Aku berdiri tepat
di depan menara jam gadang di bawah mentari yang bersinar terik. Keramaian
membuatku sedikit penat, namun apalah daya, aku sudah terlanjur janji menunggu
kamu di sini. Kulirik jam di tanganku, sudah telat 30 menit. Jika kali ini aku
gagal mengatakan semuanya kepadamu, akan ada lebih banyak waktu yang kupakai
untuk menunggu lagi.
”Maaf telat.”,
suaramu mengagetkanku.
Aku tersenyum,
senyum paling manis yang bisa aku berikan.
”Nggak apa. Tumben
telat?”
”Iya, Mama minta
diantar dulu ke supermarket”.
Lalu aku
mengajakmu membeli es krim dari bapak yang sedang berjualan.
”Apa sih yang mau
kamu sampaikan?”, katamu sambil menyesap es krim cokelat favoritmu.
”Makan es krim
dulu yuk. Sambil cari tempat duduk.”, aku menggandeng tanganmu di sisi kiri dan
tangan kananku memegangi cone es krim yang dipenuhi es krim stroberi, favoritku
yang cocok menemani saat mentari bersinar dengan galak seperti siang ini.
Sebuah kursi taman
terlihat kosong meski sebenarnya hilir mudik manusia seakan tak pernah usai.
Aku mengajakmu duduk di kursi putih itu, nyaman karena terletak di bawah pohon
rindang. Bahkan indahnya jam gadang masih teramati meski harus menerawang
mengalahkan silau Sang Surya.
”Kamu ada perlu
apa sih, La? Tumben ngajak
ketemuan di sini.”, kamu mengamatiku.
Aku hanya
tersenyum mengamati jarum jam di tangan sambil sesekali menoleh ke arah jam
gadang.
”Kamu tahu, siapa
yang menciptakan waktu?”, tanyaku.
”Maksudmu?”
”iya.. Waktu.
Kira-kira siapa ya yang menciptakan dia?”
”Kamu ngomong
apaan sih?”
”Ih beneran. Tau
ngga, menurutku waktu itu dibuat oleh para pencinta. Sebab merekalah yang
sebenarnya selalu menunggu waktu.”, aku memandangi wajahmu.
”Ini gara-gara aku
telat ya? Maaf deh maaf”, raut wajahmu berubah lucu.
Aku tertawa. Tawa
yang lepas hingga sebagian besar orang melirik ke arah kita.
”Nggak. Dewa, kita
udah pacaran berapa tahun ya?”
”em.. sejak SMA
kan. Ingat waktu pertama kali aku mengenalmu ketika upacara bendera di kelas 1?
Ah berarti sudah.. 5 tahun ?”, kamu tersenyum sambil membelai kepalaku.
Beginilah, aku
sendiri heran pada diriku. Kmau baik, kamu perhatian, kamu setia. Harusnya kamu
bisa jadi sempurna. Tapi...
”Dewa, aku rasa
hubungan kita sampai di sini saja ya.”, aku membuang pandanganku menerawang
jauh ke langit biru.
Kamu terdiam. Entah
sedang membayangkan sesuatu atau memang mencoba menyusun kalimat yang tepat.
Tapi toh ketika memutuskan hubungan, tak akan pernah ada kalimat yang tepat.
”Kamu serius?”,
akhirnya hanya itu yang kamu ucapkan.
”Yakin.”, aku
memutar-mutar jam di pergelangan tanganku. Kebiasaan kalau aku mulai gugup.
”Kenapa?”, ah
sudah kutebak pasti pertanyaan itu muncul.
”Sepertinya makin
lama kita makin jelas berbeda.”, aku memaksakan sebuah senyuman. Kaku.
”Kamu tak ingin
memikirkannya dulu?”
”Aku sudah
memikirkannya lama, De.”
”Lalu nanti kalau
aku merindukanmu?”
”Kita temenan saja
ya. Kamu masih boleh kok bertemu denganku, tapi sungguh aku ngerasa kita udah
nggak cocok lagi.”
Kamu menghela
nafas. Berat. Es krim yang masih tersisa kau buang ke tempat sampah di dekat
kursi taman kita.
”Tapi aku masih
sayang kamu, La.”
”Maaf De, aku
nggak bisa lagi menyayangi kamu lebih dari sekedar teman.”
”Baiklah. Kalau begitu sampai jumpa.”, kita berjabat
tangan dengan enggan.
Kamu membalikkan
badan dan melangkah hilang dalam keramaian.
Tak ada air mata,
tak ada pertengkaran, tak ada caci maki. Mengapa terlalu mudah, pikirku.
Biarlah, mungkin
memang sudah saatnya kami berpisah.
Aku mengambil
ponselku, menekan sebuah nomor kontak dan menunggu nada sambung.
”Halo.”
”Hai, ini aku, Lala.”
”Oh, ada apa, La?”
“Kamu tahu, Bang. Setelah
sekian lama akhirnya aku bisa mengatakan ini.”
”Apa?”
”Aku telah
menyalakan lampu hijau buat kamu.”
”Jadi?”
”Ya, sekarang kita
tidak perlu lagi pacaran diam-diam.”, aku tersenyum menatap jam gadang.
Benarlah, waktu
hanya milik Sang pencinta. Ia ada karena rasa rindu dan ada untuk menunggu.
#15HariNgeblogFF2. Hari pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar