Rabu, 20 Juni 2012

Genggaman Tangan


Selamat datang di Air Terjun Tawangmangu.”, kamu berlagak bak pemandu wisata merentangkan tangan di depan pintu masuk Air Terjun. Terang saja dengan mimik wajahmu yang lucu, aku dan rombongan kelas Organik tertawa terbahak-bahak.
”Untuk tiket, biar saya yang urus, kalian tunggu saja di sini, Ya.  Din, bantu saya yuk.”, kamu mengajakku ikut ke loket.

Perjalanan ini sebenarnya karya wisata yang ditujukan bagi anak-anak di kelas Kimia Organik. Setelah tadi berkunjung di Balai Penelitian Tanaman Obat selama 4 jam, selepas dzuhur kami serombongan sepakat untuk meneruskan perjalanan lebih naik ke atas, yaitu ke Air Terjun Tawangmangu yang terkenal.

”Din, ye.. kok ngelamun?”, kamu menaik turunkan telapak tanganmu di depan wajahku. Aku hanya bisa nyengir, ”Udah dibayar?”, tanyaku.
”Udah. Yuk kita ke rombongan. Anak-anak pasti sudah menunggu.”
Kemudian kamu membagi-bagikan tiket untuk 25 orang mahasiswa yang ikut.
”Karena kalian sudah dewasa, saya yakin kalian bisa berhati-hati dan jaga diri dengan baik. Karena itu saya akan membebaskan kalian hendak ngapain aja di Kawasan Air Terjun ini. Tapi ingat, kalian harus menaati peraturan yang ada, kita kumpul di dekat air terjun jam 4 ya. Setelah itu kita bersiap-siap pulang.”, setelah kamu selesai berbicara, anak-anak itu sudah turun satu demi satu meniti tangga ke Air Terjun.
”Oh ya.. hati-hati terhadap monyet liar ya..”, teriakmu.
Aku tertawa melihat reaksi anak-anak perempuan yang memandang ngeri dan ragu-ragu turun ke bawah.
”Nggak apa-apa, asal kalian tidak mengeluarkan makanan atau menjinjing kantung plastik. Jalan saja dan jangan dekat-dekat tepian tangga. ”, kataku menenangkan mereka.
Akhirnya setelah saling berpegangan tangan, mereka turun juga ke Air Terjun.

”Yuk ah, kita ikut turun. ”, ajakku sambil menoleh ke arahmu. Tapi aku tidak menemukanmu padahal tadi kamu jelas-jelas berdiri di sebelahku.
”Er.. Eri..”, aku berjalan mencarimu, ragu apakah aku turun menuju air terjun atau mencarimu di sela keramaian orang di atas sini.
”Hei, Din. Nyari aku ya?”
”Kamu ke mana sih?”
”Beli bunga.”
”Bunga?”
”Iya.”
”Untuk apa?”
”Untuk gadis yang akan aku lamar hari ini.”
”Ah.. kamu jahat, kenapa kamu nggak cerita sama aku kalau mau melamar Intan hari ini?”, kataku memasang muka kecut.
”Hahaha. Lihat saja nanti.”, dari wajahmu aku tahu kamu bahagia.

Jadi begini, seluruh jurusan Kimia tahu bahwa Eri, sahabatku yang juga dosen ini punya kedekatan khusus dengan Intan, mahasiswa tingkat enam yang kali ini juga ikut dalam karya wisata. Menurut kabar yang beredar, mereka berpacaran, sedang kalau aku bertanya langsung kepada Eri, ia akan nyengar-nyengir tanpa menjelaskan apapun. Ketua jurusan sempat memanggil Eri, tapi entah klarifikasi apa atau kebohongan apa yang dikatakannya tapi semenjak itu Kajur tidak pernah membahas masalah itu lagi.

Tapi yang tidak pernah kuceritakan padamu adalah bahwa aku diam-diam menyukaimu. Bagaimana tidak, sejak kuliah kita sudah bersahabat, apalagi kita diterima kerja di universitas dan jurusan yang sama. Benarlah kalau ada yang bilang cinta itu ada karena terbiasa. Terbiasa bersama-sama, terbiasa berbagi bahagia, berbagi luka.

Aku berjalan turun di belakangmu menuju arah air terjun. Melirik iri pasangan muda-mudi yang bergandengan tangan mesra entah yang naik atau menuruni tangga sepertiku. Sial. Tak bisa kupungkiri betapa aku mulai tidak nyaman dengan keramaian di tempat ini. Meski udaranya segar dan sejuk, tapi riuh suara orang-orang membuatku kecewa.
”Makan sate kelinci yuk.”,ajakmu. Aku mengangguk, menurut. Aku sudah ingin pulang, pikirku. Wahai waktu kumohon berputarlah dengan cepat. Biar kamu cepat melamar Intan, biar aku cepat pulang, mengadu nasibku pada bantal-bantal di kamar.

Jam 15.45 anak-anak sudah lengap berkumpul di dekat air terjun. Baru saat itu aku merasakan betapa indah sebenarnya tempat ini.Kejenuhanku sedari tadi hilang entah ke mana, tepiasan air serta deru air yang jatuh menerpa bebatuan membuatku terkesima. Kalau tadi aku memilih cepat pulang, ssaat ini aku malah ingin berlama-lama di tempat ini.


Ah, aku cemburu pada Intan, kalau saja aku boleh berteriak. Dia beruntung sekali bukan, dilamar di tempat seromantis ini?
”Baik semuanya, saya akan mengumumkan satu hal penting.”, keramaian anak-anak mulai mereda.
”Hari ini saya akan melamar seorang gadis yang penting bagi saya.”
”Cie..cie.. Suit..Suitt..”, sorak-sorai membahana. Beberapa anak melirik ke arah Intan, termasuk aku. Tapi kemudian aku membuang muka, aku tak sanggup menyaksikan cowok yang aku suka melamar orang lain. Apalagi orang lain itu muridku sendiri.

”Din, maukah kamu menikah denganku?”, kamu menyodorkan seikat bunga serta memperlihatkan sebuah cincin dan tempatnya.
Aku tergagap, refleks menoleh ke arah anak-anak mencari sosok Intan. Apa-apaan ini, bukankah seharsnya Intan yang kamu lamar, pikirku. Aku ingin meneriakkannya tapi lidahku kelu.
”Tenang Bu, eh, Mbak Dini. Saya dan Mas Eri nggak pacaran kok. Sungguh. Mas Eri ini keponakannya Papa, jadi bisa dibilang dia saudara jauhku. Semua gosip yang timbul di sekolah, hanya murni gosip belaka.”, Intan muncul di belakangmu. Aku bahkan masih melihat beberapa anak perempuan terlihat shock dengan kejadian ini.

”Kamu yakin memilihku?”
”Haha.. kita bertahun-tahun bersama, saling mengenal dan bersahabat. Aku mencintaimu, Din. Hanya saja butuh waktu lama dan tekad yang kuat untuk berani mengungkapkannya padamu. ”, katamu sambil tersenyum.
”Aku.. Aku. Ah. Aku tentu saja Mau.”, aku tertawa memelukmu.

Seperti yang bisa kalian bayangkan, akhir perjalanan itu tentu saja indah. Tak peduli anak-anak yang mengeluh kecapekan mendaki tangga, aku bersemangat 45 menaiki tangga untuk pulang, terlebih sekarang ada tangan seseorang yang bisa kugenggam.


#15HariNgeblogFF2 Hari ke 9 : Genggaman tangan



1 komentar: