“Siap.. satu.. dua.. tiga..”, Adam membantu membuka penutup
mataku.
Aku masih mengerjap-ngerjapkan mataku tak percaya. Sinar
matahari pagi terlihat merona di langit pagi itu, merah yang berganti kuning
keemasan membawa bola mentari naik perlahan. Hangatnya terasa lembut di kulit,
diiringi debur ombak yang menjilati bibir pantai dan angin pagi yang
menyegarkan. Ah, betapa sempurnanya pagi ini.
“Bagus banget, Dam.”, aku berbisik masih mengagumi keindahan
lukisan Tuhan kali itu.
“Kamu nggak nyesel kan
subuh-subuh udah aku ajak ke sini?”, Adam menggenggam tanganku.
Aku mulai salah tingkah.
“Eh, nggak.
Beneran bagus banget.”, aku mengalihkan pandangan dari langit dan mulai
mengamati pemandangan pulau ini.
Tadi sewaktu
datang, langit masih gelap, aku hanya melihat sorotan silau mercusuar sebagai
penunjuk arah bagi mereka yang sedang bertualang di lautan luas. Sekarang
setelah datang pagi, mercusuar itu terlihat dengan jelas, Berdiri dengan gagah.
Pantai yang cantik ini dikelilingi bebatuan granit yang cukup besar, dan
airnya.. ah aku rasanya mau berendam di sana seharian. Degradasi biru dan hijau
yang muncul karena pengaruh koral di dasarnya terlihat apik mengundang.
”Kok ngelamun?”,
Adam menyentuh bahuku.
”Eh. Pulau apa ini namanya, Dam?"
"Ini Pulau Lengkuas. Luasnya hanya sekitar 1 hektar. "
"Nama pulaunya unik ya.", aku tersenyum membayangkan salah satu jenis bumbu masak.
"Begitulah.", kata Adam.
"Eh, Dam. Jalan-jalan yuk. Aku pingin pergi ke mercusuar itu. Boleh naik ngga ya?”, aku melangkah cepat-cepat ke arah mercusuar.
"Ini Pulau Lengkuas. Luasnya hanya sekitar 1 hektar. "
"Nama pulaunya unik ya.", aku tersenyum membayangkan salah satu jenis bumbu masak.
"Begitulah.", kata Adam.
"Eh, Dam. Jalan-jalan yuk. Aku pingin pergi ke mercusuar itu. Boleh naik ngga ya?”, aku melangkah cepat-cepat ke arah mercusuar.
”Boleh donk. Bapak
pengemudi perahu tadi sudah berpesan kalau kita bisa naik ke Mercusuar itu.
Tapi aku males, Din. Capek ah pagi-pagi disuruh naik begituan. Mana belum
sarapan.”, Adam memasang muka memelas.
Aku tertawa dalam
hati, dia yang mengajak ke sini kenapa malah dia yang malas mengeksplorasi?
”Terus kamu maunya
di sini aja, gitu?”
”Iya. Kita
menikmai pantai saja ya.”, Adam tersenyum padaku.
Aku mengalihkan
pandanganku ke horizon, mentari sudah hampir sempurna lahir dari samudera.
”Baiklah.”, aku
mengambil tempat duduk agak jauh dari posisi Adam. Lalu membuat sebuah gerakan
di pasir pantai yang halus.
”Hei, Dam. Lihat.
Aku bikin mlalaikat pasir.”, aku berdiri sambil menunjukkan hasil karyaku ke
Adam.
”Kau aneh. Yang ad
ajuga Snow Angel, masa bikin Snow Sand?”, Adam tertawa melihat hasil karyaku.
”Mana sayapnya ga
imbang tuh gedenya.”, ia menjitak kepalaku dengan lembut.
Aku cengengesan.
Tuhan, aku mau waktu berhenti saja saat ini. Di tempat ini. Begini.
”Dina, kalau kamu
dibolehkan memutar balik waktu. Kamu masih mau nggak mengenalku lagi?”, Adam
duduk di pinggir malaikat pasirku. Aku ikut duduk di sebelahnya.
”Hmm.. mungkin.”,
jawabku ragu.
”Cuma mungkin?
Huh. Dasar.”, Adam tertawa ringan.
”Siapa sih yang
nggak mau kenal dengan cowok baik kayak kamu.”, aku menggodanya.
”Terus kamu mau
jadi kekasihku, kan?”, Adam memasang wajah serius seketika.
Aku gugup bukan
main. Kumainkan butiran pasir sambil menatap langit yang mulai biru.”
”Maksud kamu?”,
tanyaku
”Kalau kita
dibolehkan membalikkan waktu, maukah kamu jadi kekasihku?”
Aku mengamati
Adam. Raut wajahnya dewasa meski umurnya hanya selisih 3 tahun denganku.
Sepertinya hidup telah menempanya lebih keras daripada aku.
”Aku sayang kamu, Dam.
Tapi asalkan keadaan kita nggak begini.”
Adam terdiam
Menatapku lekat.
”Kamu benar. Ah,
sayangnya kenapa begini ya cerita kita?”, Adam tertawa pahit. Tawa yang dipaksakan sehingga terdengar
tidak pas dan tidak ikhlas.
”Kita balik yuk
Dam. Nanti keburu dicariin Mama Papa”, aku menggandeng tangannya sambil
berdiri.
Kami melangkah ke
arah perahu berdua, aku membayangkan kalau saja saat itu kami dalam posisi berbeda.
5 bulan yang lalu
aku mengenalnya pertama kali di rumah. Semenjak itu aku tahu aku jatuh cinta
kepadanya. Sebulan kemudian ia menikah dan jadi anggota keluargaku. Lalu dua
bulan yang lalu ketika istrinya melanjutkan kuliah di luar negeri, ia mulai
sering mendekatiku. Ah rupanya ia juga jatuh cinta padaku.
Tapi toh terlambat,
dia kakak iparku. Mana mungkin aku merebutnya dari Mbak Sinta, kakakku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar