“Apa?? kamu setahun di Jogja belum pernah ke Malioboro?”,
Kamu tertawa-tawa mendengar ceritaku.
”Biarin. Lagian nggak ada yang mau aku ajak ke sana. Hiks.”, aku
memasang wajah pura-pura sedih. Baru
saja aku bercerita padamu betapa aku penasaran seperti apa Malioboro itu. Jalan
yang konon katanya merupakan poros Garis imajiner Pantai Parangtritis, Panggung
Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi.
”Keretamu sore
ini ke Solo jam berapa?”, tanyamu.
“Jam 4. masih tiga
jam lagi, kenapa emangnya?”
“Yuk. Aku antar ke
Malioboro.”, kamu nyengir sambil mengeluarkan kunci motor.
Aku bengong.
”Yakin bisa sampai stasiun nanti tepat waktu dari Malioboro?”, kebetulan aku
ada acara di rumah Pakde di Solo. Jadinya sore ini harus berangkat ke kota yang
jauhnya 1 jam perjalanan kereta dari Jogja itu.
”Yakin. Udah deh,
daripada kamu setahun di Jogja, tapi malu-maluin aja nggak pernah ke
Malioboro.” , kamu menyodorkan helm lalu menyalakan mesin motor.
Aku ingat kemudian
kamu mengantarkanku berjalan-jalan sepanjang Malioboro. Saat itu meski mentari
bersinar terik, keramaian orang berlalu-lalang serta kendaraan yang tak pernah
sepi, aku tetap menyunggingkan senyum penuh ceria karena akhirnya aku bisa
datang ke tempat ini. Terlebih karena akhirnya aku bisa berjalan-jalan
bersamamu, berdua saja. Meski saat itu kamu tak lebih menganggapku seorang teman
biasa yang udik karena belum pernah menginjakkan kaki di Malioboro.
***
Kali ini aku
berharap berjalan-jalan di Malioboro sendirian tak mengubah keramaian dan
kenangan yang ditimbulkan kala itu. Saat aku keluar masuk toko berkali-kali
hanya untuk menawar batik, atau terkagum-kagum dengan kerajinan tangan yang
unik bersamamu yang sesekali memasang wajah memelas karena lelah berjalan. Hei,
tak tahukah kamu bahwa perempuan diberkahi Tuhan dengan kekuatannya
berjalan-jalan dan menawar demi mencari harga paling murah? Aku menertawakanmu
berkali-kali karena akhirnya kamu bilang kapok mengajakku berjalan-jalan.
Haahaha, kenangan tinggal kenangan.
Aku duduk di warung
kaki lima setelah seharian memutari petak petak Malioboro. Tak lelah karena aku
merasa kamu begitu dekat denganku, seakan aku mengulangi lagi perjalanan kita
saat itu, yang pertama dan terakhir kalinya.
Segelas dawet yang
kuaduk dari tadi belum kuminum seteguk pun. Aku haus tapi entah kenapa rasanya
tidak sanggup menikmati minuman yang pernah jadi bagian kenangan Malioboro kamu
dan aku.
Ponselku berdering
tiba-tiba, sebuah pesan masuk.
Kamu di mana? Mau sampai kapan meratapi kenangan
Aan yang kamu simpan diam-diam?
Itu Isna, sahabat
tempat aku bercerita betapa aku kehilanganmu, An. Aku meneguk sedikit minumanku
lalu melangkah menyusuri Malioboro lagi. Semakin sore, jalanan semakin ramai.
Tapi aku merasa sepi tanpa ada kamu.
Re, kamu di mana sih? Aku jemput ya. Besok
kamu menikah Re. Ingat itu.
Lagi-lagi Isna.
Aku mematikan ponselku, aku hanya ingin berkubang hari ini dalam kenangan
bersamamu.
***
”Tepat waktu kan?
Jam 4 kurang lima belas menit. Lihat, aku tepat janji kan?”, kamu tertawa
mengambil helm yang aku sodorkan di parkiran Stasiun Tugu.
Aku tersenyum ”
Makasih ya atas jalan-jalan hari ini. Sampai ketemu besok, An.”, aku berat
membalikkan badan masuk ke dalam stasiun.
”Eh, An”, kataku..
betapa aku saat itu ingin sekali mengatakan semuanya padamu. Betapa aku menyukaimu,
betapa aku mencintaimu. Tapi rasanya lidahku kelu, aku malu, takut. Bagaimana
kalau kamu marah padaku? Toh kamu sudah punya Lina, kekasihmu di kampung
halaman sana yang sering kamu ceritakan padaku.
”Kenapa, Re?”
”Ah nggak, makasih
banget ya.”, aku tersenyum melambaikan tangan lalu berjalan masuk ke dalam
stasiun.
Malam di hari itu,
aku menerima pesan dari Bayu, kakakmu di
ponselku.
Re, Aan kecelakaan. Dia koma.
Semenjak itu aku
tak pernah berhenti menyalahkan diriku sendiri. Bertahun-tahun kemudian,
selepas kepergianmu pun aku telah memutuskan untuk berhenti membuka hatiku
untuk lelaki lain. Cuma kamu An, Cuma kamu. Tapi toh orangtuaku terus
mendesakku untuk menikah,sudah kepala tiga alasan mereka. Aku tak pantas menggadis
terlalu lama.
Besok aku menikah,
An. Tahukah kamu bahwa aku tak pernah mencintai lelaki itu, terlebih ia kakak
lelakimu?
Aku memandangi
Jalan Malioboro sekali lagi. Mengusap fotomu yang kugenggam sedari tadi,
meneteskan air mata tiada henti. Aku sepi, meski ramai bukan main jalanan ini.
”Mbaak.. awas
mobill...”, hanya itu teriakan yang kudengar sebelum putih membayangiku.
Tunggu An, aku
datang menemuimu.
sedihh :(
BalasHapus