Aku berlari menerobos pekatnya hutan. Semak-semak tinggi dan pohon-pohon yang malang melintang di jalan cukup mengganggu, tapi aku harus pergi ke sana. Ke kaki pelangi.
Akhirnya setelah seminggu lebih tak turun hujan, kali ini langit sedang murah hati. Sejak siang tadi dia meneteskan hujan yang teramat deras, dan aku menunggunya berhenti. Agar bisa menemukan pelangi. Lalu aku melihatnya, dengan indah ia membingkai langit yang mulai senja. Selalu begini, pelangi yang ada di kala senja itu lebih lama penampakannya daripada pelangi di kala siang atau pagi.
Aku berlari sambil sesekali mengamati langit. Jangan, jangan pergi dulu, pelangi. Aku belum tentu bisa menemukanmu esok hari. Padahal aku sudah begitu rindu dengan kekasihku. Para penjaga puri membawanya pergi, ke sana ke negeri di kaki pelangi.
“Aku benci pelangi.”, katamu suatu hari.
“Kenapa?”, tanyaku.
“Membuatku ingat rumah.”
“Kamu aneh, bukankah harusnya hal-hal yang mengingatkan rumah itu adalah kebahagiaan? Lalu kenapa kamu malah membencinya ? “
“Bahagia? Sejak ibu tiriku masuk ke istana Ayahku, tak ada lagi kata bahagia di sana.”
“Ibu tirimu kejam? “
“Lebih dari itu. Ia seorang penyihir buruk rupa. Seluruh penghuni istana yang setia terhadap Ayahku terpaksa disiksa di ruang bawah tanah. Aku memilih melarikan diri dari istana yang terkutuk itu.”
Semenjak itu, aku tak pernah membicarakan lagi pelangi, apalagi pelangi yang muncul saat senja. Sampai hari itu, saat Para penjaga berhasil menemukan persembunyian Ela dan aku.
“Pergi. Tinggalkan aku, Lang. “, kamu menjerit putus asa saat mereka menarik dan mengikat kedua tanganmu dengan tali.
Aku berusaha mencegah, menendang keras muka seorang penjaga. Memukul membabi buta, aku tak mau menyerahkan kekasihku begitu saja. Meski ternyata kecerobohanku berakibat sebaliknya. Sebuah pisau dihunuskan di leherku, lalu mereka berbicara.
“Putri Pelangi, kalau engkau menurut kepada kami, maka lelaki ini akan kami bebaskan. Namun jika tidak, maka jangan harap kami akan membiarkannya melihat matahari esok pagi. “
Ketika Ela menganggukkan kepalanya dan berubah menjadi penurut, jiwa kelaki-lakianku runtuh. Bagaimana bisa aku dijadikan umpan dan tahanan untuk mendesak kekasihku pulang ke tempat yang paling dibencinya? Aku mencoba berontak, namun jeri juga rasanya melihat pisau itu. Maka aku membiarkan kekasihku pergi, meski aku melihat air mata dan ucapan selamat tinggalnya yang menyiksa.
Aku dibiarkan hidup, sementara belahan hatiku menderita. Bagaimana bisa aku hidup dengan kenyataan itu? Maka keesokan harinya aku pergi ke kota dan menyiapkan perbekalan sambil menunggu pelangi tampak.
Itulah alasanku pergi mengejar kaki pelangi. Dan nampaknya sedikit lagi aku berhasil.
Entah sudah berapa pelangi yang kukejar, yang pasti telah lewat 12 purnama di perjalananku. Namun ketika akhirnya aku melihat negeri kaki Pelangi, aku puas berhasil sampai ke sini.
Sebuah negeri yang kecil ternyata, namun istananya jauh lebih besar dari yang aku sangka. Aku mencoba mencari kabar keadaan Ela di dalam istana, namun bagaimana caranya? Sebuah gerobak pembawa jerami lewat di depanku, arahnya seperti akan masuk ke Istana. Mungkin akan dipergunakan untuk kuda-kuda di istal. Maka diam-diam aku menyelinap masuk ke dalam rimbunan tumpukannya.
Ya, aku berhasil masuk istana. Meski bau kastil ini menyengat, aku masih harus mencari jalan untuk menemui Ela dan mengajaknya pergi. Ah, ada seorang penjaga lewat, mungkin aku bisa menggunakan seragam miliknya. Aku menubruknya dari belakang, tangannya kupelintir lalu kubuat dia pingsan. Setidaknya itulah yang aku ingat sebelum aku turut tak sadar.
Begitu bangun, aku merasakan pusing yang sangat.
“Di mana aku?”, kepalaku berdentam-dentam seperti baru dipukul dengan palu.
“Kamu siapa? Berani-beraninya penyelundup masuk ke wilayaha Istana!”, seorang lelaki memaksaku berdiri.
“Aku Langit. Aku mencari Putri negeri kalian, Pelangi. Kembalikan dia padaku!”
“Tidak ada yang bernama Putri Pelangi!”
“Tunggu sebentar, tadi dia bilang, namanya Langit? Ia mencari Putri Pelangi?”, seorang gadis berparas jelita bertanya kepada lelaki yang menginterogasiku.
“Iya, Putri.”, jawab lelaki itu.
“Tidak. Ini tidak mungkin, tunggu sebentar Pengawal. Jangan siksa dulu orang ini!”, gadis itu masuk lalu setelah lama menunggu, ia datang lagi membawa sebuah kotak berwarna cokelat muda.
“Kamu Langit kan?”, ini milikmu. Gadis itu menyerahkan kotak tersebut padaku.
Aku membuka isinya, sebuah surat terlipat rapi di dalamnya.
Langit, ketika kamu membaca surat ini berarti kita memang tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Saat aku menulis surat ini, aku telah berhasil menyingkirkan nenek sihir yang bersemayam di istana Ayahku. Setelah aku kembali ke negeri ini, aku berhasil menggerakkan pasukan untuk melawan wanita itu. Tampuk kepemimpinan berhasil aku selamatkan, namun aku tak bisa kembali mencarimu. Aku tak berani membayangkan jika kamu ternyata sudah melupakanku. Ketahuilah, aku selalu mencintaimu. Tanpa pernah berkurang sejak dulu. Aku selalu meminta hujan turun dan menyisakan pelangi yang lama saat senja, agar aku bisa mengenang kebersamaan kita dulu. Dan sedikit harap bahwa kamu akan menyusulku ke sini.
Yang selalu mencintaimu,
Ela.
Aku tak percaya apa yang aku baca. Bagaimana bisa ini terjadi? Tidak mungkin!
“Mana Ela? Kembalikan Ela !”, aku menjerit di hadapan gadis itu.
“Dengar, aku Putri negeri ini. Ela adalah nama kakak dari nenek buyutku. Sejarahnya melegenda, meski sekarang mungkin sudah banyak orang yang melupakannya.”, gadis itu menjelaskan.
“Tunggu. Apa maksudmu?”
“Berapa purnama menurutmu sejak kepergian Ela?”
“Aku rasa 12.”
“12 purnama di duniamu sama seperti 120 tahun di negeriku.”
Seketika aku merasa lelah. Perjalananku yang panjang ternyata berakhir di sini. Aku melihat pisau yang terselip di pinggang seorang pengawal. Aku tarik lalu kutancapkan di dadaku.
Baiklah, Ela, aku datang menemuimu.
(diikutkan dalam #Proyek27 dengan tema Langit, Senja, Pelangi )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar