Selasa, 19 Juni 2012

Ramai


“Apa?? kamu setahun di Jogja belum pernah ke Malioboro?”, Kamu tertawa-tawa mendengar ceritaku.
”Biarin. Lagian nggak ada yang mau aku ajak ke sana. Hiks.”, aku memasang wajah pura-pura sedih. Baru saja aku bercerita padamu betapa aku penasaran seperti apa Malioboro itu. Jalan yang konon katanya merupakan poros Garis imajiner Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi.
”Keretamu sore ini ke Solo jam berapa?”, tanyamu.
“Jam 4. masih tiga jam lagi, kenapa emangnya?”
“Yuk. Aku antar ke Malioboro.”, kamu nyengir sambil mengeluarkan kunci motor.
Aku bengong. ”Yakin bisa sampai stasiun nanti tepat waktu dari Malioboro?”, kebetulan aku ada acara di rumah Pakde di Solo. Jadinya sore ini harus berangkat ke kota yang jauhnya 1 jam perjalanan kereta dari Jogja itu.

”Yakin. Udah deh, daripada kamu setahun di Jogja, tapi malu-maluin aja nggak pernah ke Malioboro.” , kamu menyodorkan helm lalu menyalakan mesin motor.
 
Aku ingat kemudian kamu mengantarkanku berjalan-jalan sepanjang Malioboro. Saat itu meski mentari bersinar terik, keramaian orang berlalu-lalang serta kendaraan yang tak pernah sepi, aku tetap menyunggingkan senyum penuh ceria karena akhirnya aku bisa datang ke tempat ini. Terlebih karena akhirnya aku bisa berjalan-jalan bersamamu, berdua saja. Meski saat itu kamu tak lebih menganggapku seorang teman biasa yang udik karena belum pernah menginjakkan kaki di Malioboro.

 ***

Kali ini aku berharap berjalan-jalan di Malioboro sendirian tak mengubah keramaian dan kenangan yang ditimbulkan kala itu. Saat aku keluar masuk toko berkali-kali hanya untuk menawar batik, atau terkagum-kagum dengan kerajinan tangan yang unik bersamamu yang sesekali memasang wajah memelas karena lelah berjalan. Hei, tak tahukah kamu bahwa perempuan diberkahi Tuhan dengan kekuatannya berjalan-jalan dan menawar demi mencari harga paling murah? Aku menertawakanmu berkali-kali karena akhirnya kamu bilang kapok mengajakku berjalan-jalan. Haahaha, kenangan tinggal kenangan.

Aku duduk di warung kaki lima setelah seharian memutari petak petak Malioboro. Tak lelah karena aku merasa kamu begitu dekat denganku, seakan aku mengulangi lagi perjalanan kita saat itu, yang pertama dan terakhir kalinya.
Segelas dawet yang kuaduk dari tadi belum kuminum seteguk pun. Aku haus tapi entah kenapa rasanya tidak sanggup menikmati minuman yang pernah jadi bagian kenangan Malioboro kamu dan aku.



Ponselku berdering tiba-tiba, sebuah pesan masuk.

Kamu di mana? Mau sampai kapan meratapi kenangan Aan yang kamu simpan diam-diam?

Itu Isna, sahabat tempat aku bercerita betapa aku kehilanganmu, An. Aku meneguk sedikit minumanku lalu melangkah menyusuri Malioboro lagi. Semakin sore, jalanan semakin ramai. Tapi aku merasa sepi tanpa ada kamu.

Re, kamu di mana sih? Aku jemput ya. Besok kamu menikah Re. Ingat itu.

Lagi-lagi Isna. Aku mematikan ponselku, aku hanya ingin berkubang hari ini dalam kenangan bersamamu.

 ***

”Tepat waktu kan? Jam 4 kurang lima belas menit. Lihat, aku tepat janji kan?”, kamu tertawa mengambil helm yang aku sodorkan di parkiran Stasiun Tugu.
Aku tersenyum ” Makasih ya atas jalan-jalan hari ini. Sampai ketemu besok, An.”, aku berat membalikkan badan masuk ke dalam stasiun.

”Eh, An”, kataku.. betapa aku saat itu ingin sekali mengatakan semuanya padamu. Betapa aku menyukaimu, betapa aku mencintaimu. Tapi rasanya lidahku kelu, aku malu, takut. Bagaimana kalau kamu marah padaku? Toh kamu sudah punya Lina, kekasihmu di kampung halaman sana yang sering kamu ceritakan padaku.

”Kenapa, Re?”
”Ah nggak, makasih banget ya.”, aku tersenyum melambaikan tangan lalu berjalan masuk ke dalam stasiun.

Malam di hari itu, aku menerima pesan dari Bayu, kakakmu di ponselku.

Re, Aan kecelakaan. Dia koma.

Semenjak itu aku tak pernah berhenti menyalahkan diriku sendiri. Bertahun-tahun kemudian, selepas kepergianmu pun aku telah memutuskan untuk berhenti membuka hatiku untuk lelaki lain. Cuma kamu An, Cuma kamu. Tapi toh orangtuaku terus mendesakku untuk menikah,sudah kepala tiga alasan mereka. Aku tak pantas menggadis terlalu lama.

Besok aku menikah, An. Tahukah kamu bahwa aku tak pernah mencintai lelaki itu, terlebih ia kakak lelakimu?

Aku memandangi Jalan Malioboro sekali lagi. Mengusap fotomu yang kugenggam sedari tadi, meneteskan air mata tiada henti. Aku sepi, meski ramai bukan main jalanan ini.

”Mbaak.. awas mobill...”, hanya itu teriakan yang kudengar sebelum putih membayangiku.

Tunggu An, aku datang menemuimu.



#15HariNgeblogFF2 Hari ke 8 : Ramai


1 komentar: