Pagi itu Pasar Klewer sudah ramai dengan orang yang lalu
lalang. Tentu saja, sebagai salah satu pusat perbelanjaan yang cukup murah di
Solo, tempat ini selalu ramai saat buka. Aku mulai ketar ketir, sepertinya
mengajakmu bertemu di tempat ini merupakan kesalahan besar, bagaimana pula aku
akan mengenalimu padahal kita tak pernah bertemu?
“Cari nopo, Cah Ayu? Monggo batik-batike apik apik lho.”,
seorang Ibu-ibu menawarkan dagangannya kepadaku. Aku tersenyum sambil
menggelengkan kepala. Tidak, bukan itu yang aku cari di sini.
Ponselku berdering, sebuah pesan masuk, ternyata itu dari
kamu.
Aku harus menunggu di
mana, Ayu? Tempat ini ramai benar.
Aku menoleh mencari tempat yang unik, tapi sepanjang Pasar
Klewer ini hanya kulihat kios-kios pedagang. Bagaimanalah pula kau bisa aku
ajak bertemu di depan Kios Pak Jaya, misalnya, bisa-bisa kau dan aku tersesat
berjam-jam mencari Kios tersebut sampai pasar ini tutup. Dengan cepat-cepat aku
melangkahkan kaki keluar dari dalam Pasar, aku harus menemukan satu tempat pertemuan
yang unik, agar kau tak tersesat menemukanku. Nah, itu dia, aku tersenyum
melihat gapura Pasar yang berdiri megah.
Kamu tunggu di dekat
gapura pasar Klewer ya, aku segera ke sana.
Oh iya, bajuku hari ini berwarna biru, kalau-kalau kau nanti melihatku.
Terkirim.
Satu pesan masuk.
Oke. Aku lagi nyari tempat parkir, nanti aku ke
sana.
Kulangkahkan
kakiku menuju Gapura yang megah itu, catnya yang berwarna kekuningan
menjadikannya seakan benderang tertimpa sinar matahari. Riuh suara orang-orang
dan kendaraan yang lewat membuat tempat ini semakin ramai. Kulirik jam di
tangan, sudah pukul 11 siang, pantaslah pasar makin sesak. Setelah sampai, aku
berdiri bersandar, kegerahan. Angin sepertinya tak mau susah-susah memberikan
sedikit saja kesejukannya untukku kali ini. Payah benar, bisa-bisa baru pertama
bertemu kau sudah kapok melihatku yang lecek dan kusam begini.
Lima tahun yang
lalu aku mengenalmu dari blog. Tulisan-tulisanmu selalu menjadikan hariku ceria. Bukan, bukan blog
motivasi tetapi hanya sebuah blog yang bercerita bagaimana kisahmu berlalu.
Cara penyampaianmu yang asyik, pengalamanmu yang konyol dan ternyata kamu ramah
sekali membalas komentar-komentar yang singgah di blogmu, termasuk membalas
komentarku yang sering berkunjung.
Sejak itu kita menjadi
sahabat di dunia maya, tak pernah bertatap muka sebab jarak memisahkan kita. Kau
tinggal di Pontianak dan aku tinggal di Solo, Laut Jawa menjadi jurang pelebar
kita untuk bertemu. Tapi toh dengan sarana komunikasi yang canggih sekarang ini
aku mampu mengenalmu dengan cukup baik, setidaknya untuk dua orang yang tak
pernah bertemu. Kamu menjadi teman sekaligus pendukungku saat aku masuk kuliah
bahkan sampai saat selesai ujian skripsi, kamu menyemangatiku dari jarak
ratusan kilometer jauhnya. Ah, mungkin benar aku menyukaimu, seperti kata
pepatah jawa,
”Witing trenso jalaran soko kulino ~ Cinta ada karena terbiasa.”
Kali ini kamu
berkata akan berkunjung ke Solo dan memintaku untuk bertemu, tentu saja aku
mau. Sekalian saja nanti aku akan menyatakan perasaanku padamu. Mumpung bisa
bertemu kan? Aku tersenyum-senyum sendiri. Serabi Solo yang kubawakan masih
terasa hangat, anggap saja salam perkenalan agar kamu tidak terkejut saat aku bilang
aku suka kamu. Toh kamu sudah lama ingin menyicipi enaknya makanan khas kotaku
ini.
”Ayu?”, sebuah
suara mengagetkanku.
”Eh. Benar. Kamu..
em.. Kamu Agung?”, tanyaku.
Kamu tersenyum
sambil mengangguk. ”Iya, aku Agung.” Apa Kabar? Akhirnya kita bertemu di sini
juga ya.”
Aku tertawa,
bahagia.
Tapi tidak setelah
kamu memperkenalkan dia.
”Kenalkan, ini Putri,
tunanganku. Dia yang repot-repot mau berbelanja bahan kain di Solo, katanya mau
digunakan sebagai bahan pakaian pengantin.”, kamu tersenyum.
Gadis itu
mengulurkan tangannya padaku, aku tersenyum tertahan. Kaku.
”Eh, ini ada
Serabi Solo, masih hangat semoga kamu suka.”, aku menyerahkannya kepada Putri
yang mengajak bersalaman.
Aku meringis
perih. Kali ini perasanku tidak sehangat Serabi Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar