April 2009 seseorang menyebarkan SMS yang tidak jelas sumbernya. Isinya kira-kira, “Dikabarkan besok terjadi kondisi di mana jarak matahari-bumi semakin dekat. Kemungkinan besar radiasinya dapat merusak kulit, terjadi antara jam 8 – 16. Jangan pakai pakaian hitam, sebab penyerapan energi matahari dapat merusak kulit hanya dalam 5 menit.”
April 2010 tersebar lagi SMS serupa bunyinya (dengan berbagai versi sumbernya): ”Empat hari ke depan jangan pakai baju hitam karena matahari sedang mencapai titik terdekat dengan Bumi. Seluruh wilayah bumi mengalami kenaikan suhu 4 derajat. Berpeluang menyebabkan kanker. Gunakan sunblock dan banyak minum air putih.”
Informasi tersebut jelas menyesatkan. Orbit bumi mengitari matahari yang sedikit lonjong menyebabkan bumi mendekat dan menjauh dari matahari secara teratur. Jarak terdekat bumi – matahari (disebut perhelion pada jarak147 juta km) terjadi setiap awal Januari. Dan jarak terjauhnya (disebut aphelion pada jarak 152 juta km) terjadi setiap awal Juli. Jadi, bulan April tidak ada fenomena jarak bumi-matahari makin dekat. Dengan demikian informasi lainnya juga tidak benar. Kalau pun bumi berada pada jarak terdekat dengan matahari, radiasinya tidak signifikan variasinya. Jadi tidak ada dampak apa pun.
Mungkin ada yang mengaitkan dengan perasaan lebih panas sekitar Maret-April. Fenomena lebih panasnya suhu udara di sebagian besar kota di Indonesia pada Maret-April, tidak terkait dengan jarak bumi – matahari. Data suhu rata-rata di beberapa kota memang menunjukkan dua puncak sekitar Maret-April dan juga September-Oktober. Hal itu terjadi karena faktor peralihan angin pada musim pancaroba. Di Indonesia angin Monsun Australia (Juni-Juli-Agustus) yang kering membawa udara dingin dari arah Selatan yang sedang musim dingin, sehingga cenderung saat kemarau relatif lebih sejuk.
Demikian juga saat angin Monsun Asia (Desember-Januari-Februari) yang basah membawa udara dingin dari arah Utara yang sedang musim dingin, sehingga musim hujan juga relatif dingin. Saat musim peralihan (Maret-April-Mei dan September-Oktober-November) angin cenderung lemah (kecuali angin lokal saat terjadi puting beliung) dan bersifat lokal, sehingga tidak ada efek pendinginan. Radiasi panas (inframerah) dari permukaan yang terpanasi relatif tidak tersebar. Efek pulau panas perkotaan makin terasa pada musim peralihan ini.
Masyarakat merasakan bulan April ini sangat panas. Apa yang terjadi? Fenomena itu dapat dijelaskan sebagai efek gabungan kondisi musiman, kondisi regional, dan dampak perubahan iklim lokal.
Pertama, kondisi musiman adalah musim pancaroba, peralihan arah angin di wilayah Indonesia. Pada saat matahari berada di belahan selatan (Desember – Februari), musim panas di belahan selatan (bertekanan rendah) dan musim dingin di belahan utara (bertekanan tinggi) menyebabkan angin bertiup dari belahan utara ke selatan. Angin bertiup dari arah Timur Laut dari Pasifik membawa uap air, mengarah ke Selatan – Tenggara menyebabkan musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.
Selain itu, angin dari belahan utara yang sedang musim dingin juga memberi efek pendinginan di Indonesia. Lalu Maret – Mei matahari beralih ke utara. Pola pemanasan berubah. Wilayah paling panas ada di sekitar khatulistiwa, di Indonesia. Angin cenderung berputar di sekitar wiliayah Indonesia. Tidak ada efek pendinginan dari wilayah lain. Ini berdampak bulan Maret-April menjadi bulan terpanas.
Mengapa bukan saat kemarau (Juni – Agustus) yang menjadi bulan terpanas? Pada saat itu matahari ada di belahan utara. Belahan utara panas bertekanan rendah, belahan selatan dingin bertekanan tinggi. Maka angin bertiup dari belahan selatan ke utara. Angin bertiup dari arah Tenggara dari Australia yang kering, menuju Utara – Timur Laut menyebabkan musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia.
Tetapi dari segi suhu udara, angin dari belahan selatan yang musim dingin cenderung memberi efek pendinginan. Kadang pada musim kemarau kita merasakan angin yang dingin. Walau tidak sepanas Maret-April, nanti saat pancaroba dari kemarau ke penghujan September – Oktober juga menjadi bulan yang panas melebih saat kemarau.
Kedua, kondisi regional juga harus diperhatikan yang kadang memberi efek penguatan. Saat awal April 2010 ada efek gabungan El Nino di Pasifik, Dipole Mode di Lautan Hindia, dan siklus periodik MJO (Madden-Julian Oscillation) aktif yang bersifat menekan pembentukan awan di wilayah Indonesia. Efek gabungan itu cenderung mengurangi liputan awan di wilayah Indonesia. Akibatnya pada siang hari kita merasakan panas yang sangat terik.
Ketiga, dampak perubahan iklim lokal. Perubahan tataguna lahan dan aktivitas manusia sangat berdampak pada pemanasan kota. Ketika pepohonan banyak ditebang berubah menjadi bangunan dan pelataran berlapis semen atau aspal, maka permukaan bumi menyerap panas lebih efektif. Panas tersebut dipancar lagi ke atas sebagai gelombang panas inframerah. Sebagai fenomena sesaat, kita bisa merasakan perbedaan panas di wilayah yang masih banyak pohonnya dan wilayah yang tanpa atau sedikit pohonnya.
Pemanasan itu bukan hanya sesaat, ada proses lanjutannya. Panas itu tersimpan. Sebenarnya pancaran gelombang panas itu bermanfaat menghangatkan bumi saat matahari sudah terbenam. Tetapi karena bertambahnya gas karbondioksida (CO2) di udara perkotaan akibat kendaraan bermotor dan industri serta aktivitas manusia lainnya, maka lebih banyak panas yang ditahan. Karbon dioksida memang bersifat menyerap inframerah yang berarti menahan panas. Akibatnya kota semakin panas dan semakin berkurang tingkat kenyamanannya. Perubahan lokal di perkotaan ini lebih terasa daripada pemanasan global yang sifatnya gradual. Pemanasan global sedikit demi sedikit yang terasa dampaknya baru dalam puluhan – ratusan tahun. Sedangkan pemanasan kota terasa dari tahun ke tahun. Misalnya, awal tahun 1980-an kota Bandung pada pagi hari masih terasa sejuk, tetapi tahun 2000-an kita merasakan kota Bandung tidak sesejuk dulu.
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/23/pancaroba-paling-panas-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar