Aku melangkahkan
kaki dengan enggan di sepanjang trotoar jalan Braga. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya kuning
keemasan menerangi malam yang makin pekat. Ah, ini malam kesekianku sendirian
setelah putus dengan Domi. Malam minggu yang ramai, tapi rasanya hatiku
menyempit sepi.
Kakiku berhenti di
depan sebuah cafe tempat kami biasa bertemu. Haruskah aku melangkahkan kaki masuk dan mengenang
puluhan kali kencan di tempat ini?
”Silakan masuk,
Mbak.”, seorang pelayan membukakan pintu cafe untukku.
”Eh.. Ah.. Eh..
saya.. Ah, terima kasih.”, aku memutuskan masuk dan membiarkan memori terkuak
lagi.
”Saya pesan
blackcoffee.”, aku memilih kursi di dekat jendela, menikmati orang yang lalu
lalang di Jalan Braga.
Baru saja
kuseruput kopi hitam itu, aku melihat sekilas bayanganmu yang sedang duduk di
trotoar seberang jalan. Aku memalingkan wajahku, tapi akhirnya penasaran lagi
dan menengokmu. Ya, itu benar kamu. Tapi bukankah hari ini harusnya kamu
berangkat ke Surabaya? Seperti katamu saat perpisahan kita dulu, daripada jarak
menahan kita berdua, alangkah baiknya jika kita berpisah saja akhirnya.
Aku memanggil
pelayan dan membayar bon kopi yang bahkan baru kuteguk sekali. Dengan segera aku melangkah keluar cafe
dan berjalan menuju arahmu.
”Domi..”,
panggilku.
Kamu menoleh ke
arahku dan tersenyum. Tanganmu menepuk permukaan trotoar seakan menyuruhku
duduk di sebelahmu. Haruskah aku duduk, tapi kita kan sudah berpisah.. Ah, masa
bodoh dengan kata putus itu, disadari maupun tidak aku sebenarnya masih
mencintaimu.
”Kamu nggak jadi
ke Surabaya?”, aku membuka pembicaraan.
”Nggak. Aku kangen
kamu, Gi”, kamu menoleh ke arahku.
Aku merasa wajahku
merona merah, malu. Bukankah seharusnya kalimat itu tidak diucapkan oleh
pasangan yang baru saja putus?
Semilir angin
malam yang dingin membuatku merinding, cardigan biruku tak sanggup menghalangi
angin-angin nakal tersebut menelusup masuk.
”Kamu dingin?
Pakai jaketku ya?”, kamu melepas jaket hitammu dan memberikannya kepadaku.
”Makasih.”, aku
bingung harus berkata apa lagi.
Harum tubuhmu
menguar dari jaket favoritmu itu, membuatu semakin salah tingkah karena merasa
semakin dekat denganmu.
”Maafkan aku ya
Gi.”, katamu tiba-tiba sambil menyentuh pergelangan tanganku.
”Untuk apa, Dom?”
”Untuk semuanya,
untuk kesalahanku mengakhiri hubungan kita. Kamu tahu, seminggu terakhir ini
aku makin sadar aku salah telah memutuskanmu.”
Aku terdiam
memandangi pemuda-pemudi yang bergandengan tangan sepanjang jalan Braga. Aku
dulu sama seperti mereka, denganmu melintasi jalanan ini berkali-kali menikmati
malam minggu berdua. Mungkin kita bisa
seperti mereka lagi?
”Aku nggak pernah
menganggap kamu salah, kok.”
”Begitukah?”
”Iya, kamu tahu
nggak. Aku juga sama kaya kamu, akhir-akhir ini rasanya kesepian banget.”
”Jadi kamu mau
memaafkanku?”
Aku mengangguk
mengiyakan.
Kita sejenak
menikmati malam itu dalam diam. Aku bersandar di bahumu sambil mempererat
jaketmu, rasanya Braga malam ini dingin sekali, padahal angin juga tak terlalu
kencang.
“Aku dingin
banget, kita masuk ke cafe aja yuk.”, ajakku.
Kamu tersenyum,
”Nggak usah, aku mau pulang. Kamu bawa kendaraan sendiri?”, katamu.
”Aku.. ”, rasanya
tidak secepat ini aku ingin berpisah. Tapi toh malam sudah semakin larut.
”Kita masih bisa
bertemu esok hari kan?”, tanyaku.
”Semoga. ”
Aku baru hendak
mengembalikan jaketmu, ”Bawa saja jaketku, Gi.”
”Nanti
mengembalikannya?”
”Kita pasti
bertemu lagi kok. Hati-hati menyetir ya, aku sayang kamu.”
Aku melangkahkan
kaki dengan enggan ke parkiran mobilku, sesekali menoleh ke belakang tapi
tampaknya kamu sudah berjalan dengan cepat sehingga tak kutemukan lagi siluetmu
dalam temaram malam.
Kubuka pintu
mobil, jaketmu kulepas dan kuletakkan di kursi depan penumpang. Ponselku
berbunyi, itu Deni, sahabatmu.
”Hai, Gi. Kamu
di mana?”
”Aku di Braga.
Kenapa Den?”
”Aku ke sana,
tunggu aku ya.”
”Eh, kenapa Den?”
”Tadi siang mobil
Domi kecelakaan dalam perjalanan ke Surabaya.”
”Kamu bercanda
ah.”
”Beneran, baru
saja aku dapat telepon dari Nyokapnya. Domi meninggal, Gi.”
”Kamu bohong. Ih,
aku baru ngobrol sama Domi kok di Braga.”
”Aku ngga
bercanda, Gi. Beneran.”, suara Deni serius. Aku mulai meragukan diriku sendiri.
Lalu kutolehkan
wajahku ke kursi tempat jaketmu kuletakkan, tak ada apa-apa di sana. Jaketmu
hilang.
Aku kaku, antara
percaya dan tidak. Mungkinkah?
Air mataku
menderas, jadi itu sebabnya mengapa tanganmu, pelukanmu semuanya terasa dingin?
”Gi.. Gi..Giaa
tunggu di sana, aku segera datang.”, Suara Deni lamat-lamat kudengar...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar