Rabu, 08 Februari 2012

Cookies


“Nama saya Andrea Darmawan. Panggil saja Rea.”, aku memperkenalkan diri di depan kelas.

“Baik, Rea, silakan duduk di sebelah Nuril. Pelajaran akan segera kita mulai.”, Bu Anita guru kelasku menunjuk ke sebuah kursi kosong di sebelah seorang gadis berkacamata yang duduk di baris kedua dari depan.

Aku melangkah di sela kursi dan terjatuh. Seseorang menjegal kakiku. Seisi kelas tertawa keras.

“Re, kamu nggak apa?”, kata Bu Anita.

“Nggak Bu, saya… saya keserimpet tali sepatu.”

“Oh, kalau begitu hati-hati.”

Aku menoleh ke arah anak yang kakinya terjulur ke arahku tadi. Seorang anak lelaki dengan tampang menyebalkan dengan senyum sinis di mukanya. Oh, bagus, hari pertama sekolah dan aku sudah punya musuh.


Ketika bel istirahat akhirnya berbunyi, aku memilih berada di kelas daripada makan di kantin. Teman sebelahku, Nuril, rupanya membawa bekal juga sepertiku.

“Kamu bawa apa?”, kataku.

“Aku bawa mie goreng. Tadi aku yang buat sendiri.”, Nuril memamerkan bekalnya sambil tersenyum bangga.

“Wah, pasti enak.”, aku tersenyum.

“Kamu sendiri bawa apa, Re?”

“Aku bawa Choco chips cookies. Mau?”


Itu awal persahabatanku dengan Nuril, dia teman yang baik dan perhatian. Selain kami sering belajar bersama, kami juga mulai sering bertukar bekal makan. Nuril punya hobi sama seperti Ibunya, jadi kalau bawa bekal pasti menunya variatif dan menggoda perut sampai keroncongan. Sedangkan aku? Aku lebih sering membawa cookies ringan yang biasa dibeli tiap akhir minggu bersama Ayah, meski tetap aku memilih variasi rasa dan topping di atasnya.

***

“Eh, Re, kamu tau nggak kalau Ibunya Tyo kemarin meninggal dunia?”, pertanyaan Nuril mengejutkanku di sutu hari setelah aku menanyakan kenapa sudah dua minggu ini Tyo nggak masuk sekolah.

Sejak tragedi kesandung di awal masuk kelas, aku memilih menghindari percakapan apapun dengan anak lelaki menyebalkan itu. Namanya Tyo, sebenarnya muka dia ganteng sih, tapi sikapnya yang menyebalkan dan suka menggoda anak perempuan membuat Tyo terkenal sebagai biang kerok masalah di sekolah.

“Tyo? Ibunya.. meninggal?”, aku kaget.

“Iya, habis kelas selesai nanti teman-teman akan ta’ziah ke rumahnya. Kamu ikut?”

“Ikut.”, aku mengiyakan ajakan Nuril.


Meninggalnya Ibu Tyo menjadikan anak itu berubah 180 derajat. Ia yang tadinya paling cerewet dan usil di kelas sekarang menjadi pendiam dan lebih banyak melamun. Teman-teman juga tak banyak yang berani mengajak anak lelaki itu mengobrol atau berbicara. Kebanyakan yang mencoba akan selalu diabaikan Tyo, para guru juga sepertinya tidak ada yang mau mendekati anak itu. Sedangkan aku? Aku penasaran sih, tapi mungkin butuh waktu yang tepat untuk mengajaknya bicara, selain itu aku tidak pernah mengobrol sama Tyo, bagaimana caranya aku memulai percakapan?

***

Suatu siang sebelum tambahan pelajaran dimulai, aku dan Nuril baru akan menyantap bekal makanan ketika kami melihat Tyo duduk sendirian di depan kelas. Sudah 3 bulan sejak kematian Ibunya dan Tyo masih pendiam, bahkan nilai ulangannya juga mulai jeblok. Setelah saling lirik sama Nuril, aku memutuskan untuk duduk menghampiri Tyo.

“Hai, Tyo.”

“Hmm.”

“Kamu nggak makan?”

“Nggak.”

“Kamu nggak lapar?”

“Nggak.”

Sial, aku dicuekin, batinku sambil menggerutu.

“Yo.”

“Apa.”

“Waktu ibuku meninggal, aku nggak tau bahwa duniaku ternyata berubah semuanya.”

“Ibumu.. udah meninggal?”, kata Tyo.

“Yup. Waktu aku kelas 2 SD.”

“Wow, kamu masih kecil banget.”

Aku tersenyum, “ Adikku malah baru berumur setahun.”

“Terus kapan kamu sadar kalau hidupmu berubah?”

“Ketika aku kelas 5 SD, aku suka dengan teman sekelasku. Biasanya kalau aku punya rahasia, aku bakal cerita ke Mama. Tapi saat itu aku sadar, aku nggak punya siapa-siapa untuk diajak menyimpan rahasia.”

“Ayahmu?”

“Papa terlalu sibuk dengan kerjaannya. Mama baruku juga bukan tipe Mama yang bisa aku ajak curhat.”

“Ayahmu nikah lagi?”

“Yup. 2 tahun setelah kematian Mama.”


Hening sejenak, aku membuka bekal cookiesku, kali ini aku bawa vanilla cookies.

“Kamu mau?”, aku menyodorkan cookies ke Tyo.

“Makasih.”, Ajaib! Ia mengambil dan mengunyahnya.

“Aku perhatiin, kamu sering bawa cookies kalau sekolah.”, Tyo memandangiku.

“Kamu perhatian banget, sampe tau bekal makanku.”, aku tertawa sambil menepuk lengannya.

Tyo ikut tertawa, ah sudah lama aku tak mendengar tawanya.

“Iya, ini makanan kesukaan Mama dulu.”

“Jadi kamu bawa bekal cookies buat mengenang Ibumu?”

“Kurang lebih seperti itu. Aku rasa meski Mama udah nggak deket aku, tapi aku masih bisa mengenang dia. Salah satunya dengan cookies ini“.


“Kamu pernah kangen Ibumu?”

“Sering. Tapi mau gimana lagi, aku kan masih harus sekolah, hidupku nggak mungkin berhenti di baying-bayang meninggalnya Mama melulu. Impianku sih membanggakan Mama meski dia udah nggak ada.”

“Gitu ya?”

“Iya. Eh Yo. Kamu mau nggak besok belajar bareng ama aku dan Nuril. “

“Belajar bareng?”

“Iya. Eh jangan marah, aku Cuma ngajak kalau kamu nggak mau ya nggak apa-apa kok.”


Tyo terlihat berpikir sebentar sebelum menganggukkan kepalanya. ”Oke, besok jam?”

“Jam setengah 4 sore di rumahnya Nuril. Kamu tahu rumahnya kan?”

“Tahu kok.”

“Oke, kami tunggu ya.”

Kami tersenyum bersama sambil menunggu bel masuk berbunyi.


“Ehem. Ehem..”, Nuril mengagetkanku dan Tyo.

“Eh iya, lupa kalo ada orang lain di kelas ini.” Aku tertawa sambil melirik Nuril.

Sebuah spidol dilemparkan ke arahku, “Oh, jadi gitu ya, aku dilupakan.”, Nuril memasang muka merengutnya yang khas.

Tyo yang melihat kelakuan kami seketika tertawa, menjadikan aku dan Nuril saling tersenyum sambil mengedipkan mata. Terkadang yang dibutuhkan seseorang yang sedang berduka hanyalah sebuah perhatian dan bekal cookies untuk dinikmati bersama.


(gambar cookies di atas diambil dari http://us.123rf.com/)

1 komentar:

  1. mau saya cookiesnya :D
    pas lagi laper niy hehehe

    aku blom nulis FF lagi huaaa ...

    BalasHapus