Dulu sewaktu SMA, saya salah satu dari mungkin beberapa akhwat yang idealis. Terutama dalam hal pernikahan, saya termasuk kategori akhwat yang punya kriteria banyak tentang calon suami impian nanti, juga termasuk keinginan bagaimana bentuk acara walimahannya, sampai bagaimana kehidupan rumah tangganya nanti. Aneh mungkin, wong SMA saja belum lulus, kok udah punya bayangan seperti itu, bahkan beberapa oknum juga berpendapat, karena aku terlalu ngebet itulah yang menjadikan aku bener-bener nekad mencoba rasanya pernikahan dini.
Saya waktu itu, termasuk wanita yang mungkin ga ngaca sama kepribadian sendiri. Lha berani-braninya menginginkan calon pasangan yang ideal. Yang kalo saya lihat dari diary saya, ia harus seorang ikhwan, harus soleh, pinter, cakep, baek, perhatian, hobinya sama ama aku, dan segudang keinginan lain yang aku tuliskan saat itu..( Asli, kayaknya ga nagaca banget deh waktu nulis ini, padahal aku dulu termasuk akhwat yang ..emm..apa ya kata yang tepat? Mungkin, akhwat yang belum kaffah). Pinginnya kalo punya keluarga nanti, kaya keluarga ustadzah-ustadzah gitu, yang suami isteri sibuk berdakwah, pulang pergi bareng, dijemput suami, sampe kadang-kadang pacaran berdua kemana gitu.
Well..mimpi boleh saja tinggi, bahkan haruslah tinggi, tapi terkadang Tuhan kurang setuju dengan keinginan kita, karena Ia punya pilihan jalan yang lebih baik bagi kita. Tentu saja, kehidupan pernikahan saya sekarang tidak seperti impian saya di atas. Tapi yang penting adalah, bagaimana ketika akhirnya kita berkomitmen pada ketetapan hati kita itu. Apakah saya kecewa, karena saya tidak menikahi seorang aktifis dakwah, aktifis Rohis SMA, SKI kampus, SENAT dan berbagai kelembagaan lainnya seperti yang dulu saya inginkan? Tidak, saya mulai membuka pikiran saya, bahwa dakwah itu tidak harus melalui kelembagaan itu, bahwa dakwah itu bisa saja dengan saling bertukarpikiran, bercengkerama, berpendapat.
Apakah saya kecewa menikah muda? Tidak, karena ternyata saya tahu, dengan cara inilah Tuhan memperkenankan saya menjaga hati dan perilaku saya, yang dulu sewaktu belum menikah masih sering semrawut (jujur dikit nih..). Apakah saya kecewa, bahwa ternyata banyak kriteria calon suami idaman dulu waktu SMA, tidak saya temukan? Tidak. Karena ternyata, saya dulu masih berpandangan terlalu sempit. Padahal Tuhan selalu memberikan yang terbaik pada kita, selalu memberikan Cinta kepada kita.
Tuhan tahu, mana yang terbaik bagi kita. Menurutku, sebenarnya, pernikahan itu ada untuk saling melengkapkan, bukan saling mencari kesamaan. Untuk saling membuang setengah ego diri, agar dapat menampung setengah ego milik pasangan yang lain. Untuk membuka jalan lebar yang baru dalam perspektif kehidupan dan pilihan-pilihan yang kadang tak sejalan, bukannya jalan sendiri-sendiri meski arahnya sama.
Suami ga hobi baca, tapi hobi beli buku, jadi melengkapi, aku yang baca. Aku ga hobi sama sekali masak, tapi suami jago masak dan ga nuntut aku untuk bisa masak..(Alhamdulillah..^^), aku yang masih manja kaya remaja, tapi suami mampu melengkapi dengan kewibawaannya. Ada juga yang sama, sama-sama cerewet, sama sama seneng denger musik, sama-sama seneng nonton BBC, sama-sama seneng diskusi. Dan, berbagai perbedaan dan kesamaan yang mewarnai kisah pernikahan ini.
Dan aku tahu, aku tak sempurna, lalu pantaskah aku mendapatkan seseorang yang sangat sempurna? Padahal tak ada satupun manusia yang sempurna. Dan aku tahu, bahwa dengan memantapkan hati mengikuti komitmen ini, aku akan mendapatkan apa yang sebenarnya aku butuhkan, bukan hanya aku inginkan.
Jadi kesimpulannyaa...
Bermimpilah yang tinggi, tapi jangan takut untuk jatuh, karena mungkin, jatuh itu akan membawa kita ke tempat yang tidak terlalu tinggi tapi sesuai dengan kebutuhan kita, dengan jalan hidup kita seharusnya...
-Solo-
Buki yang lagi kebanjiran ide menulis tentang hal kayak gini...
^^”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar