”Akhirnya sampai
jugaa..”, aku setengah berteriak keluar dari dalam mobil.
”Heh, malam-malam
berisik, udah yuk check in dulu.” , Idham menyodorkan koperku lalu masuk ke
dalam lobi hotel.
Memang kesalahan
kami berangkat saat sore adalah jadi tidak bisa menikmati senja di Pangandaran,
tapi toh kami berencana menginap di sini agak lama, menghabiskan liburan
sebelum berkutat lagi dengan kerjaan.
”Dengan Tuan
Idham? 3 hari 3 malam, dua kamar, bukan?”, seorang resepsionis memamerkan
senyumnya yang manis kepada Idham.
”Yup, benar. ”,
Idham mengambil kunci yang diserahkan gadis itu.
”Kamar nomor 510
dan 418, silakan. Selamat berlibur.”
Aku membalas
senyum ke resepsionis cantik itu, lalu berjalan di sebelah Idham sambil
menggeret koperku yang menggembung.
”Eh, Dham. Aku
kamar yang 510 aja, ya. Lebih tinggi daripada kamu.”, aku nyengir sambil masuk
ke dalam lift yang kosong.
”Dih. Terserah
deh. Nih. Awas ya, kalau tinggi-tinggi terus nggak berani lihat pemandangan,
jangan salahin gue.”, ia menyodorkan kunci sambil menekan tombol lift.
Setelah sampai
lantai 4, kami berpisah. ”Ingat, besok jam 5 gue tunggu di lobi. Kalau belum
bangun, gue nggak ragu buat ninggalin kamu ya.”, Idham tertawa sambil
mengancam. Aku memanyunkan bibirku, sebal. Memang aku termasuk orang-orang yang
susah bangun pagi. Tapi demi Pangandaran dan liburan. Aku akan memasang alarm
berkali-kali agar bangun tepat waktu.
Aku menyipitkan
mataku silau dengan cahaya matahari yang menyusup tirai jendela. Kukucek-kucek
mata lalu terlompat dari kasur karena ingat janjiku dengan Idham pagi ini.
Sial, jam dinding
menunjukkan pukul 6.30, jelas-jelas aku telat. Aku buru-buru bersiap-siap lalu
meraih tas kecilku yg berisi dompet dan ponsel. Setengah berlari aku menuju
lift dan keluar ke Lobi.
Aku tahu, pasti aku
sudah ditinggal ke pantai jadi aku memutuskan untuk bertanya kepada resepsionis
bagaimana cara menyusul Idham di Pantai, bodo amat lah panas-panas begini. Toh
teleponku sedari tadi tidak diangkatnya.
”Andrea!!”, suara
Idham memanggilku.
Aku baru saja akan
memelas minta maaf ketika melihat siapa yang berjalan di sebelahnya.
Itu Kamu, De. Setelah
bertahun-tahun aku gagal menemukanmu, kali ini kamu datang di hadapanku.
”Hai Re. Apa
kabar?”, kamu mengulurkan tangan.
Aku tersenyum
kaku.”Baik.”
Diam-diam aku memasang
tatapan kejam ke arah Idham. Buat apa membawa kamu kepadaku?
”Heh, nggak usah
sok kejem gitu deh. Kamu kan yang tadi nggak datang ke lobi? Sukurin aku
tinggal.”
Aku nyengir
meminta maaf.
”Eh, aku permisi
dulu ya. Ada janji dengan klien. Dham, nanti jadi kan?”, Katamu.
”Sip. Jadi donk,
Dewa.”
Aku memandang
punggungmu yang menjauh.
”Hush. Ngelamun.
Kangen Dewa ya?”, goda Idham.
”Ih, siapa yang
kangen dia. Udah ah, aku mau sarapan, kamu ikut nggak?”, tanyaku melenggang ke
restoran hotel.
”Entar deh gue
nyusul. Mau mandi dulu.”
Aku berjalan
sendiri sambil memikirkan kamu, Dewa. Lima tahun kamu meninggalkanku tanpa
kabar tanpa kejelasan tentang hubungan kita. Keluargamu bilang kamu ke Batam,
teman-temanmu bilang kamu ke Surabaya. Sementara aku di Bandung capek menanti
kepulanganmu. Sampai sekarang jangan salahkan aku jika masih merindukanmu.
Nanti sore jam 5 kita jalan-jalan di Pantai ya Re,
awas kalau sampai telat. Ketemuan di sana aja. Aku males nungguin kamu
lama-lama. Kali ini kamu harus datang liat sunset. Percuma donk jauh-jauh ke
sini kalau kamu Cuma tidur mulu.
Aku masih ingat
pesan Idham siang tadi sebelum kembali ke kamar. Maka di sinilah aku, masih jam 4 sore tapi sudah
tiba di tepi Pantai Pangandaran yang terkenal keelokannya. Sebuah topi membantuku
mencegah silau sinar matahari. Tadinya kupikir sebelum sunset, pantai ini akan
sepi sekali. Tapi ternyata ada beberapa orang yang meramaikan pesisirnya.
Anak-anak kecil bermain layang-layang, beberapa lainnya membangun istana pasir,
juga ada para remaja yang sedang menikmati kesejukan Laut yang kali ini
Ombaknya tidak terlalu ganas.
”Rea.”, suaramu
mengagetkanku.
”Eh, Dewa. Kamu
tumben di sini? Eh, maksudku kamu kok ada di sini.”, aku salah tingkah.
”Nggak, tadi
daripada bosen di kamar, jadinya aku memilih jalan-jalan saja di sini. Ternyata ketemu kamu. Kita jalan-jalan
yuk.”, ajakmu.
”Oh. Oke.”
Kita berjalan di
pasir Pangandaran yang kelabu sambil bercerita masa lalu. Ah, siapa sangka
bahwa berjalan sebentar bersamamu menguatkan perasaan bahwa aku memang masih
mencintaimu?
Hampir satu jam
lebih kita berjalan, senja belum juga datang bahkan aku lupa janjiku dengan
Idham.
”Re, aku mau
memberitahumu sesuatu.”, katamu.
“Eh, ada apa?.”
”Aku mau
memberikanmu ini. Acaranya masih sebulan lagi, semoga kamu masih bisa datang.
Eh aku permisi dulu ya, sampaikan salamku juga untuk Idham.”
Aku membuka amplop
merah muda itu dengan sukacita. Mungkinkah itu surat cinta?
Ah, sial rupanya
bukan. Itu malah berupa undangan pernikahan.
Menikah, Dewa Ginanjar Putra dengan Arum Dewi
Permadi
Hanya itu yang
bisa aku baca, karena kemudian aku sudah menangis tergugu di pinggir pantai
Pangandaran. Langit masih biru, tapi sungguh menyebalkan ketika hati kita berubah
menjadi kelabu.
”Re. Kamu kenapa?
Tenang donk, eh jangan nangis begitu. Kenapa sih?”, Idham yang entah datang
dari mana tiba-tiba merengkuhku dalam peluknya.
”Lupakan Dewa, Re.
Kamu tahu, kamu masih punya aku. Aku yang mencintaimu.”
Aku berhenti
menangis mendengar pernyataan itu. Benarkah? Idham yang selama ini sahabatku
ternyata mencintaiku?
Senyum Idham
menular padaku, aku tertawa memeluknya erat. Di tempat ini aku patah hati,
namun biru telah melekatkannya kembali.
panjangnya ni ff hehe
BalasHapustp bagus juga.
bener-bener keren! so sweet banget!
BalasHapuseh terima kasih-terima kasihh semuaa.. :)
BalasHapus