Minggu, 17 Juni 2012

Biru, jatuh hati


”Akhirnya sampai jugaa..”, aku setengah berteriak keluar dari dalam mobil.
”Heh, malam-malam berisik, udah yuk check in dulu.” , Idham menyodorkan koperku lalu masuk ke dalam lobi hotel.
Memang kesalahan kami berangkat saat sore adalah jadi tidak bisa menikmati senja di Pangandaran, tapi toh kami berencana menginap di sini agak lama, menghabiskan liburan sebelum berkutat lagi dengan kerjaan.

”Dengan Tuan Idham? 3 hari 3 malam, dua kamar, bukan?”, seorang resepsionis memamerkan senyumnya yang manis kepada Idham.
”Yup, benar. ”, Idham mengambil kunci yang diserahkan gadis itu.
”Kamar nomor 510 dan 418, silakan. Selamat berlibur.”
Aku membalas senyum ke resepsionis cantik itu, lalu berjalan di sebelah Idham sambil menggeret koperku yang menggembung.
”Eh, Dham. Aku kamar yang 510 aja, ya. Lebih tinggi daripada kamu.”, aku nyengir sambil masuk ke dalam lift yang kosong.
”Dih. Terserah deh. Nih. Awas ya, kalau tinggi-tinggi terus nggak berani lihat pemandangan, jangan salahin gue.”, ia menyodorkan kunci sambil menekan tombol lift.

Setelah sampai lantai 4, kami berpisah. ”Ingat, besok jam 5 gue tunggu di lobi. Kalau belum bangun, gue nggak ragu buat ninggalin kamu ya.”, Idham tertawa sambil mengancam. Aku memanyunkan bibirku, sebal. Memang aku termasuk orang-orang yang susah bangun pagi. Tapi demi Pangandaran dan liburan. Aku akan memasang alarm berkali-kali agar bangun tepat waktu.


Aku menyipitkan mataku silau dengan cahaya matahari yang menyusup tirai jendela. Kukucek-kucek mata lalu terlompat dari kasur karena ingat janjiku dengan Idham pagi ini.
Sial, jam dinding menunjukkan pukul 6.30, jelas-jelas aku telat. Aku buru-buru bersiap-siap lalu meraih tas kecilku yg berisi dompet dan ponsel. Setengah berlari aku menuju lift dan keluar ke Lobi.

Aku tahu, pasti aku sudah ditinggal ke pantai jadi aku memutuskan untuk bertanya kepada resepsionis bagaimana cara menyusul Idham di Pantai, bodo amat lah panas-panas begini. Toh teleponku sedari tadi tidak diangkatnya.

”Andrea!!”, suara Idham memanggilku.
Aku baru saja akan memelas minta maaf ketika melihat siapa yang berjalan di sebelahnya.
Itu Kamu, De. Setelah bertahun-tahun aku gagal menemukanmu, kali ini kamu datang di hadapanku.

”Hai Re. Apa kabar?”, kamu mengulurkan tangan.
Aku tersenyum kaku.”Baik.”
Diam-diam aku memasang tatapan kejam ke arah Idham. Buat apa membawa kamu kepadaku?
”Heh, nggak usah sok kejem gitu deh. Kamu kan yang tadi nggak datang ke lobi? Sukurin aku tinggal.”
Aku nyengir meminta maaf.
”Eh, aku permisi dulu ya. Ada janji dengan klien. Dham, nanti jadi kan?”, Katamu.
”Sip. Jadi donk, Dewa.

Aku memandang punggungmu yang menjauh.
”Hush. Ngelamun. Kangen Dewa ya?”, goda Idham.
”Ih, siapa yang kangen dia. Udah ah, aku mau sarapan, kamu ikut nggak?”, tanyaku melenggang ke restoran hotel.
”Entar deh gue nyusul. Mau mandi dulu.”
Aku berjalan sendiri sambil memikirkan kamu, Dewa. Lima tahun kamu meninggalkanku tanpa kabar tanpa kejelasan tentang hubungan kita. Keluargamu bilang kamu ke Batam, teman-temanmu bilang kamu ke Surabaya. Sementara aku di Bandung capek menanti kepulanganmu. Sampai sekarang jangan salahkan aku jika masih merindukanmu.


Nanti sore jam 5 kita jalan-jalan di Pantai ya Re, awas kalau sampai telat. Ketemuan di sana aja. Aku males nungguin kamu lama-lama. Kali ini kamu harus datang liat sunset. Percuma donk jauh-jauh ke sini kalau kamu Cuma tidur mulu.



Aku masih ingat pesan Idham siang tadi sebelum kembali ke kamar. Maka di sinilah aku, masih jam 4 sore tapi sudah tiba di tepi Pantai Pangandaran yang terkenal keelokannya. Sebuah topi membantuku mencegah silau sinar matahari. Tadinya kupikir sebelum sunset, pantai ini akan sepi sekali. Tapi ternyata ada beberapa orang yang meramaikan pesisirnya. Anak-anak kecil bermain layang-layang, beberapa lainnya membangun istana pasir, juga ada para remaja yang sedang menikmati kesejukan Laut yang kali ini Ombaknya tidak terlalu ganas.

”Rea.”, suaramu mengagetkanku.
”Eh, Dewa. Kamu tumben di sini? Eh, maksudku kamu kok ada di sini.”, aku salah tingkah.
”Nggak, tadi daripada bosen di kamar, jadinya aku memilih jalan-jalan saja di sini. Ternyata ketemu kamu. Kita jalan-jalan yuk.”, ajakmu.
”Oh. Oke.”
Kita berjalan di pasir Pangandaran yang kelabu sambil bercerita masa lalu. Ah, siapa sangka bahwa berjalan sebentar bersamamu menguatkan perasaan bahwa aku memang masih mencintaimu?

Hampir satu jam lebih kita berjalan, senja belum juga datang bahkan aku lupa janjiku dengan Idham.

”Re, aku mau memberitahumu sesuatu.”, katamu.
“Eh, ada apa?.”
”Aku mau memberikanmu ini. Acaranya masih sebulan lagi, semoga kamu masih bisa datang. Eh aku permisi dulu ya, sampaikan salamku juga untuk Idham.”

Aku membuka amplop merah muda itu dengan sukacita. Mungkinkah itu surat cinta?
Ah, sial rupanya bukan. Itu malah berupa undangan pernikahan.

Menikah, Dewa Ginanjar Putra dengan Arum Dewi Permadi

Hanya itu yang bisa aku baca, karena kemudian aku sudah menangis tergugu di pinggir pantai Pangandaran. Langit masih biru, tapi sungguh menyebalkan ketika hati kita berubah menjadi kelabu.

”Re. Kamu kenapa? Tenang donk, eh jangan nangis begitu. Kenapa sih?”, Idham yang entah datang dari mana tiba-tiba merengkuhku dalam peluknya.
”Lupakan Dewa, Re. Kamu tahu, kamu masih punya aku. Aku yang mencintaimu.”

Aku berhenti menangis mendengar pernyataan itu. Benarkah? Idham yang selama ini sahabatku ternyata mencintaiku?
Senyum Idham menular padaku, aku tertawa memeluknya erat. Di tempat ini aku patah hati, namun biru telah melekatkannya kembali.



#15HariNgeblogFF2 Hari ke 7 : Biru, jatuh hati


3 komentar: