk lagi sana ke dalam, biar Ayah ngobrol lagi sama Dimas.”

Satu jam berlalu sampai suara motor Dimas meninggalkan rumahku. Celaka, batinku. Jangan-jangan Si Ayah mengusir dia. Aku mulai ketar-ketir membayangkan apa jadinya hubungan kami.


”Mei, Ayah tadi udah bicara banyak sama Dimas. Setelah diskusi alot, Ayah... ayah terpaksa..”,

”Terpaksa apa, Yah?”, aku mulai deg-degan. Panik, Grogi dan Takut nggak wajar.

”Ayah ngijinin Dimas nikah sama kamu.”

”Beneran? Ayah serius?”


Lalu mengalirlah sedikit percakapan Ayah sama Dimas, hanya sedikit karena dengan gayanya Ayah bilang selebihnya adalah obrolan antarlelaki. Intinya sih, Ayah setuju Aku dan Dimas menikah tapi setelah aku wisuda (yang itu berarti sekitar 3 bulan lagi kalau skripsiku lancar). Dimas juga ternyata sudah mendapatkan pekerjaan sejak 5 bulan yang lalu (yang bisa-bisanya aku nggak tahu). Jadi, akad nikah, here we come!


4 bulan kemudian, disinilah aku, bersiap-siap untuk pembacaan akad nikah yang sederhana di sebuah masjid dekat rumahku. Yang hadir hanya keluarga dekatku dan Dimas. Ayah tampak grogi sejak tadi, bahkan melebihi grogiku. Bolak-balik ia mengatakan aku cantik dengan kebaya warna biru ini.

Ketika penghulu masuk ruangan, kami diatur dalam posisi kami masing-masing. Pembacaan akad dimulai, kemudian ketika qabul diucapkan Dimas, aku mulai menitikkan air mata.


”Saya terima nikahnya dan kawinnya, Meisya Angelina binti Purnomo Putra dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”

”Sah?”

”Sah!”, kata para saksi pernikahan.


Aku mencium tangan Dimas, lalu menatap wajahnya. Inilah suamiku, orang yang berhak atas diriku. Aku kemudian menatap Ayah dan berjalan ke pelukannya. Ayah adalah sosok yang keras, maka ketika saat itu aku lihat ia menitikkan air mata, aku menjadi khawatir.

”Ayah sedih? Mei kan masih akan sering mengunjungi Ayah. Nanti Mei cari kontrakan yang deket sama rumah kita deh Yah. Ayah nggak usah sedih, Tuh kan, Mei jadi ikutan nangis.”, aku menghapus linangan air mata yang jatuh ke pipi.

”Ayah bahagia, Mei. Kamu sekarang sudah dewasa, Ayah rindu Ibumu, seandainya ia bisa melihat kamu sekarang, dia pasti bahagia sekali.”

Kami berpandangan lalu sekali lagi aku memeluknya dengan erat sebelum Ayah melepaskannya.

”Pergilah ke suamimu. Nanti kita sedih-sedihan lagi.”, katanya tertawa.


Ini hari bahagiaku, dan aku rasa Ayah juga bahagia. Aku berjalan ke arah Dimas, suamiku. Menikah itu tidak perlu menyamakan perbedaan, tetapi menyatukannya dengan keunikan masing-masing. Setelah kata ”Sah!” diucapkan. Maka seketika itu hidupmu akan berubah. Seperti aku.


@alvina13 #15HariNgeblogFF Hari kelima belas (2)

Menikahlah Denganku (1)

“Kamu masih berhubungan sama Dimas, ya?”, kata Ayahku.

”Iya, Yah. Kenapa?”

”Kan Ayah sudah bilang, kuliah dulu, kerja dulu baru boleh pacaran. Lagian Si Dimas itu udah kerja apa sih? Pengangguran kan?”

Aku menahan air mata yang sudah menggenang.

”Dimas masih cari kerja, kok Yah. ”

”Jauhi dia, Ayah nggak mau kuliahmu berantakan Cuma gara-gara cowok!"


Aku masuk ke kamar setelah diceramahi Ayah lebih lama lagi. Air mata yang kubendung mulai menderas satu-satu. Ayah memang melarangku berhubungan sama Dimas, cowokku sejak semester dua kuliah. Mungkin sejak meninggalnya Ibu, Ayah jadi protektif terhadapku, putri semata wayangnya. Padahal Dimas adalah cowok baik-baik, dia kakak tingkatku di fakultas. Kami berbeda jurusan dan terpaut jarak 3 tahun.


Keesokan sore sepulang kerja di lab mengurus skripsiku yang hampir selesai, Aku mampir ke taman dekat kampus. Dimas tadi mengirimkan pesan untuk menemuinya di tempat favorit kami bercerita, di dekat kolam ikan di tengah-tengah taman.

”Gimana ngelabmu?”, tanya Dimas.

”Hampir selesai, tinggal ambil data terakhir besok pagi. Ya, masih harus olah data sih, tapi semoga nggak perlu lebih lama di lab lagi. Bosen ngeliatin labu destilasi melulu.”, kataku.

Dimas tertawa, tawa yang menyenangkan untuk didengar. Seandainya aku bisa menghentikan waktu, aku akan memilih momen ini, di saat aku tak perlu mengkhawatirkan Ayah yang keras terhadap hubunganku dengan Dimas.

”Mas, aku semalem diceramahin Ayah lagi.”

“Lagi?”, ia menghela nafas.


Lalu hening sejenak, mungkin kami bingung harus berkata apa.

”Mei, kamu serius nggak sama hubungan kita?”, dia bertanya tiba-tiba.

”Ya serius lah, kalau nggak, ngapain aku pertahanin sampai mau diceramahin Ayah hampir setiap hari.”, kataku.


”Menikahlah denganku.”

”Apa?”

”Meisya Angelina, maukah menikah denganku?”, Dimas berlutut sambil mengeluarkan sebuah cincin bermata putih dari sakunya.


Tahukah kau kawan, kecuali saat itu sadar bahwa Ayahku masih tidak merestui hubungan kami, aku bahagia sekali.

”Aku.. aku, mau. ”, kataku malu-malu.

”Tapi...”, aku ingat bagaimana mungkin Ayahku merestui hubungan kami?

”Ayahmu? Aku akan menemuinya baik-baik. Akan aku tempuh cara apapun untuk menaklukan hatinya. Kita akan menikah dengan restunya. Dia satu-satunya orangtuamu yang tersisa, aku nggak mau kamu terlalu mencintaiku lalu durhaka sama dia.”, Dimas tersenyum memelukku.


Saat itu aku ingat langit senja, warnanya jingga merona. Mungkin sama meronanya dengan wajahku. Air mata mengalir pelan di wajahku. Aku bersyukur Dimas yang melamarku, setidaknya ia tahu bagaimana caranya berbakti kepada orang tua.


Kami bergandengan tangan ke tempat kami memarkir kendaraan, aku masuk ke mobil lalu memutar sebuah lagu yang akhir-akhir ini sering kudengarkan.

Marry me Juliet, you'll never have to be alone. I Love you, and that’s all I really know. I talked to your dad, go pick out the white Dress. It is love story, baby just say yes.

“Yes, I do.”, aku berbisik sambil menyeka rintik yang jatuh lagi dari mataku. Tuhan, jika cinta ini Kau restui, mudahkan jalan kami untuk melangkah, doaku dalam hati.



@alvina13 #15HariNgeblog FF Hari kelima belas (1)

Rabu, 25 Januari 2012

Ini bukan judul terakhir

Aku menikmati angin lembut pantai yang menyapu anak rambutku, sambil sesekali melihat ke layar ponsel. Ah, rasanya aku masih belum terbiasa melepaskan hubungan kita.

Sebuah pesan masuk ke ponselku, berharap darimu. Dan ya, ternyata itu kamu.


Kamu masih di pantai? aku OTW ke sana. Tunggu ya. – Danu


Aku tersenyum sambil mengetikkan kata ‘ya’ dan mengirimnya.

Kita memang sudah resmi putus, tapi kamu masih mau menjadi temanku. Agak janggal rasanya, tapi biarlah. Toh kita berpisah baik-baik, tak ada caci maki apalagi dendam. Memang saat itu ada air mata, tapi aku rasa air mata yang jatuh lebih berupa air mata lega. Lega karena aku tak harus berpura-pura masih jatuh cinta sama kamu.


Sebentar kemudian kamu sampai dan mengambil duduk di sebelahku. Ombak menjilat lembut kaki kita, sebentar lagi mentari rebah ke peluk malam. Kita sejenak terbuai dalam suara semesta, debur laut, siulan camar serta kelepak sayapnya.


“Kamu pernah menyesal pacaran sama aku? “, tanyamu tiba-tiba.

Aku menatapmu sambil menggeleng. Tentu saja mencintai seseorang bukanlah sebuah kesalahan, pikirku.

“Kenapa kamu nanyanya aneh?”, aku tersenyum.

“Entahlah, ini kali kesekian aku putus sama cewek. Bukan bermaksud sombong, tapi sepertinya aku udah kaya piala bergilir. Dari satu cewek ke cewek yang lain.”

“Kok kamu mau?”

“Mau apa?”

“Ya, jadi piala bergilir gitu? Jual mahal dikit donk,” aku tertawa sambil menepuk bahunya.

“Mungkin. Sepertinya setelah ini aku akan lebih selektif dalam memilih cewek.”

“Nggak yang kaya aku, gitu maksudnya?”, godaku.

“Enggak, bukan begitu, Mel.”

“Hahaha, nggak apa Dan, aku nggak pernah menyesal pernah pacaran sama kamu. Toh kita juga berpisah baik-baik. Mungkin baiknya kita jadi sahabat aja. ”, aku menatap langit yang mulai menjingga.


“Ini bukan judul terakhir, kan Mel?”

“Maksudmu?”

“Iya, ini, kamu, kita. Bukan judul terakhir dalam kisah cinta kita masing-masing, kan? “

“Tentu saja nggak, Dan. Kamu dan aku, kita bakal nemuin suatu hari nanti, pasangan kita yang sebenarnya. Mungkin mereka sedang ada di sisi lain pantai ini, mungkin mereka juga pernah pacaran kaya kita, Siapa yang tahu? Cinta itu berkah, tapi jodoh itu rahasia Tuhan. “, aku tersenyum, berdiri sambil menyapu butir-butir pasir yang menempel di kakiku.


“Pulang yuk.”, ajakku.

“Oke. Kamu aku anter pulang ya?”


Aku mengangguk. Kita bergandengan pulang, seiring mentari yang pulang ke haribaan malam.


@alvina 13 #15HariNgeblogFF hari keempatbelas

Selasa, 24 Januari 2012

Kalau odol lagi jatuh cinta

“Menurutmu, odol bisa jatuh cinta nggak? “, iseng aku bertanya padamu.

“Odol?”

“Iya, Odol.”

“Kalau odol lagi jatuh cinta, mungkin dia akan terlibat cinta segitiga.”, jawabmu.

“Kenapa?”

“Karena aku rasa, odol bingung harus memilih akan setia sama siapa, sikat gigi sebagai pasangannya atau gigi geligi sebagai takdirnya.”


Saat itu aku tertawa mendengar jawabanmu. Hei, aku hanya iseng bertanya. Kenapa kamu membawa-bawa sampai cinta segitiga segala? Mungkin waktu itu, sebenarnya kamu sudah memberi tanda kepadaku, akan apa yang aku temukan hari ini.


Pagi tadi, aku terbangun karena ponselmu terus menerus berbunyi. Aku tahu semalaman kamu lembur kerjaan, jadi aku berinisiatif mengangkat telepon itu.

“Halo, selamat pagi.”, aku membuka percakapan.

“Selamat pagi, maaf apa ini nomer hape Bapak Tyo?”

“Iya, betul. Ada perlu apa ya, Pak?”

“Saya Komar, Bu. Tetangganya Bu Sinta. Saya mau memberi kabar, Bu Sinta masuk rumah sakit. Tadi jatuh di kamar mandi, kata pembantunya sih pendarahan. Tolong disampaikan ya, Bu. Di rawat di RS. Kasih Ibu, Kamar Anyelir.”

“Sebentar, Pak. Bu Sinta itu siapa ya? Maaf sekali, tapi rumahnya mana? Apa hubungannya sama Suami saya?”

“Lho, gimana sih. Bu Sinta itu ya Istrinya Pak Tyo. Ibu ini siapanya Pak Tyo to, kok bisa sampai nggak tahu?”


Aku tak mampu berkata. Sambungan aku matikan, lalu aku merasakan penyesalan terbesar dalam hidupku atas keputusan mengangkat telepon itu pagi ini.


Aku menunggu kamu bangun sambil menangis. Entah untuk apa air mata ini. Mungkin untuk wanita itu yang kau nikahi diam-diam tanpa sepengetahuanku, Mungkin untuk rahimku yang tak mampu memberikan anak untukmu, atau mungkin aku menangisi takdir.

Kamu bangun, seperti biasa melakukan rutinitasmu. Mencuci muka, menggosok gigi (yang membuatku ingat akan percakapan kita dulu tentang odol yang jatuh cinta), lalu menghampiri meja makan untuk sarapan.

Setelah itu kamu memandangiku, mungkin heran karena aku terlalu banyak diam pagi ini.


“Kamu sakit, Dy?”, tanyamu.

“Nggak, Mas.”

“Kok kayaknya kamu pucat? Kamu habis nangis, ya?”

“…” , aku diam. Bingung bagaimana mengatakannya padamu.

“Hei, besok kan ulang tahun perkawinan kita yang kelima. Kamu mau minta hadiah apa?”


Aku menangis. Rasanya perih ketika kamu ingat hari pernikahan kita, tapi apakah kamu ingat janji setia kita dulu?


“Dy, eh. Kok malah nangis?”, kamu menghampiriku.

“Mas. Kamu nggak perlu jadi odol buatku.”, kataku.

“Kamu ngomong apa sih?”

“Kita berpisah saja, Mas. Aku tahu kamu ngga bahagia hidup bersamaku.”

“Dyah. Kamu itu ngomong apaan?”, kamu menatap wajahku, mungkin mengamati apa aku serius dengan perkataanku.

“Sinta masuk rumah sakit. Dia pendarahan. Kamu temani saja dia. Setelah urusanmu beres, kamu bisa menceraikanku.”, aku menatap matanya dengan tegas. Kuhapus air mata yang tadi berjatuhan di pipiku.


Tidak, aku tidak boleh terpuruk. Jika kamu memang terbelenggu olehku, maka aku yang akan melepaskanmu dari ikatan itu.



@alvina 13. #15Ngeblog FF hari ke tiga belas.

Senin, 23 Januari 2012

Merindukanmu itu seru

Kamu : Kamu nggak kangen aku?

Aku : Kangen kok

Kamu : Terus kapan donk kita ketemu?

Aku : Kamu udah nggak sabaran banget sih pengen ketemu aku?

Kamu : Habisnyaaa.. kamu sih jarang terima teleponku. Masa iya kita Cuma bisa chatting diam-diam?

Aku : Biarin. Biar aku puas merinduimu. Tau nggak sih, merindukanmu itu seru!!

Kamu : Seseru hubungan kita?

Aku : Hahahaha :D. Hei, GTG. Dia datang.

Aku keluar dari kotak percakapanku denganmu saat anakku masuk ke dalam ruang kerja.


“Papaaa.. Kita main bola yuk!”

“Ayo, kita ke teras”, aku menggandeng tangan mungilnya sambil bernyanyi-nyanyi riang.


Selang beberapa saat, ia mulai bosan lalu masuk lagi ke dalam rumah menonton film kesukaannya yang baru diputar di televisi.

“Gy, aku jam tujuh malam ada meeting sama klien baru. Kalian mau ikut apa di rumah aja?”, aku bertanya pada istriku.

“Di rumah aja Mas. Tapi kamu cepat pulang ya..“, ia tersenyum sambil bergelayut manja di bahuku.

Aku tertawa, selalu suka melihat istriku bermanja seperti itu.


Jam setengah tujuh aku keluar rumah, mengemudikan kendaraanku ke apartemen baru di tengah kota. Aku akan membuat sebuah kejutan untukmu, pikirku. Di tengah jalan aku mampir membelikanmu kue ulang tahun. Hari ini tepat setahun hubungan kita tetap terjalin rahasia.


Kita bertemu pertama kali saat rapat tahunan dari cabang lembaga kita di seluruh Indonesia diadakan di Cipanas. Aku sudah sering mendengar cerita tentang dirimu, kabarnya kamu adalah wanita pertama yang mampu melejitkan nama lembaga kita di cabang yang kau pegang itu. Kamu terkenal dingin, angkuh dan kaku. Tapi nyatanya setelah kita berkenalan, kamu hangat dan romantis. Sayang aku sudah punya istri dan anak, pikirku saat itu. Meski sebenarnya aku bisa saja menikahimu diam-diam, tapi aku ingin suatu saat nanti seluruh dunia tahu bahwa aku berhasil menaklukanmu.


Aku sudah sampai ke apartemenmu yang tiap akhir pekan kamu singgahi agar bisa bertemu denganku. Tapi kali ini aku tidak berkata akan mengunjungimu, jadi kejutan ini pasti seru. Saat di lobby, aku melihatmu sedang duduk membelakangi pintu masuk. Sepertinya kamu sedang menelpon seseorang. Aku mengendap-endap di belakangmu, siap memberikanmu kejutan saat aku mendengar namaku disebut di percakapanmu. Suaramu yang keras membuatku mampu mendengar kata-kata itu.


“Tenang aja, Si Tony nggak bakal ke sini. Tadi udah gue tanyain, tapi dia bilang sih nggak bisa kesini.”

“Mana gue tahu. Paling juga ngerayu istrinya biar ga curiga.”

“Udah, istrinya kalem banget. Anaknya juga cakep. Gue juga nggak tau kenapa pria kayak dia nggak puas, masih aja ndeketin gue.”

“Tenang aja, rencana kita bakal berjalan dengan sukses. Gue tinggal ngungkapin hubungan ini ke publik, terus setelah dia dipecat, bakal gue pastiin kamu yang nggantiin posisi jabatannya dia.”

“Ya iyalah, gue Cuma sayang sama kamu, Den. Percuma donk gue berbuat gini kalo nggak buat kamu.”

“I will. Secepatnya, setelah gue punya bukti-bukti yang banyak, akan gue habisi karier Si Tony.”

“oke, Bye. I love you, dear.”


Aku tersentak, lalu melangkah pulang. Pulang ke rumah dan keluarga yang selama ini setia terhadapku. Aku tak perlu merindumu lagi, tak ada seru-seruan lagi, semuanya palsu, batinku.



@alvina13 #15HariNgeblogFF hari kedua belas

Minggu, 22 Januari 2012

Tentangmu yang Selalu Manis

Secangkir black coffee sudah menemaniku sejak tadi sambil menunggumu di meja ini. Meja kecil di dekat jendela, di dalam kafe favorit kita dulu.

Aku melihatmu masuk lalu melambaikan tangan ke arahku.


“Hai, Mel. “, sapaku.

“Hai, Ndre.”, jawabmu.

Pelayan datang lalu kamu memesan vanilla latte, masih sama seperti dulu. Sepertinya kamu selalu suka dengan minuman itu, karena tiap ke kafe ini, kamu paling sering memesan minuman itu.


Sementara pelayan membuatkan pesananmu, kita terdiam dalam jeda yang lama.

“Apa kabarmu?”, aku bertanya mencoba memecahkan keheningan yang kaku.

“Baik.. Kamu kapan datang dari Jakarta, Ndre?”, tanyamu.

“Kemarin sore. Kamu sibuk apa sekarang?”


Lalu mengalirlah percakapan antara kita. Sesekali kamu tertawa, tawa yang dulu selalu aku rindukan sejak kita tidak pernah lagi berjumpa. Tapi kita tak pernah membahas luka lama lagi. Aku takut melukaimu, dan kamu mungkin takut melukaiku.


Hari beranjak sore, kamu pamit sebelum memberikan sebungkus kado untukku.

“Isinya buku, aku harap kamu masih suka baca Sherlock Holmes seperti dulu.”, kita berjabat tangan lalu kamu pergi.


Aku penasaran apa isi dibalik sampul putih polos tersebut.

Isinya sebuah buku Sherlock Holmes yang terbaru, dan sepucuk surat dalam amplop warna biru.


Hai Ndre,

Maaf bila akhirnya aku terpaksa menulis surat bukannya berani ngomong langsung ke kamu. Aku tahu masa lalu kita berakhir dengan perih, dan aku yang menyebabkan luka itu di hatimu.

Saat itu aku tak siap menerima kehadiranmu yang meminta lebih dari sekadar menjadi sahabatku. Aku sadar bahwa aku menyayangimu, namun aku masih merasa butuh waktu untuk memikirkan pernyataan cintamu.

Dan ternyata aku terlalu lama meminta waktu. Dua bulan setelah itu, kamu pergi ke Jakarta. Meninggalkan aku yang masih terombang-ambing dalam perasaanku sendiri. Saat itu aku berharap aku bisa lebih tegas pada diriku sendiri. Agar diantara kita tidak ada bayang-bayang luka.

Kamu pergi dan bahkan tidak memberi kabar untukku. Sampai kemarin malam, ketika kamu mengirimkan pesan ke ponselku mengajakku bertemu hari ini.

Ketika kamu pergi dariku, aku baru sadar betapa aku selama ini beruntung memilikimu. Benarlah pepatah yang mengatakan bahwa kita tidak pernah tahu betapa pentingnya sesuatu yang kita miliki sampai itu pergi. Segala hal yang ada di sekelilingku mengingatkan tentangmu yang selalu manis.

Sekarang setelah kamu kembali, masih adakah kesempatan untukku memilikimu? Cinta yang dulu kau nyatakan padaku apakah masih berlaku?

Kabari aku, Ndre. Aku mencintaimu.


Aku menutup surat itu. Mengapa harus sekarang, pikirku.


Sebuah pesan masuk di ponselku.


Besok aku berangkat naik penerbangan paling pagi biar cepet ketemu kamu, Mas. Jemput di Adi Soemarmo ya! I Love You. – Dina.


Mengapa sekarang, ketika aku sudah punya tambatan hati yang sebenarnya?



@alvina13 #15HariNgeblogFF hari kesebelas

Sabtu, 21 Januari 2012

Senyum untukmu yang Lucu

Aku masuk diam-diam ke ruang kelasmu, rasanya senang bisa hadir kembali di sisimu setelah lama rasanya tidak mengantarkanmu sekolah.


Rambutmu hanya diikat kuda, ah, Papamu pasti tak bisa mengepang rambutmu. Karena semenjak dulu, itu pekerjaanku. Aku yang memandikanmu, memakaikan seragammu, menyisir lalu mengucir rambutmu atau sesekali mengepangnya agar tidak berantakan. Rambutmu hitam pekat seperti milik Papamu, tapi sedikit ikal sepertiku. Setelah itu aku akan mengantarkanmu sekolah yang hanya berjarak satu blok dari tempat tinggal kita.


Sudah berbulan-bulan aku tak bisa mengantarkanmu. Tidak bisa melihat senyum atau menghapus tangis ketika kamu keluar dari gerbang sekolah, seringnya diusili oleh temanmu.


Hei, seorang anak cowok menghampiri mejamu. Apa itu Doni, cowok yang pernah kau ceritakan padaku? Waktu itu kamu bilang kalau kamu menyukainya, bahkan berkata kalau sudah besar kamu akan menikahinya.

Saat itu aku tertawa, impianmu sungguh tinggi. Imajinasimu selalu melangit, entah karena hobimu yang suka membaca atau memang kamu suka bercita-cita. Aku ingat kemudian membayangkan seperti apa pernikahanmu kelak.

Kembali melihatmu adalah suatu keberkahan luar biasa untukku. Apalagi melihatmu tersenyum dikelilingi teman-temanmu. Tapi kemudian..


“Eh, Na. Nyokap lu udah mati ya? Jadi lu nggak punya nyokap lagi?”


Deg. Sebilah pisau seakan menancap di uluhatiku saat pertanyaan itu terucap dari seorang temanmu. Matamu menggenang, lalu menetes menjadi hujan. Kamu tergugu dan terisak dengan sesak.


Aku ingin menghiburmu, Nak. Memelukmu. Memberikan senyum untukmu yang lucu, agar kamu tak kembali berduka, agar kamu kembali ceria. Namun bagaimana caranya, sedangkan kamu tak bisa melihatku.


Bulan-bulan penuh pengorbanan itu, penuh perjuangan, air mata dan kesakitan yang luar biasa. Sampai akhirnya aku kalah. Aku menyerah. Kanker itu terlampau ganas hingga ia sanggup menang melawanku. Rasanya aku tak mau meninggalkanmu, melihat duka dalam mata mungilmu, mendengan ceriamu berubah jadi tangis yang tersedu.


Tapi aku selalu ada di hatimu, Nak. Aku akan selalu ada saat kamu membuka mata di pagi hari, mendengar kicau burung atau merasakan dinginnya hujan. Aku akan selalu ada saat kamu tertawa, menangis atau tersipu malu. Aku akan selalu ada di hatimu, memberikan senyum untukmu yang lucu.


Aku mendekatimu, mencoba memelukmu hingga kau merasa aman dan tak ada yang akan mengganggumu. Tak ada yang berhak mengganggu gadis kecilku yang lucu.



@alvina13 #15HariNgeblogFF hari kesepuluh *dedicated 4 my Mom. I’ll always love you*

Inilah aku tanpamu

Aku duduk sendiri di pinggir pantai, melemparkan kulit kerang kecil yang tadi aku kumpulkan kencang-kencang ke dalam laut. Biasanya aku duduk di sini bersamamu, memandangi matahari terbenam, menikmati semilir angin yang bertiup sepoi lalu kita bergenggaman tangan waktu berjalan pulang ke mobil.


Tapi kali ini aku sendiri. Inilah aku tanpamu.


Masih tetap menyukai senja di pantai, mengamati langit yang jingga, menikmati debur ombak yang menjilat lembut kakiku. Mari mengenang hari itu, saat kamu pergi meninggalkanku.


Saat itu senja dan di pantai ini juga, ketika kamu menangis di bahuku. Air mata yang mengalir itu sebenarnya turut menyakiti hatiku, namun bagaimanapun juga aku tahu saat itu kamu membutuhkanku untuk tetap tegar.

”Aku dijodohkan, Mas.”, katamu.


Aku tertawa, dalam hati meragukan perkataanmu. Orangtua macam apa yang jaman sekarang masih menjodohkan anak perempuannya seperti Siti Nurbaya?

”Dimas, aku serius.”, kamu berkata lalu aku terdiam.


Bumi memang berputar, tapi saat itu aku rasa putarannya terlalu kencang sampai aku pusing. Ini pasti bercanda.

”Kamu serius, Wi?”, kataku.


Lalu mengalirlah kisah keluargamu, tentang hutang-hutang Ayahmu. Tentang permintaan seorang lelaki kaya untuk menikahimu.

Ah, kalau saja aku orang kaya seperti dia. Aku yang akan membayar hutang Ayahmu, Wi. Tanpa harus menyerahkan dirimu ke pelukan lelaki lain.

”Maaf, Mas. Aku harus pulang. Mulai sekarang jauhi dan lupakan aku.”, katamu tergugu.


Sekarang aku di sini. Tanpamu. Meski aku berusaha menjauhimu, tapi aku tak mampu melupakanmu. Setiap kali aku bertemu dengan teman-temanmu, aku selalu menanyakan kabarmu. Mereka bilang kamu sudah pindah ke Bandung. Aku tak pernah berani menghubungimu, pun sekadar bertanya keadaanmu. Aku takut, jika aku melihatmu bahagia, aku akan semakin luka karenanya. Tapi aku juga khawatir, apa kamu baik-baik saja bersama lelaki itu?


Matahari genap tenggelam, meski bintang belum banyak yang tampak. Sudah saatnya aku pulang, kembali ke rutinitas tanpamu.

Aku berjalan menuju parkiran mobil, sampai aku melihat seorang wanita duduk di dekat Terios putihku.


”Hai, Mas. Apa Kabar?”


Itu kamu, Wi. Kamu yang nyata di dekatku.



@alvina13 #15HariNgeblogFF Hari kesembilan

Kamis, 19 Januari 2012

Halo, siapa namamu?

Hari ini upacara penerimaan siswa baru. Kamu bertugas menjadi bagian dari pasukan pengibar bendera. Tentu saja pas, kamu putih, tinggi, langsing, dan cantik. Sepertinya semua mata sedang mengamatimu, termasuk mataku.


Sebenarnya sudah sering aku melihatmu di dekat rumah, kamu siswa pindahan dari Jakarta yang sering dibicarakan Ibuku. Tapi aku belum menemukan momen yang tepat untuk berkenalan denganmu, terlebih aku kakak tingkatmu. Gengsi donk, kalau aku ngajak kenalan duluan? Tapi hari ini, sepertinya aku harus lebih dulu mengenalmu sebelum teman-temanku mendahului.


Upacara selesai, diam-diam aku mengikuti langkahmu. Ternyata kamu masuk kelas X.9, Tepat di depan kelas Rena, gebetanku. Sial, aku memaki dalam hati.


Bel masuk berbunyi, aku kembali ke kelas. Sepanjang pelajaran, aku masih memikirkanmu. Pokoknya aku harus mengenalmu hari ini. Sebuah ide muncul di kepalaku, mungkin nanti aku bisa mengajakmu pulang bareng. Aku tersenyum penuh kemenangan.


Pulang sekolah, aku gagal menemukanmu. Kata Jo, teman sebangkuku, kamu sudah pulang bareng seorang teman satu kelasmu. Teman cowok! Ah, alangkah tidak beruntungnya aku. Hari ini aku terpaksa pulang bareng Rena, sepanjang perjalanan dia terus mengoceh ini itu yang tidak terlalu aku perhatikan. Jika tadi aku gagal, sore ini aku harus berhasil. Mungkin aku akan datang ke rumahmu mengajak berkenalan.


Sore datang, aku sudah berpakaian keren dan wangi. Ibu saja sampai tersenyum mencium harumku, aku berpamitan akan pergi ke rumahmu. Motor aku nyalakan, lalu aku bersiul riang berangkat. Telepon genggamku berbunyi, sebuah pesan masuk.


Mas, kamu lagi di rumah nggak? Aku mau main ke rumahmu sekarang, ya? – Rena.


Ah, dia lagi, batinku, aku meminggirkan motorku, lalu membalas dengan enggan.


Aku nggak di rumah, ada acara penting.


Biar, mulai sekarang aku akan mengabaikannya. Aku ingin mendapatkanmu. Biar nanti kulepas Rena dari sisiku.


Aku mengetuk pintu rumahmu, ibumu yang membuka.

“Selamat sore, tante..”

“Selamat Sore, mau cari siapa ya?”


Sial, aku belum tau siapa namamu!!


“Saya.. em.. saya disuruh Ibu mengantarkan ini untuk Tante.”, aku menyerahkan senjata pamungkasku. Sekantung plastik mangga yang tadi aku petik dari pohon di depan rumahku.

“Oo.. silakan duduk, nak. Siapa namamu?”

“Saya Bintang, Tante.. Rumah saya di dekat pasar, Saya putranya Bu Dewi”, aku bersalaman dengan Ibumu.

“Ow, Bu Dewi yang rumahnya berpagar biru itu ya?"

"Iya, Tante.."

"Sebentar ya, duduk dulu, Nak.”


Saat itu aku melihatmu keluar membawakan gelas berisi teh, untukku sepertinya.


“Halo, siapa namamu?”, kataku dengan senyum jitu.


Dari balik pintu, aku melihat kejutan tak terduga. Itu Rena, pacarku. Sedang apa dia disini???


“Aku Nadia.”, kamu mengajakku bersalaman.


Dengan ragu aku balas menjabat tanganmu, sambil melirik pada pacarku.


“dan ini Rena, sepupuku. Siapa namamu?”, tanyamu.

“Aku…”, aku diam.


“Dia Bintang. Pacarku.”, sahut Rena menohokku. Hancur sudah harapanku mengenalmu lebih jauh.


@alvina13 #15HariNgeblogFF hari pertama

Aku benci kamu hari ini

Aku masih ingat semalam, ketika kamu mengecup lembut keningku. Saat itu hari kelabu, gerimis masih membasahi bumi. Pekatnya awan masih menyelimuti langit. Dingin. Tapi aku masih merasakan betapa hangat dalam pelukmu. Hari itu adalah hari indah bagiku, karena akhirnya kamu melamarku.


Kini aku duduk di ruang putih ini. Bau disinfektan menyengat pernafasan. Rasanya sesak, entah karena bau itu atau aku sesak mengingat tawamu. Di dalam sana, kamu berjuang bertahan.


“Din, Rangga kecelakaan.”, kakakmu mengabariku pagi tadi. Katanya, dalam perjalanan pulang setelah mengantarku, ban mobilmu pecah, lalu terjun bebas dari jalan bebas hambatan. Entah apa yang ia omongkan selanjutnya, karena duniaku seakan turut runtuh saat itu.



Betapa kebahagiaan bisa dengan cepat berganti duka.


Aku menangis terisak, begitu takut kamu tinggalkan. Bagaimana dengan aku, yang akan selalu berduka jika kamu pergi?


Lampu kamar operasi dimatikan. Operasi berakhir, seorang dokter lalu keluar menemui orangtuamu. Aku berjalan mendekat, antara penasaran tapi begitu takut mendengar kabar buruk darimu. Jangan pergi dulu Ngga, Batinku.


“Operasinya lancar. Saudara Angga masih harus dirawat intensif tapi kondisinya sudah lebih baik”, dokter tersenyum padaku.


Aku tertawa. Menangis lalu tertawa lagi. Hidup memang permainan yang berbatas tawa dan air mata.


“Aku benci kamu hari ini.”, aku berbisik di depan pintu kamarmu. Aku masih belum mau masuk sampai kamu tersadar, lalu aku akan puas memarahimu.


“Aku benci kamu hari ini. Kamu melamarku, lalu kamu menorah hatiku dengan perasaan takut kehilangan yang amat sangat.”

“Tapi hanya hari ini, karena aku tahu setelah hari ini aku akan selalu mencintaimu. Karena aku nggak mau kamu pergi dariku, Ngga.”, aku tersenyum memandang jauh wajahmu.



@alvina13 #15HariNgeblogFF hari kedelapan

Rabu, 18 Januari 2012

Sepucuk surat (bukan) dariku

Aku memandangimu yang sedang mengajar di depan kelas. Tawa riang sesekali mewarnai suasana. Aku bahagia melihatmu mewujudkan keinginanmu, Gy. Dulu kau pernah berkata bahwa mengajar anak-anak di pedalaman negeri ini merupakan suatu tantangan yang harus bisa kau taklukan. Dan di sinilah kamu berada sekarang, mengabdikan diri kepada kemanusiaan. Kepada sanak saudara kita yang tertinggal ilmu pengetahuan.


Meski awalnya aku sulit melepasmu, tapi aku tahu sifatmu yang keras kepala. Hari itu, saat kamu berangkat, aku baru berdamai dengan perasaanku. Pasti akan sulit untuk berada jauh darimu, terlebih dengan sarana informasi yang terbatas. Tidak ada yang punya telepon rumah, apalagi miskin sinyal telepon genggam. Hubungan kita Cuma berbatas surat-menyurat. Kalau ada sahabat pena, maka kamu adalah pacar pena-ku. Meski harus puas akan tukang pos yang mungkin hanya sebulan dua kali datang ke daerahmu, tetapi aku terus mengirimkan cerita keadaanku setiap hari.


Aku ingin kamu tahu bahwa aku tetap mencintaimu, tetap setia padamu.


Bel sekolah berbunyi, setelah salam penutup lalu kelasmu bubar. Semangat dan senyum masih terus terlihat jelas di wajahmu.


Hei, lihat Gy, itu Pak Pos yang mengantarkan surat untukmu. Adakah suratku hari ini sampai padamu? Aku mengintip beberapa surat yang diberikan Pak Pos kepadamu, ah itu dia, sebuah surat dengan amplop warna biru tua. Warna kegemaran kita berdua.


”Terima kasih Pak.”, katamu lalu berlari ke kebun belakang sekolah untuk membaca surat cinta dariku. Tunggu dulu, betulkah itu surat cinta dariku?


Aku melirik lagi nama pengirimnya. Alamatnya memang dari rumahku, tapi pengirimnya bukan aku. Sepucuk surat itu (bukan) dariku, Nggi. Kenapa kamu nggak terkejut? Atau kamu belum sadar bahwa bukan namaku yang ada di sana?



Dear Anggy, maafkan Oom, Nak. Sebenarnya Oom ingin datang langsung ke tempatmu untuk mengabari hal ini. Tapi kondisi Tante yang masih trauma membuat Oom harus selalu menemaninya. Gy, Reno seminggu yang lalu kalah dalam pertarungannya melawan penyakitnya. Ia sudah meninggal, Gy. Maafkan Oom karena tidak segera mengabari Anggy.

Surabaya, 3 Januari 2011

Salam,

Ayahnya Reno.



Kamu menangis, Gy. Tangis dalam yang membuatku merasa bersalah telah meninggalkanmu. Aku ingin membelaimu, menghapus air mata itu dan berkata semua akan baik-baik saja. Namun aku tak bisa. Aku hanya bayangan yang ikut merasakan lukamu. Maaf Gy, maafkan aku.


Angin bertiup, menghapusku dari dunia ini. Dari sisimu, dari bayang hidupmu. Maaf, Gy. Maafkan aku...


@alvina13 #15HariNgeblogFF hari ketujuh