Aku membuka
lipatan surat yang kamu berikan siang tadi di bandara. Perpisahan bagi sebagian
orang adalah sebuah awal, tapi bagiku perpisahan kali ini adalah sebuah akhir.
Setelah lipatan
terakhir dibuka, aku tak berani langsung membaca isinya. Kubuang tatapanku ke
arah Sungai Musi. Sebuah tongkang melintas membuat Airnya bergejolak, tak perlu
waktu lama untuk menjadikan permukaannya tenang kembali.
Dear Lala.
Maafkan karena aku harus meninggalkan cerita kita
di kotamu. Kamu tahu sepertinya kesalahan kita sejak awal bermula dari senja. Mungkin
sebenarnya senja adalah tempat persinggahan sementara, di mana waktu tak pernah
membiarkan semuanya menyatu dengan sempurna. Jika kamu adalah senja, maka aku
mataharinya. Sebuah pertemuan menyatukan hati kita dan menjadikan kita saling
jatuh cinta. Tapi toh penguasanya tetap Waktu, ia tak pernah membiarkan mentari
berlama-lama bercumbu dengan senja.
Aku mengamati
langit Palembang yang menjingga. Semburatnya terbias sempurna di cakrawala,
menampakkan keelokkan karya Sang Maha Kuasa. Begitu tidak adilnya jika matahari
hanya bisa memiliki senja sebentar saja, pikirku. Sama seperti aku yang hanya
bisa memiliki dirimu berbilang waktu.
Aku tak tahu haruskah aku meminta maaf atau malah
mengatakan bahwa aku masih mencintaimu. Tak ada yang salah dengan cinta, kata
para pujangga. Mungkin itu benar, karena yang salah adalah waktu.
Atau perlukah kita mencari kambing hitam dari masalah cinta kita berdua? Tapi
bagaimanapun juga terima kasih karena telah mengijinkanku merasakan cinta senja
dalam hidupku. Tahukah kamu, rasa-rasanya sampai kapanpun aku akan tetap
mengingatmu saat senja tiba.
Pengagum Senja
-Agung-
Aku melipat kertas
itu dan menggenggamnya erat-erat. Mengapa harus ada pertemuan jika ternyata harus ada perpisahan? Alangkah
tidak adilnya keadaan itu, bukan?
Ingatanku kembali
ke 5 bulan yang lalu. Di tempat ini, pertama kali kamu menyatakan rasa cintamu
padaku.
”Aku suka kamu,
La.”, saat itu langit juga sedang jingga.
Senyumku langsung
mengembang. ”Aku juga suka kamu, Gung.”
Semenjak itu kita
selalu sering terlihat berdua. Meski aku tahu akan ada saatnya kita berpisah
tapi ternyata perpisahan itu hadir lebih cepat dari yang aku kira.
”Aku harus pulang
ke Surabaya.”
”Kapan?”
”3 hari lagi. Aku
sudah memesan tiket pesawat.”
Aku terdiam. 6
bulan Kerja Lapanganmu ternyata hanya sekejap saja rasanya bagiku.
”Tak bisa lebih
lama lagi di Kota ini?”
”Maaf, La. Tapi aku harus menyelesaikan kuliahku. Nanti
setelah aku lulus, aku akan kembali ke kota ini.”
”Janji?”
”Aku janji.”
Entah siapa yang
menjadi saksi janjimu saat itu. Mentari sudah tenggelam, tapi bintang juga
belum tampak. Mungkin Sungai Musi dan Jembatan Ampera yang menyaksikan kita
dalam bisu.
Dering telepon
menyadarkanku dari lamunan.
”La.”, itu
suaramu.
”Hey, Gung. Sudah
sampai Surabaya? Cepat
sekali?”
”Kamu kapan
pulang?”, tanyamu.
Aku
bingung.”Pulang ke mana?”
”Ke rumahmu
donk.”, kamu tertawa dari jauh. Ah betapa aku merindukan tawamu itu.
”Memangnya ada
apa?”, jawabku.
”Aku menunggumu.”
”Di mana?”
”Di rumahmu.”
”Kamu nggak jadi
balik ke Surabaya?”
“Aku membelikan
satu tiket lagi untukmu. Kamu harus kuperkenalkan ke ayah ibuku.”
Aku tersenyum. Ah,
ya.. siapa bilang jingga dan mentari tak pernah bisa lama bersama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar