“Selamat datang di Air Terjun Tawangmangu.”,
kamu berlagak bak pemandu wisata merentangkan tangan di depan pintu masuk Air
Terjun. Terang saja dengan mimik wajahmu yang lucu, aku dan rombongan kelas
Organik tertawa terbahak-bahak.
”Untuk tiket, biar
saya yang urus, kalian tunggu saja di sini, Ya.
Din, bantu saya yuk.”, kamu mengajakku ikut ke loket.
Perjalanan ini
sebenarnya karya wisata yang ditujukan bagi anak-anak di kelas Kimia Organik.
Setelah tadi berkunjung di Balai Penelitian Tanaman Obat selama 4 jam, selepas
dzuhur kami serombongan sepakat untuk meneruskan perjalanan lebih naik ke atas,
yaitu ke Air Terjun Tawangmangu yang terkenal.
”Din, ye.. kok
ngelamun?”, kamu menaik turunkan telapak tanganmu di depan wajahku. Aku hanya
bisa nyengir, ”Udah dibayar?”, tanyaku.
”Udah. Yuk kita ke
rombongan. Anak-anak pasti
sudah menunggu.”
Kemudian kamu
membagi-bagikan tiket untuk 25 orang mahasiswa yang ikut.
”Karena kalian
sudah dewasa, saya yakin kalian bisa berhati-hati dan jaga diri dengan baik. Karena itu saya akan membebaskan kalian
hendak ngapain aja di Kawasan Air Terjun ini. Tapi ingat, kalian harus menaati
peraturan yang ada, kita kumpul di dekat air terjun jam 4 ya. Setelah itu kita
bersiap-siap pulang.”, setelah kamu selesai berbicara, anak-anak itu sudah
turun satu demi satu meniti tangga ke Air Terjun.
”Oh ya.. hati-hati terhadap monyet liar ya..”,
teriakmu.
Aku tertawa
melihat reaksi anak-anak perempuan yang memandang ngeri dan ragu-ragu turun ke
bawah.
”Nggak apa-apa,
asal kalian tidak mengeluarkan makanan atau menjinjing kantung plastik. Jalan
saja dan jangan dekat-dekat tepian tangga. ”, kataku menenangkan mereka.
Akhirnya setelah
saling berpegangan tangan, mereka turun juga ke Air Terjun.
”Yuk ah, kita ikut
turun. ”, ajakku sambil menoleh ke arahmu. Tapi aku tidak menemukanmu padahal
tadi kamu jelas-jelas berdiri di sebelahku.
”Er.. Eri..”, aku
berjalan mencarimu, ragu apakah aku turun menuju air terjun atau mencarimu di
sela keramaian orang di atas sini.
”Hei, Din. Nyari
aku ya?”
”Kamu ke mana
sih?”
”Beli bunga.”
”Bunga?”
”Iya.”
”Untuk apa?”
”Untuk gadis yang
akan aku lamar hari ini.”
”Ah.. kamu jahat,
kenapa kamu nggak cerita sama aku kalau mau melamar Intan hari ini?”, kataku
memasang muka kecut.
”Hahaha. Lihat
saja nanti.”, dari wajahmu aku tahu kamu bahagia.
Jadi begini,
seluruh jurusan Kimia tahu bahwa Eri, sahabatku yang juga dosen ini punya
kedekatan khusus dengan Intan, mahasiswa tingkat enam yang kali ini juga ikut
dalam karya wisata. Menurut kabar yang beredar, mereka berpacaran, sedang kalau
aku bertanya langsung kepada Eri, ia akan nyengar-nyengir tanpa menjelaskan
apapun. Ketua jurusan sempat memanggil Eri, tapi entah klarifikasi apa atau
kebohongan apa yang dikatakannya tapi semenjak itu Kajur tidak pernah membahas
masalah itu lagi.
Tapi yang tidak
pernah kuceritakan padamu adalah bahwa aku diam-diam menyukaimu. Bagaimana
tidak, sejak kuliah kita sudah bersahabat, apalagi kita diterima kerja di
universitas dan jurusan yang sama. Benarlah kalau ada yang bilang cinta itu ada
karena terbiasa. Terbiasa bersama-sama, terbiasa berbagi bahagia, berbagi luka.
Aku berjalan turun
di belakangmu menuju arah air terjun. Melirik iri pasangan muda-mudi yang
bergandengan tangan mesra entah yang naik atau menuruni tangga sepertiku. Sial.
Tak bisa kupungkiri betapa aku mulai tidak nyaman dengan keramaian di tempat
ini. Meski udaranya segar dan sejuk, tapi riuh suara orang-orang membuatku
kecewa.
”Makan sate
kelinci yuk.”,ajakmu. Aku mengangguk, menurut. Aku sudah ingin pulang, pikirku.
Wahai waktu kumohon berputarlah dengan cepat. Biar kamu cepat melamar Intan,
biar aku cepat pulang, mengadu nasibku pada bantal-bantal di kamar.
Jam 15.45
anak-anak sudah lengap berkumpul di dekat air terjun. Baru saat itu aku
merasakan betapa indah sebenarnya tempat ini.Kejenuhanku sedari tadi hilang
entah ke mana, tepiasan air serta deru air yang jatuh menerpa bebatuan
membuatku terkesima. Kalau tadi aku memilih cepat pulang, ssaat ini aku malah
ingin berlama-lama di tempat ini.
Ah, aku cemburu
pada Intan, kalau saja aku boleh berteriak. Dia beruntung sekali bukan, dilamar di tempat
seromantis ini?
”Baik semuanya,
saya akan mengumumkan satu hal penting.”, keramaian anak-anak mulai mereda.
”Hari ini saya
akan melamar seorang gadis yang penting bagi saya.”
”Cie..cie..
Suit..Suitt..”, sorak-sorai membahana. Beberapa anak melirik ke arah Intan,
termasuk aku. Tapi kemudian aku membuang muka, aku tak sanggup menyaksikan
cowok yang aku suka melamar orang lain. Apalagi orang lain itu muridku sendiri.
”Din, maukah kamu
menikah denganku?”, kamu menyodorkan seikat bunga serta memperlihatkan sebuah
cincin dan tempatnya.
Aku tergagap,
refleks menoleh ke arah anak-anak mencari sosok Intan. Apa-apaan ini, bukankah
seharsnya Intan yang kamu lamar, pikirku. Aku ingin meneriakkannya tapi lidahku
kelu.
”Tenang Bu, eh,
Mbak Dini. Saya dan Mas Eri
nggak pacaran kok. Sungguh. Mas Eri ini keponakannya Papa, jadi bisa dibilang
dia saudara jauhku. Semua gosip yang timbul di sekolah, hanya murni gosip
belaka.”, Intan muncul di belakangmu. Aku bahkan masih melihat beberapa anak
perempuan terlihat shock dengan kejadian ini.
”Kamu yakin
memilihku?”
”Haha.. kita bertahun-tahun bersama, saling
mengenal dan bersahabat. Aku mencintaimu, Din. Hanya saja butuh waktu lama dan
tekad yang kuat untuk berani mengungkapkannya padamu. ”, katamu sambil
tersenyum.
”Aku.. Aku. Ah. Aku
tentu saja Mau.”, aku tertawa memelukmu.
Seperti yang bisa
kalian bayangkan, akhir perjalanan itu tentu saja indah. Tak peduli anak-anak
yang mengeluh kecapekan mendaki tangga, aku bersemangat 45 menaiki tangga untuk
pulang, terlebih sekarang ada tangan seseorang yang bisa kugenggam.