Senin, 26 November 2012

Liebster award?

Hihi, Kali ini itung itung sambil ngupdate, ada tantangan seru dari LeeAne di sini.

Kebetulan saya ditodong buat njawab beberapa pertanyaan dari dia, alhasil, baiklah toh mumpung punya waktu buat ngeblog, jadi ngga ada salahnya buat ikutan. :D

ini award apaan, sih? Nah ini penjelasannya..
  • Sebagai orang yang ditodong... kita harus ngasih tahu sesuatu tentang diri kita..entahlah aturannya sih katanya 11 hal mengenai apapun tentang diri kita.
  • Jangan lupa pula jawab 11 pertanyaan yang juga diberikan ama si pemberi award.
  • Bagian terakhir, nunjuk 11 kandidat penerima award berikutnya (inilah bagian tersulitnya... buatku yang punya follower beberapa biji)
  • Supaya adil kita juga harus ngasi 11 pertanyaan buat 11 kandidat itu... (ini bagian asyiknya, soale  kita bisa nanya' apapun.. asyikkk!! \\(^_^)// )
  • The last but not the least ...kunjungin blog yang udah diberi award , tapi... jangan kasih award balik...
Oke. Sekarang 11 hal tentang diri saya. emm..

1. Simpel.
2. Penimbun buku.
3. Doyan baca.
4. Makanan favorit : Nasi Goreng dan Sate
5. Cita-cita : Astronot
6. Warna favorit : Biru
7. Suka nonton kartun dan thriller
8. koleksi buku pertama : komik Doraemon
9. paling ga suka kalo disuruh nunggu
10. genre buku favorit : Fantasi
11. lebih suka novel daripada kumpulan cerpen.

Sekarang njawab pertanyaan dari LeeAnn. ehem. *ikat kepala. *semoga ga nemu reaksi kimia.

1. Pernah nggak kamu merasa kamu kesepian/sangat kesepian padahal banyak orang si sekitarmu (orang2 yang kamu kenal).
Pernah. apalagi kalau di kereta. *sok galau
 
2. Pernah nggak kamu berfikir untuk membuat sesuatu yang menurutmu "WOW"... bermanfaat tidak hanya bagimu tapi juga orang banyak, jika iya apa...dan manfaatnya apa?
bikin perpustakaan. tapi belum terlaksana, soalnya masih dikit koleksinya, dan ngga ada yang njagain kalo aku ngga di rumah. -___-
 
3. Apa keinginan terbesarmu yang menurutmu mustahil untuk tercapai...sebutkan apa, dan kenapa?
jadi astronot? emm.. soalnya sejauh ini belum ada astronot wanita dari Indonesia. -____- *sedih

4. Jika kamu dikasih kesempatan untuk memilih, mau pilih mana... pergi ke masa depan atau masa lalu... cantumkan alasan kenapa?
ngga milih dua-duanya, boleh ngga? aku suka apa yang udah ada di aku saat ini. Tuhan kan selalu kasih yang terbaik :)
*kalau dipaksa milih, aku milih ke masa lalu aja deh. kangen kangenan ama Mama :D
 
5. Jika kamu mendapatkan kesempatan untuk menjadi orang lain, kamu pengen jadi siapa? kenapa beserta alasan.
hadeh. jadi siapa ya? jadi aku sendiri aja udah riweuh. jadi presiden jelas bakal didemo terus. jadi pemain film nanti banyak fans malah idupnya ga tenang, heeeaah... *pusing mikir *lalu ketiduran
 
6. Siapa motivator, atau inspiratormu!! apa yang membuatmu terinspirasi atau termotivasi, cantumkan alasan.
Mama. wanita terhebat yang pernah saya kenal seumur hidup saya. :)
 
7. Kalau kamu dilanda stress atau galau yang tiada tara, sampai kamu merasa putus asa dan tak tahu harus berbuat apa...apa yang kerap kali kamu lakukan buat ngalahin perasaan itu. apakah cara itu lebih sering berhasil atau malah kadang kala gagal?
nangis. terus sholat. terus berdoa. seringnya sih ga sukses berat, tapi bener bisa bikin perasaan jauh lebih baik. :)
 
8. Kita harus mensyukuri apa yang kita miliki, apakah kamu sudah tahu kelebihanmu apa? kalau iya, apa dan kenapa kamu menganggap itu kelebihanmu, kalau tidak kenapa kamu merasa kamu nggak punya kelebihan?
doyan baca. soalnya kasian ngga semua orang doyan baca.. *plaaak
 
9.Tipe teman seperti apa yang membuatmu nyaman ? kenapa?
yang cocok kalo diajak ngobrol. yang ngga pemalu banget, yang ceriwis tapi ga berlebihan. *soalnya saya udah ceriwis XD
 
10. Kalau kamu berkesempatan mengulangi masa lalumu, memori apa yang ingin kamu ubah? alasannya?
waktu di bully saat SMP. kalo bisa diulang, aku mau jadi jauh lebih pede sejak pindah sekolah pertama kali ke desa. biar ga di bully
 
11. Terakhir, kita tidak mungkin bisa membalas budi orang tua kita, tapi apa pernah terbesit untuk memberikan ortu kita sesuatu? barang atau apa? sebutkan apa itu? serta alasan kenapa?
Rumah. serta naik haji sama sama .. (Allahumma Amiin) :)


Rabu, 20 Juni 2012

Genggaman Tangan


Selamat datang di Air Terjun Tawangmangu.”, kamu berlagak bak pemandu wisata merentangkan tangan di depan pintu masuk Air Terjun. Terang saja dengan mimik wajahmu yang lucu, aku dan rombongan kelas Organik tertawa terbahak-bahak.
”Untuk tiket, biar saya yang urus, kalian tunggu saja di sini, Ya.  Din, bantu saya yuk.”, kamu mengajakku ikut ke loket.

Perjalanan ini sebenarnya karya wisata yang ditujukan bagi anak-anak di kelas Kimia Organik. Setelah tadi berkunjung di Balai Penelitian Tanaman Obat selama 4 jam, selepas dzuhur kami serombongan sepakat untuk meneruskan perjalanan lebih naik ke atas, yaitu ke Air Terjun Tawangmangu yang terkenal.

”Din, ye.. kok ngelamun?”, kamu menaik turunkan telapak tanganmu di depan wajahku. Aku hanya bisa nyengir, ”Udah dibayar?”, tanyaku.
”Udah. Yuk kita ke rombongan. Anak-anak pasti sudah menunggu.”
Kemudian kamu membagi-bagikan tiket untuk 25 orang mahasiswa yang ikut.
”Karena kalian sudah dewasa, saya yakin kalian bisa berhati-hati dan jaga diri dengan baik. Karena itu saya akan membebaskan kalian hendak ngapain aja di Kawasan Air Terjun ini. Tapi ingat, kalian harus menaati peraturan yang ada, kita kumpul di dekat air terjun jam 4 ya. Setelah itu kita bersiap-siap pulang.”, setelah kamu selesai berbicara, anak-anak itu sudah turun satu demi satu meniti tangga ke Air Terjun.
”Oh ya.. hati-hati terhadap monyet liar ya..”, teriakmu.
Aku tertawa melihat reaksi anak-anak perempuan yang memandang ngeri dan ragu-ragu turun ke bawah.
”Nggak apa-apa, asal kalian tidak mengeluarkan makanan atau menjinjing kantung plastik. Jalan saja dan jangan dekat-dekat tepian tangga. ”, kataku menenangkan mereka.
Akhirnya setelah saling berpegangan tangan, mereka turun juga ke Air Terjun.

”Yuk ah, kita ikut turun. ”, ajakku sambil menoleh ke arahmu. Tapi aku tidak menemukanmu padahal tadi kamu jelas-jelas berdiri di sebelahku.
”Er.. Eri..”, aku berjalan mencarimu, ragu apakah aku turun menuju air terjun atau mencarimu di sela keramaian orang di atas sini.
”Hei, Din. Nyari aku ya?”
”Kamu ke mana sih?”
”Beli bunga.”
”Bunga?”
”Iya.”
”Untuk apa?”
”Untuk gadis yang akan aku lamar hari ini.”
”Ah.. kamu jahat, kenapa kamu nggak cerita sama aku kalau mau melamar Intan hari ini?”, kataku memasang muka kecut.
”Hahaha. Lihat saja nanti.”, dari wajahmu aku tahu kamu bahagia.

Jadi begini, seluruh jurusan Kimia tahu bahwa Eri, sahabatku yang juga dosen ini punya kedekatan khusus dengan Intan, mahasiswa tingkat enam yang kali ini juga ikut dalam karya wisata. Menurut kabar yang beredar, mereka berpacaran, sedang kalau aku bertanya langsung kepada Eri, ia akan nyengar-nyengir tanpa menjelaskan apapun. Ketua jurusan sempat memanggil Eri, tapi entah klarifikasi apa atau kebohongan apa yang dikatakannya tapi semenjak itu Kajur tidak pernah membahas masalah itu lagi.

Tapi yang tidak pernah kuceritakan padamu adalah bahwa aku diam-diam menyukaimu. Bagaimana tidak, sejak kuliah kita sudah bersahabat, apalagi kita diterima kerja di universitas dan jurusan yang sama. Benarlah kalau ada yang bilang cinta itu ada karena terbiasa. Terbiasa bersama-sama, terbiasa berbagi bahagia, berbagi luka.

Aku berjalan turun di belakangmu menuju arah air terjun. Melirik iri pasangan muda-mudi yang bergandengan tangan mesra entah yang naik atau menuruni tangga sepertiku. Sial. Tak bisa kupungkiri betapa aku mulai tidak nyaman dengan keramaian di tempat ini. Meski udaranya segar dan sejuk, tapi riuh suara orang-orang membuatku kecewa.
”Makan sate kelinci yuk.”,ajakmu. Aku mengangguk, menurut. Aku sudah ingin pulang, pikirku. Wahai waktu kumohon berputarlah dengan cepat. Biar kamu cepat melamar Intan, biar aku cepat pulang, mengadu nasibku pada bantal-bantal di kamar.

Jam 15.45 anak-anak sudah lengap berkumpul di dekat air terjun. Baru saat itu aku merasakan betapa indah sebenarnya tempat ini.Kejenuhanku sedari tadi hilang entah ke mana, tepiasan air serta deru air yang jatuh menerpa bebatuan membuatku terkesima. Kalau tadi aku memilih cepat pulang, ssaat ini aku malah ingin berlama-lama di tempat ini.


Ah, aku cemburu pada Intan, kalau saja aku boleh berteriak. Dia beruntung sekali bukan, dilamar di tempat seromantis ini?
”Baik semuanya, saya akan mengumumkan satu hal penting.”, keramaian anak-anak mulai mereda.
”Hari ini saya akan melamar seorang gadis yang penting bagi saya.”
”Cie..cie.. Suit..Suitt..”, sorak-sorai membahana. Beberapa anak melirik ke arah Intan, termasuk aku. Tapi kemudian aku membuang muka, aku tak sanggup menyaksikan cowok yang aku suka melamar orang lain. Apalagi orang lain itu muridku sendiri.

”Din, maukah kamu menikah denganku?”, kamu menyodorkan seikat bunga serta memperlihatkan sebuah cincin dan tempatnya.
Aku tergagap, refleks menoleh ke arah anak-anak mencari sosok Intan. Apa-apaan ini, bukankah seharsnya Intan yang kamu lamar, pikirku. Aku ingin meneriakkannya tapi lidahku kelu.
”Tenang Bu, eh, Mbak Dini. Saya dan Mas Eri nggak pacaran kok. Sungguh. Mas Eri ini keponakannya Papa, jadi bisa dibilang dia saudara jauhku. Semua gosip yang timbul di sekolah, hanya murni gosip belaka.”, Intan muncul di belakangmu. Aku bahkan masih melihat beberapa anak perempuan terlihat shock dengan kejadian ini.

”Kamu yakin memilihku?”
”Haha.. kita bertahun-tahun bersama, saling mengenal dan bersahabat. Aku mencintaimu, Din. Hanya saja butuh waktu lama dan tekad yang kuat untuk berani mengungkapkannya padamu. ”, katamu sambil tersenyum.
”Aku.. Aku. Ah. Aku tentu saja Mau.”, aku tertawa memelukmu.

Seperti yang bisa kalian bayangkan, akhir perjalanan itu tentu saja indah. Tak peduli anak-anak yang mengeluh kecapekan mendaki tangga, aku bersemangat 45 menaiki tangga untuk pulang, terlebih sekarang ada tangan seseorang yang bisa kugenggam.


#15HariNgeblogFF2 Hari ke 9 : Genggaman tangan



Selasa, 19 Juni 2012

Ramai


“Apa?? kamu setahun di Jogja belum pernah ke Malioboro?”, Kamu tertawa-tawa mendengar ceritaku.
”Biarin. Lagian nggak ada yang mau aku ajak ke sana. Hiks.”, aku memasang wajah pura-pura sedih. Baru saja aku bercerita padamu betapa aku penasaran seperti apa Malioboro itu. Jalan yang konon katanya merupakan poros Garis imajiner Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi.
”Keretamu sore ini ke Solo jam berapa?”, tanyamu.
“Jam 4. masih tiga jam lagi, kenapa emangnya?”
“Yuk. Aku antar ke Malioboro.”, kamu nyengir sambil mengeluarkan kunci motor.
Aku bengong. ”Yakin bisa sampai stasiun nanti tepat waktu dari Malioboro?”, kebetulan aku ada acara di rumah Pakde di Solo. Jadinya sore ini harus berangkat ke kota yang jauhnya 1 jam perjalanan kereta dari Jogja itu.

”Yakin. Udah deh, daripada kamu setahun di Jogja, tapi malu-maluin aja nggak pernah ke Malioboro.” , kamu menyodorkan helm lalu menyalakan mesin motor.
 
Aku ingat kemudian kamu mengantarkanku berjalan-jalan sepanjang Malioboro. Saat itu meski mentari bersinar terik, keramaian orang berlalu-lalang serta kendaraan yang tak pernah sepi, aku tetap menyunggingkan senyum penuh ceria karena akhirnya aku bisa datang ke tempat ini. Terlebih karena akhirnya aku bisa berjalan-jalan bersamamu, berdua saja. Meski saat itu kamu tak lebih menganggapku seorang teman biasa yang udik karena belum pernah menginjakkan kaki di Malioboro.

 ***

Kali ini aku berharap berjalan-jalan di Malioboro sendirian tak mengubah keramaian dan kenangan yang ditimbulkan kala itu. Saat aku keluar masuk toko berkali-kali hanya untuk menawar batik, atau terkagum-kagum dengan kerajinan tangan yang unik bersamamu yang sesekali memasang wajah memelas karena lelah berjalan. Hei, tak tahukah kamu bahwa perempuan diberkahi Tuhan dengan kekuatannya berjalan-jalan dan menawar demi mencari harga paling murah? Aku menertawakanmu berkali-kali karena akhirnya kamu bilang kapok mengajakku berjalan-jalan. Haahaha, kenangan tinggal kenangan.

Aku duduk di warung kaki lima setelah seharian memutari petak petak Malioboro. Tak lelah karena aku merasa kamu begitu dekat denganku, seakan aku mengulangi lagi perjalanan kita saat itu, yang pertama dan terakhir kalinya.
Segelas dawet yang kuaduk dari tadi belum kuminum seteguk pun. Aku haus tapi entah kenapa rasanya tidak sanggup menikmati minuman yang pernah jadi bagian kenangan Malioboro kamu dan aku.



Ponselku berdering tiba-tiba, sebuah pesan masuk.

Kamu di mana? Mau sampai kapan meratapi kenangan Aan yang kamu simpan diam-diam?

Itu Isna, sahabat tempat aku bercerita betapa aku kehilanganmu, An. Aku meneguk sedikit minumanku lalu melangkah menyusuri Malioboro lagi. Semakin sore, jalanan semakin ramai. Tapi aku merasa sepi tanpa ada kamu.

Re, kamu di mana sih? Aku jemput ya. Besok kamu menikah Re. Ingat itu.

Lagi-lagi Isna. Aku mematikan ponselku, aku hanya ingin berkubang hari ini dalam kenangan bersamamu.

 ***

”Tepat waktu kan? Jam 4 kurang lima belas menit. Lihat, aku tepat janji kan?”, kamu tertawa mengambil helm yang aku sodorkan di parkiran Stasiun Tugu.
Aku tersenyum ” Makasih ya atas jalan-jalan hari ini. Sampai ketemu besok, An.”, aku berat membalikkan badan masuk ke dalam stasiun.

”Eh, An”, kataku.. betapa aku saat itu ingin sekali mengatakan semuanya padamu. Betapa aku menyukaimu, betapa aku mencintaimu. Tapi rasanya lidahku kelu, aku malu, takut. Bagaimana kalau kamu marah padaku? Toh kamu sudah punya Lina, kekasihmu di kampung halaman sana yang sering kamu ceritakan padaku.

”Kenapa, Re?”
”Ah nggak, makasih banget ya.”, aku tersenyum melambaikan tangan lalu berjalan masuk ke dalam stasiun.

Malam di hari itu, aku menerima pesan dari Bayu, kakakmu di ponselku.

Re, Aan kecelakaan. Dia koma.

Semenjak itu aku tak pernah berhenti menyalahkan diriku sendiri. Bertahun-tahun kemudian, selepas kepergianmu pun aku telah memutuskan untuk berhenti membuka hatiku untuk lelaki lain. Cuma kamu An, Cuma kamu. Tapi toh orangtuaku terus mendesakku untuk menikah,sudah kepala tiga alasan mereka. Aku tak pantas menggadis terlalu lama.

Besok aku menikah, An. Tahukah kamu bahwa aku tak pernah mencintai lelaki itu, terlebih ia kakak lelakimu?

Aku memandangi Jalan Malioboro sekali lagi. Mengusap fotomu yang kugenggam sedari tadi, meneteskan air mata tiada henti. Aku sepi, meski ramai bukan main jalanan ini.

”Mbaak.. awas mobill...”, hanya itu teriakan yang kudengar sebelum putih membayangiku.

Tunggu An, aku datang menemuimu.



#15HariNgeblogFF2 Hari ke 8 : Ramai


Minggu, 17 Juni 2012

Biru, jatuh hati


”Akhirnya sampai jugaa..”, aku setengah berteriak keluar dari dalam mobil.
”Heh, malam-malam berisik, udah yuk check in dulu.” , Idham menyodorkan koperku lalu masuk ke dalam lobi hotel.
Memang kesalahan kami berangkat saat sore adalah jadi tidak bisa menikmati senja di Pangandaran, tapi toh kami berencana menginap di sini agak lama, menghabiskan liburan sebelum berkutat lagi dengan kerjaan.

”Dengan Tuan Idham? 3 hari 3 malam, dua kamar, bukan?”, seorang resepsionis memamerkan senyumnya yang manis kepada Idham.
”Yup, benar. ”, Idham mengambil kunci yang diserahkan gadis itu.
”Kamar nomor 510 dan 418, silakan. Selamat berlibur.”
Aku membalas senyum ke resepsionis cantik itu, lalu berjalan di sebelah Idham sambil menggeret koperku yang menggembung.
”Eh, Dham. Aku kamar yang 510 aja, ya. Lebih tinggi daripada kamu.”, aku nyengir sambil masuk ke dalam lift yang kosong.
”Dih. Terserah deh. Nih. Awas ya, kalau tinggi-tinggi terus nggak berani lihat pemandangan, jangan salahin gue.”, ia menyodorkan kunci sambil menekan tombol lift.

Setelah sampai lantai 4, kami berpisah. ”Ingat, besok jam 5 gue tunggu di lobi. Kalau belum bangun, gue nggak ragu buat ninggalin kamu ya.”, Idham tertawa sambil mengancam. Aku memanyunkan bibirku, sebal. Memang aku termasuk orang-orang yang susah bangun pagi. Tapi demi Pangandaran dan liburan. Aku akan memasang alarm berkali-kali agar bangun tepat waktu.


Aku menyipitkan mataku silau dengan cahaya matahari yang menyusup tirai jendela. Kukucek-kucek mata lalu terlompat dari kasur karena ingat janjiku dengan Idham pagi ini.
Sial, jam dinding menunjukkan pukul 6.30, jelas-jelas aku telat. Aku buru-buru bersiap-siap lalu meraih tas kecilku yg berisi dompet dan ponsel. Setengah berlari aku menuju lift dan keluar ke Lobi.

Aku tahu, pasti aku sudah ditinggal ke pantai jadi aku memutuskan untuk bertanya kepada resepsionis bagaimana cara menyusul Idham di Pantai, bodo amat lah panas-panas begini. Toh teleponku sedari tadi tidak diangkatnya.

”Andrea!!”, suara Idham memanggilku.
Aku baru saja akan memelas minta maaf ketika melihat siapa yang berjalan di sebelahnya.
Itu Kamu, De. Setelah bertahun-tahun aku gagal menemukanmu, kali ini kamu datang di hadapanku.

”Hai Re. Apa kabar?”, kamu mengulurkan tangan.
Aku tersenyum kaku.”Baik.”
Diam-diam aku memasang tatapan kejam ke arah Idham. Buat apa membawa kamu kepadaku?
”Heh, nggak usah sok kejem gitu deh. Kamu kan yang tadi nggak datang ke lobi? Sukurin aku tinggal.”
Aku nyengir meminta maaf.
”Eh, aku permisi dulu ya. Ada janji dengan klien. Dham, nanti jadi kan?”, Katamu.
”Sip. Jadi donk, Dewa.

Aku memandang punggungmu yang menjauh.
”Hush. Ngelamun. Kangen Dewa ya?”, goda Idham.
”Ih, siapa yang kangen dia. Udah ah, aku mau sarapan, kamu ikut nggak?”, tanyaku melenggang ke restoran hotel.
”Entar deh gue nyusul. Mau mandi dulu.”
Aku berjalan sendiri sambil memikirkan kamu, Dewa. Lima tahun kamu meninggalkanku tanpa kabar tanpa kejelasan tentang hubungan kita. Keluargamu bilang kamu ke Batam, teman-temanmu bilang kamu ke Surabaya. Sementara aku di Bandung capek menanti kepulanganmu. Sampai sekarang jangan salahkan aku jika masih merindukanmu.


Nanti sore jam 5 kita jalan-jalan di Pantai ya Re, awas kalau sampai telat. Ketemuan di sana aja. Aku males nungguin kamu lama-lama. Kali ini kamu harus datang liat sunset. Percuma donk jauh-jauh ke sini kalau kamu Cuma tidur mulu.



Aku masih ingat pesan Idham siang tadi sebelum kembali ke kamar. Maka di sinilah aku, masih jam 4 sore tapi sudah tiba di tepi Pantai Pangandaran yang terkenal keelokannya. Sebuah topi membantuku mencegah silau sinar matahari. Tadinya kupikir sebelum sunset, pantai ini akan sepi sekali. Tapi ternyata ada beberapa orang yang meramaikan pesisirnya. Anak-anak kecil bermain layang-layang, beberapa lainnya membangun istana pasir, juga ada para remaja yang sedang menikmati kesejukan Laut yang kali ini Ombaknya tidak terlalu ganas.

”Rea.”, suaramu mengagetkanku.
”Eh, Dewa. Kamu tumben di sini? Eh, maksudku kamu kok ada di sini.”, aku salah tingkah.
”Nggak, tadi daripada bosen di kamar, jadinya aku memilih jalan-jalan saja di sini. Ternyata ketemu kamu. Kita jalan-jalan yuk.”, ajakmu.
”Oh. Oke.”
Kita berjalan di pasir Pangandaran yang kelabu sambil bercerita masa lalu. Ah, siapa sangka bahwa berjalan sebentar bersamamu menguatkan perasaan bahwa aku memang masih mencintaimu?

Hampir satu jam lebih kita berjalan, senja belum juga datang bahkan aku lupa janjiku dengan Idham.

”Re, aku mau memberitahumu sesuatu.”, katamu.
“Eh, ada apa?.”
”Aku mau memberikanmu ini. Acaranya masih sebulan lagi, semoga kamu masih bisa datang. Eh aku permisi dulu ya, sampaikan salamku juga untuk Idham.”

Aku membuka amplop merah muda itu dengan sukacita. Mungkinkah itu surat cinta?
Ah, sial rupanya bukan. Itu malah berupa undangan pernikahan.

Menikah, Dewa Ginanjar Putra dengan Arum Dewi Permadi

Hanya itu yang bisa aku baca, karena kemudian aku sudah menangis tergugu di pinggir pantai Pangandaran. Langit masih biru, tapi sungguh menyebalkan ketika hati kita berubah menjadi kelabu.

”Re. Kamu kenapa? Tenang donk, eh jangan nangis begitu. Kenapa sih?”, Idham yang entah datang dari mana tiba-tiba merengkuhku dalam peluknya.
”Lupakan Dewa, Re. Kamu tahu, kamu masih punya aku. Aku yang mencintaimu.”

Aku berhenti menangis mendengar pernyataan itu. Benarkah? Idham yang selama ini sahabatku ternyata mencintaiku?
Senyum Idham menular padaku, aku tertawa memeluknya erat. Di tempat ini aku patah hati, namun biru telah melekatkannya kembali.



#15HariNgeblogFF2 Hari ke 7 : Biru, jatuh hati


Sehangat Serabi Solo


Pagi itu Pasar Klewer sudah ramai dengan orang yang lalu lalang. Tentu saja, sebagai salah satu pusat perbelanjaan yang cukup murah di Solo, tempat ini selalu ramai saat buka. Aku mulai ketar ketir, sepertinya mengajakmu bertemu di tempat ini merupakan kesalahan besar, bagaimana pula aku akan mengenalimu padahal kita tak pernah bertemu?

“Cari nopo, Cah Ayu? Monggo batik-batike apik apik lho.”, seorang Ibu-ibu menawarkan dagangannya kepadaku. Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tidak, bukan itu yang aku cari di sini.
Ponselku berdering, sebuah pesan masuk, ternyata itu dari kamu.
Aku harus menunggu di mana, Ayu? Tempat ini ramai benar.

Aku menoleh mencari tempat yang unik, tapi sepanjang Pasar Klewer ini hanya kulihat kios-kios pedagang. Bagaimanalah pula kau bisa aku ajak bertemu di depan Kios Pak Jaya, misalnya, bisa-bisa kau dan aku tersesat berjam-jam mencari Kios tersebut sampai pasar ini tutup. Dengan cepat-cepat aku melangkahkan kaki keluar dari dalam Pasar, aku harus menemukan satu tempat pertemuan yang unik, agar kau tak tersesat menemukanku. Nah, itu dia, aku tersenyum melihat gapura Pasar yang berdiri megah.

Kamu tunggu di dekat gapura pasar Klewer ya, aku segera ke sana. Oh iya, bajuku hari ini berwarna biru, kalau-kalau kau nanti melihatku.

Terkirim. 



Satu pesan masuk.

Oke. Aku lagi nyari tempat parkir, nanti aku ke sana.

Kulangkahkan kakiku menuju Gapura yang megah itu, catnya yang berwarna kekuningan menjadikannya seakan benderang tertimpa sinar matahari. Riuh suara orang-orang dan kendaraan yang lewat membuat tempat ini semakin ramai. Kulirik jam di tangan, sudah pukul 11 siang, pantaslah pasar makin sesak. Setelah sampai, aku berdiri bersandar, kegerahan. Angin sepertinya tak mau susah-susah memberikan sedikit saja kesejukannya untukku kali ini. Payah benar, bisa-bisa baru pertama bertemu kau sudah kapok melihatku yang lecek dan kusam begini.

Lima tahun yang lalu aku mengenalmu dari blog. Tulisan-tulisanmu selalu menjadikan hariku ceria. Bukan, bukan blog motivasi tetapi hanya sebuah blog yang bercerita bagaimana kisahmu berlalu. Cara penyampaianmu yang asyik, pengalamanmu yang konyol dan ternyata kamu ramah sekali membalas komentar-komentar yang singgah di blogmu, termasuk membalas komentarku yang sering berkunjung.

Sejak itu kita menjadi sahabat di dunia maya, tak pernah bertatap muka sebab jarak memisahkan kita. Kau tinggal di Pontianak dan aku tinggal di Solo, Laut Jawa menjadi jurang pelebar kita untuk bertemu. Tapi toh dengan sarana komunikasi yang canggih sekarang ini aku mampu mengenalmu dengan cukup baik, setidaknya untuk dua orang yang tak pernah bertemu. Kamu menjadi teman sekaligus pendukungku saat aku masuk kuliah bahkan sampai saat selesai ujian skripsi, kamu menyemangatiku dari jarak ratusan kilometer jauhnya. Ah, mungkin benar aku menyukaimu, seperti kata pepatah jawa,

”Witing trenso jalaran soko kulino ~ Cinta ada karena terbiasa.”

Kali ini kamu berkata akan berkunjung ke Solo dan memintaku untuk bertemu, tentu saja aku mau. Sekalian saja nanti aku akan menyatakan perasaanku padamu. Mumpung bisa bertemu kan? Aku tersenyum-senyum sendiri. Serabi Solo yang kubawakan masih terasa hangat, anggap saja salam perkenalan agar kamu tidak terkejut saat aku bilang aku suka kamu. Toh kamu sudah lama ingin menyicipi enaknya makanan khas kotaku ini.

”Ayu?”, sebuah suara mengagetkanku.
”Eh. Benar. Kamu.. em.. Kamu Agung?”, tanyaku.
Kamu tersenyum sambil mengangguk. ”Iya, aku Agung.” Apa Kabar? Akhirnya kita bertemu di sini juga ya.”
Aku tertawa, bahagia.

Tapi tidak setelah kamu memperkenalkan dia.

”Kenalkan, ini Putri, tunanganku. Dia yang repot-repot mau berbelanja bahan kain di Solo, katanya mau digunakan sebagai bahan pakaian pengantin.”, kamu tersenyum.
Gadis itu mengulurkan tangannya padaku, aku tersenyum tertahan. Kaku.

”Eh, ini ada Serabi Solo, masih hangat semoga kamu suka.”, aku menyerahkannya kepada Putri yang mengajak bersalaman.

Aku meringis perih. Kali ini perasanku tidak sehangat Serabi Solo.


 #15HariNgeblogFF2  hari keenam Sehangat Serabi Solo

Sabtu, 16 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga


Aku melangkahkan kaki dengan enggan di sepanjang trotoar jalan Braga. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya kuning keemasan menerangi malam yang makin pekat. Ah, ini malam kesekianku sendirian setelah putus dengan Domi. Malam minggu yang ramai, tapi rasanya hatiku menyempit sepi.

Kakiku berhenti di depan sebuah cafe tempat kami biasa bertemu. Haruskah aku melangkahkan kaki masuk dan mengenang puluhan kali kencan di tempat ini?

”Silakan masuk, Mbak.”, seorang pelayan membukakan pintu cafe untukku.
”Eh.. Ah.. Eh.. saya.. Ah, terima kasih.”, aku memutuskan masuk dan membiarkan memori terkuak lagi.

”Saya pesan blackcoffee.”, aku memilih kursi di dekat jendela, menikmati orang yang lalu lalang di Jalan Braga.

Baru saja kuseruput kopi hitam itu, aku melihat sekilas bayanganmu yang sedang duduk di trotoar seberang jalan. Aku memalingkan wajahku, tapi akhirnya penasaran lagi dan menengokmu. Ya, itu benar kamu. Tapi bukankah hari ini harusnya kamu berangkat ke Surabaya? Seperti katamu saat perpisahan kita dulu, daripada jarak menahan kita berdua, alangkah baiknya jika kita berpisah saja akhirnya.

Aku memanggil pelayan dan membayar bon kopi yang bahkan baru kuteguk sekali. Dengan segera aku melangkah keluar cafe dan berjalan menuju arahmu.

”Domi..”, panggilku.
Kamu menoleh ke arahku dan tersenyum. Tanganmu menepuk permukaan trotoar seakan menyuruhku duduk di sebelahmu. Haruskah aku duduk, tapi kita kan sudah berpisah.. Ah, masa bodoh dengan kata putus itu, disadari maupun tidak aku sebenarnya masih mencintaimu.



”Kamu nggak jadi ke Surabaya?”, aku membuka pembicaraan.
”Nggak. Aku kangen kamu, Gi”, kamu menoleh ke arahku.
Aku merasa wajahku merona merah, malu. Bukankah seharusnya kalimat itu tidak diucapkan oleh pasangan yang baru saja putus?
Semilir angin malam yang dingin membuatku merinding, cardigan biruku tak sanggup menghalangi angin-angin nakal tersebut menelusup masuk.
”Kamu dingin? Pakai jaketku ya?”, kamu melepas jaket hitammu dan memberikannya kepadaku.  
”Makasih.”, aku bingung harus berkata apa lagi.

Harum tubuhmu menguar dari jaket favoritmu itu, membuatu semakin salah tingkah karena merasa semakin dekat denganmu.

”Maafkan aku ya Gi.”, katamu tiba-tiba sambil menyentuh pergelangan tanganku.
”Untuk apa, Dom?”
”Untuk semuanya, untuk kesalahanku mengakhiri hubungan kita. Kamu tahu, seminggu terakhir ini aku makin sadar aku salah telah memutuskanmu.”
Aku terdiam memandangi pemuda-pemudi yang bergandengan tangan sepanjang jalan Braga. Aku dulu sama seperti mereka, denganmu melintasi jalanan ini berkali-kali menikmati malam minggu berdua.  Mungkin kita bisa seperti mereka lagi?
”Aku nggak pernah menganggap kamu salah, kok.”
”Begitukah?”
”Iya, kamu tahu nggak. Aku juga sama kaya kamu, akhir-akhir ini rasanya kesepian banget.”
”Jadi kamu mau memaafkanku?”
Aku mengangguk mengiyakan.

Kita sejenak menikmati malam itu dalam diam. Aku bersandar di bahumu sambil mempererat jaketmu, rasanya Braga malam ini dingin sekali, padahal angin juga tak terlalu kencang.

“Aku dingin banget, kita masuk ke cafe aja yuk.”, ajakku.
Kamu tersenyum, ”Nggak usah, aku mau pulang. Kamu bawa kendaraan sendiri?”, katamu.
”Aku.. ”, rasanya tidak secepat ini aku ingin berpisah. Tapi toh malam sudah semakin larut.
”Kita masih bisa bertemu esok hari kan?”, tanyaku.
”Semoga. ”
Aku baru hendak mengembalikan jaketmu, ”Bawa saja jaketku, Gi.”
”Nanti mengembalikannya?”
”Kita pasti bertemu lagi kok. Hati-hati menyetir ya, aku sayang kamu.”
Aku melangkahkan kaki dengan enggan ke parkiran mobilku, sesekali menoleh ke belakang tapi tampaknya kamu sudah berjalan dengan cepat sehingga tak kutemukan lagi siluetmu dalam temaram malam.

Kubuka pintu mobil, jaketmu kulepas dan kuletakkan di kursi depan penumpang. Ponselku berbunyi, itu Deni, sahabatmu.
”Hai, Gi. Kamu di mana?”
”Aku di Braga. Kenapa Den?”
”Aku ke sana, tunggu aku ya.”
”Eh, kenapa Den?”
”Tadi siang mobil Domi kecelakaan dalam perjalanan ke Surabaya.”
”Kamu bercanda ah.”
”Beneran, baru saja aku dapat telepon dari Nyokapnya. Domi meninggal, Gi.”
”Kamu bohong. Ih, aku baru ngobrol sama Domi kok di Braga.”
”Aku ngga bercanda, Gi. Beneran.”, suara Deni serius. Aku mulai meragukan diriku sendiri.

Lalu kutolehkan wajahku ke kursi tempat jaketmu kuletakkan, tak ada apa-apa di sana. Jaketmu hilang.

Aku kaku, antara percaya dan tidak. Mungkinkah?
Air mataku menderas, jadi itu sebabnya mengapa tanganmu, pelukanmu semuanya terasa dingin?

”Gi.. Gi..Giaa tunggu di sana, aku segera datang.”, Suara Deni lamat-lamat kudengar...



#15HariNgeblogFF2 Hari ke 5 : Sepanjang Jalan Braga


Kamis, 14 Juni 2012

Jingga di Ujung Senja


Aku membuka lipatan surat yang kamu berikan siang tadi di bandara. Perpisahan bagi sebagian orang adalah sebuah awal, tapi bagiku perpisahan kali ini adalah sebuah akhir.

Setelah lipatan terakhir dibuka, aku tak berani langsung membaca isinya. Kubuang tatapanku ke arah Sungai Musi. Sebuah tongkang melintas membuat Airnya bergejolak, tak perlu waktu lama untuk menjadikan permukaannya tenang kembali.

Dear Lala.
Maafkan karena aku harus meninggalkan cerita kita di kotamu. Kamu tahu sepertinya kesalahan kita sejak awal bermula dari senja. Mungkin sebenarnya senja adalah tempat persinggahan sementara, di mana waktu tak pernah membiarkan semuanya menyatu dengan sempurna. Jika kamu adalah senja, maka aku mataharinya. Sebuah pertemuan menyatukan hati kita dan menjadikan kita saling jatuh cinta. Tapi toh penguasanya tetap Waktu, ia tak pernah membiarkan mentari berlama-lama bercumbu dengan senja.



Aku mengamati langit Palembang yang menjingga. Semburatnya terbias sempurna di cakrawala, menampakkan keelokkan karya Sang Maha Kuasa. Begitu tidak adilnya jika matahari hanya bisa memiliki senja sebentar saja, pikirku. Sama seperti aku yang hanya bisa memiliki dirimu berbilang waktu.

Aku tak tahu haruskah aku meminta maaf atau malah mengatakan bahwa aku masih mencintaimu. Tak ada yang salah dengan cinta, kata para pujangga. Mungkin itu benar, karena yang salah adalah waktu. Atau perlukah kita mencari kambing hitam dari masalah cinta kita berdua? Tapi bagaimanapun juga terima kasih karena telah mengijinkanku merasakan cinta senja dalam hidupku. Tahukah kamu, rasa-rasanya sampai kapanpun aku akan tetap mengingatmu saat senja tiba.

Pengagum Senja
-Agung-

Aku melipat kertas itu dan menggenggamnya erat-erat. Mengapa harus ada pertemuan jika ternyata harus ada perpisahan? Alangkah tidak adilnya keadaan itu, bukan?

Ingatanku kembali ke 5 bulan yang lalu. Di tempat ini, pertama kali kamu menyatakan rasa cintamu padaku.
”Aku suka kamu, La.”, saat itu langit juga sedang jingga.
Senyumku langsung mengembang. ”Aku juga suka kamu, Gung.”

Semenjak itu kita selalu sering terlihat berdua. Meski aku tahu akan ada saatnya kita berpisah tapi ternyata perpisahan itu hadir lebih cepat dari yang aku kira.

”Aku harus pulang ke Surabaya.”
”Kapan?”
”3 hari lagi. Aku sudah memesan tiket pesawat.”

Aku terdiam. 6 bulan Kerja Lapanganmu ternyata hanya sekejap saja rasanya bagiku.

”Tak bisa lebih lama lagi di Kota ini?”
”Maaf, La. Tapi aku harus menyelesaikan kuliahku. Nanti setelah aku lulus, aku akan kembali ke kota ini.”
”Janji?”
”Aku janji.”

Entah siapa yang menjadi saksi janjimu saat itu. Mentari sudah tenggelam, tapi bintang juga belum tampak. Mungkin Sungai Musi dan Jembatan Ampera yang menyaksikan kita dalam bisu.

Dering telepon menyadarkanku dari lamunan.
”La.”, itu suaramu.
”Hey, Gung. Sudah sampai Surabaya? Cepat sekali?”
”Kamu kapan pulang?”, tanyamu.
Aku bingung.”Pulang ke mana?”
”Ke rumahmu donk.”, kamu tertawa dari jauh. Ah betapa aku merindukan tawamu itu.
”Memangnya ada apa?”, jawabku.
”Aku menunggumu.”
”Di mana?”
”Di rumahmu.”
”Kamu nggak jadi balik ke Surabaya?”
“Aku membelikan satu tiket lagi untukmu. Kamu harus kuperkenalkan ke ayah ibuku.”

Aku tersenyum. Ah, ya.. siapa bilang jingga dan mentari tak pernah bisa lama bersama?




#15HariNgeblogFF2 Hari ke 3 : Jingga di Ujung Senja


Rabu, 13 Juni 2012

Pagi Kuning keemasan


“Siap.. satu.. dua.. tiga..”, Adam membantu membuka penutup mataku.
Aku masih mengerjap-ngerjapkan mataku tak percaya. Sinar matahari pagi terlihat merona di langit pagi itu, merah yang berganti kuning keemasan membawa bola mentari naik perlahan. Hangatnya terasa lembut di kulit, diiringi debur ombak yang menjilati bibir pantai dan angin pagi yang menyegarkan. Ah, betapa sempurnanya pagi ini.

“Bagus banget, Dam.”, aku berbisik masih mengagumi keindahan lukisan Tuhan kali itu.
“Kamu nggak nyesel kan subuh-subuh udah aku ajak ke sini?”, Adam menggenggam tanganku.
Aku mulai salah tingkah.
“Eh, nggak. Beneran bagus banget.”, aku mengalihkan pandangan dari langit dan mulai mengamati pemandangan pulau ini.

Tadi sewaktu datang, langit masih gelap, aku hanya melihat sorotan silau mercusuar sebagai penunjuk arah bagi mereka yang sedang bertualang di lautan luas. Sekarang setelah datang pagi, mercusuar itu terlihat dengan jelas, Berdiri dengan gagah. Pantai yang cantik ini dikelilingi bebatuan granit yang cukup besar, dan airnya.. ah aku rasanya mau berendam di sana seharian. Degradasi biru dan hijau yang muncul karena pengaruh koral di dasarnya terlihat apik mengundang.

”Kok ngelamun?”, Adam menyentuh bahuku.
”Eh. Pulau apa ini namanya, Dam?"
"Ini Pulau Lengkuas. Luasnya hanya sekitar 1 hektar. "
"Nama pulaunya unik ya.", aku tersenyum membayangkan salah satu jenis bumbu masak.
"Begitulah.", kata Adam.
 "Eh, Dam. Jalan-jalan yuk. Aku pingin pergi ke mercusuar itu. Boleh naik ngga ya?”, aku melangkah cepat-cepat ke arah mercusuar.
”Boleh donk. Bapak pengemudi perahu tadi sudah berpesan kalau kita bisa naik ke Mercusuar itu. Tapi aku males, Din. Capek ah pagi-pagi disuruh naik begituan. Mana belum sarapan.”, Adam memasang muka memelas.

Aku tertawa dalam hati, dia yang mengajak ke sini kenapa malah dia yang malas mengeksplorasi?

”Terus kamu maunya di sini aja, gitu?”
”Iya. Kita menikmai pantai saja ya.”, Adam tersenyum padaku.
Aku mengalihkan pandanganku ke horizon, mentari sudah hampir sempurna lahir dari samudera.
”Baiklah.”, aku mengambil tempat duduk agak jauh dari posisi Adam. Lalu membuat sebuah gerakan di pasir pantai yang halus.
”Hei, Dam. Lihat. Aku bikin mlalaikat pasir.”, aku berdiri sambil menunjukkan hasil karyaku ke Adam.
”Kau aneh. Yang ad ajuga Snow Angel, masa bikin Snow Sand?”, Adam tertawa melihat hasil karyaku.
”Mana sayapnya ga imbang tuh gedenya.”, ia menjitak kepalaku dengan lembut.

Aku cengengesan. Tuhan, aku mau waktu berhenti saja saat ini. Di tempat ini. Begini.



”Dina, kalau kamu dibolehkan memutar balik waktu. Kamu masih mau nggak mengenalku lagi?”, Adam duduk di pinggir malaikat pasirku. Aku ikut duduk di sebelahnya.
”Hmm.. mungkin.”, jawabku ragu.
”Cuma mungkin? Huh. Dasar.”, Adam tertawa ringan.
”Siapa sih yang nggak mau kenal dengan cowok baik kayak kamu.”, aku menggodanya.
”Terus kamu mau jadi kekasihku, kan?”, Adam memasang wajah serius seketika.
Aku gugup bukan main. Kumainkan butiran pasir sambil menatap langit yang mulai biru.”
”Maksud kamu?”, tanyaku
”Kalau kita dibolehkan membalikkan waktu, maukah kamu jadi kekasihku?”
Aku mengamati Adam. Raut wajahnya dewasa meski umurnya hanya selisih 3 tahun denganku. Sepertinya hidup telah menempanya lebih keras daripada aku.

”Aku sayang kamu, Dam. Tapi asalkan keadaan kita nggak begini.”
Adam terdiam Menatapku lekat.

”Kamu benar. Ah, sayangnya kenapa begini ya cerita kita?”, Adam tertawa pahit. Tawa yang dipaksakan sehingga terdengar tidak pas dan tidak ikhlas.

”Kita balik yuk Dam. Nanti keburu dicariin Mama Papa”, aku menggandeng tangannya sambil berdiri.

Kami melangkah ke arah perahu berdua, aku membayangkan kalau saja saat itu kami dalam posisi berbeda.

5 bulan yang lalu aku mengenalnya pertama kali di rumah. Semenjak itu aku tahu aku jatuh cinta kepadanya. Sebulan kemudian ia menikah dan jadi anggota keluargaku. Lalu dua bulan yang lalu ketika istrinya melanjutkan kuliah di luar negeri, ia mulai sering mendekatiku. Ah rupanya ia juga jatuh cinta padaku.

Tapi toh terlambat, dia kakak iparku. Mana mungkin aku merebutnya dari Mbak Sinta, kakakku?





#15HariNgeblogFF Hari ke 2

Selasa, 12 Juni 2012

Menunggu Lampu Hijau


Aku berdiri tepat di depan menara jam gadang di bawah mentari yang bersinar terik. Keramaian membuatku sedikit penat, namun apalah daya, aku sudah terlanjur janji menunggu kamu di sini. Kulirik jam di tanganku, sudah telat 30 menit. Jika kali ini aku gagal mengatakan semuanya kepadamu, akan ada lebih banyak waktu yang kupakai untuk menunggu lagi.

”Maaf telat.”, suaramu mengagetkanku.
Aku tersenyum, senyum paling manis yang bisa aku berikan.
”Nggak apa. Tumben telat?”
”Iya, Mama minta diantar dulu ke supermarket”.
Lalu aku mengajakmu membeli es krim dari bapak yang sedang berjualan.

”Apa sih yang mau kamu sampaikan?”, katamu sambil menyesap es krim cokelat favoritmu.
”Makan es krim dulu yuk. Sambil cari tempat duduk.”, aku menggandeng tanganmu di sisi kiri dan tangan kananku memegangi cone es krim yang dipenuhi es krim stroberi, favoritku yang cocok menemani saat mentari bersinar dengan galak seperti siang ini.


Sebuah kursi taman terlihat kosong meski sebenarnya hilir mudik manusia seakan tak pernah usai. Aku mengajakmu duduk di kursi putih itu, nyaman karena terletak di bawah pohon rindang. Bahkan indahnya jam gadang masih teramati meski harus menerawang mengalahkan silau Sang Surya.

”Kamu ada perlu apa sih, La? Tumben ngajak ketemuan di sini.”, kamu mengamatiku.
Aku hanya tersenyum mengamati jarum jam di tangan sambil sesekali menoleh ke arah jam gadang.
”Kamu tahu, siapa yang menciptakan waktu?”, tanyaku.
”Maksudmu?”
”iya.. Waktu. Kira-kira siapa ya yang menciptakan dia?”
”Kamu ngomong apaan sih?”
”Ih beneran. Tau ngga, menurutku waktu itu dibuat oleh para pencinta. Sebab merekalah yang sebenarnya selalu menunggu waktu.”, aku memandangi wajahmu.
”Ini gara-gara aku telat ya? Maaf deh maaf”, raut wajahmu berubah lucu.

Aku tertawa. Tawa yang lepas hingga sebagian besar orang melirik ke arah kita.

”Nggak. Dewa, kita udah pacaran berapa tahun ya?”
”em.. sejak SMA kan. Ingat waktu pertama kali aku mengenalmu ketika upacara bendera di kelas 1? Ah berarti sudah.. 5 tahun ?”, kamu tersenyum sambil membelai kepalaku.
Beginilah, aku sendiri heran pada diriku. Kmau baik, kamu perhatian, kamu setia. Harusnya kamu bisa jadi sempurna. Tapi...

”Dewa, aku rasa hubungan kita sampai di sini saja ya.”, aku membuang pandanganku menerawang jauh ke langit biru.
Kamu terdiam. Entah sedang membayangkan sesuatu atau memang mencoba menyusun kalimat yang tepat. Tapi toh ketika memutuskan hubungan, tak akan pernah ada kalimat yang tepat.

”Kamu serius?”, akhirnya hanya itu yang kamu ucapkan.
”Yakin.”, aku memutar-mutar jam di pergelangan tanganku. Kebiasaan kalau aku mulai gugup.

”Kenapa?”, ah sudah kutebak pasti pertanyaan itu muncul.
”Sepertinya makin lama kita makin jelas berbeda.”, aku memaksakan sebuah senyuman. Kaku.
”Kamu tak ingin memikirkannya dulu?”
”Aku sudah memikirkannya lama, De.”
”Lalu nanti kalau aku merindukanmu?”
”Kita temenan saja ya. Kamu masih boleh kok bertemu denganku, tapi sungguh aku ngerasa kita udah nggak cocok lagi.”
Kamu menghela nafas. Berat. Es krim yang masih tersisa kau buang ke tempat sampah di dekat kursi taman kita.
”Tapi aku masih sayang kamu, La.”
”Maaf De, aku nggak bisa lagi menyayangi kamu lebih dari sekedar teman.”
”Baiklah. Kalau begitu sampai jumpa.”, kita berjabat tangan dengan enggan.
Kamu membalikkan badan dan melangkah hilang dalam keramaian.

Tak ada air mata, tak ada pertengkaran, tak ada caci maki. Mengapa terlalu mudah, pikirku.

Biarlah, mungkin memang sudah saatnya kami berpisah.
Aku mengambil ponselku, menekan sebuah nomor kontak dan menunggu nada sambung.

”Halo.”
”Hai, ini aku, Lala.”
”Oh, ada apa, La?”
“Kamu tahu, Bang. Setelah sekian lama akhirnya aku bisa mengatakan ini.”
”Apa?”
”Aku telah menyalakan lampu hijau buat kamu.”
”Jadi?”
”Ya, sekarang kita tidak perlu lagi pacaran diam-diam.”, aku tersenyum menatap jam gadang.

Benarlah, waktu hanya milik Sang pencinta. Ia ada karena rasa rindu dan ada untuk menunggu.


#15HariNgeblogFF2. Hari pertama.