Sabtu, 25 Februari 2012
Awas, apa Anda Anemia, Bund?
Rabu, 15 Februari 2012
Rumahku Itu Kamu
Rabu, 08 Februari 2012
Cookies
“Nama saya Andrea Darmawan. Panggil saja Rea.”, aku memperkenalkan diri di depan kelas.
“Baik, Rea, silakan duduk di sebelah Nuril. Pelajaran akan segera kita mulai.”, Bu Anita guru kelasku menunjuk ke sebuah kursi kosong di sebelah seorang gadis berkacamata yang duduk di baris kedua dari depan.
Aku melangkah di sela kursi dan terjatuh. Seseorang menjegal kakiku. Seisi kelas tertawa keras.
“Re, kamu nggak apa?”, kata Bu Anita.
“Nggak Bu, saya… saya keserimpet tali sepatu.”
“Oh, kalau begitu hati-hati.”
Aku menoleh ke arah anak yang kakinya terjulur ke arahku tadi. Seorang anak lelaki dengan tampang menyebalkan dengan senyum sinis di mukanya. Oh, bagus, hari pertama sekolah dan aku sudah punya musuh.
Ketika bel istirahat akhirnya berbunyi, aku memilih berada di kelas daripada makan di kantin. Teman sebelahku, Nuril, rupanya membawa bekal juga sepertiku.
“Kamu bawa apa?”, kataku.
“Aku bawa mie goreng. Tadi aku yang buat sendiri.”, Nuril memamerkan bekalnya sambil tersenyum bangga.
“Wah, pasti enak.”, aku tersenyum.
“Kamu sendiri bawa apa, Re?”
“Aku bawa Choco chips cookies. Mau?”
Itu awal persahabatanku dengan Nuril, dia teman yang baik dan perhatian. Selain kami sering belajar bersama, kami juga mulai sering bertukar bekal makan. Nuril punya hobi sama seperti Ibunya, jadi kalau bawa bekal pasti menunya variatif dan menggoda perut sampai keroncongan. Sedangkan aku? Aku lebih sering membawa cookies ringan yang biasa dibeli tiap akhir minggu bersama Ayah, meski tetap aku memilih variasi rasa dan topping di atasnya.
***
“Eh, Re, kamu tau nggak kalau Ibunya Tyo kemarin meninggal dunia?”, pertanyaan Nuril mengejutkanku di sutu hari setelah aku menanyakan kenapa sudah dua minggu ini Tyo nggak masuk sekolah.
Sejak tragedi kesandung di awal masuk kelas, aku memilih menghindari percakapan apapun dengan anak lelaki menyebalkan itu. Namanya Tyo, sebenarnya muka dia ganteng sih, tapi sikapnya yang menyebalkan dan suka menggoda anak perempuan membuat Tyo terkenal sebagai biang kerok masalah di sekolah.
“Tyo? Ibunya.. meninggal?”, aku kaget.
“Iya, habis kelas selesai nanti teman-teman akan ta’ziah ke rumahnya. Kamu ikut?”
“Ikut.”, aku mengiyakan ajakan Nuril.
Meninggalnya Ibu Tyo menjadikan anak itu berubah 180 derajat. Ia yang tadinya paling cerewet dan usil di kelas sekarang menjadi pendiam dan lebih banyak melamun. Teman-teman juga tak banyak yang berani mengajak anak lelaki itu mengobrol atau berbicara. Kebanyakan yang mencoba akan selalu diabaikan Tyo, para guru juga sepertinya tidak ada yang mau mendekati anak itu. Sedangkan aku? Aku penasaran sih, tapi mungkin butuh waktu yang tepat untuk mengajaknya bicara, selain itu aku tidak pernah mengobrol sama Tyo, bagaimana caranya aku memulai percakapan?
***
Suatu siang sebelum tambahan pelajaran dimulai, aku dan Nuril baru akan menyantap bekal makanan ketika kami melihat Tyo duduk sendirian di depan kelas. Sudah 3 bulan sejak kematian Ibunya dan Tyo masih pendiam, bahkan nilai ulangannya juga mulai jeblok. Setelah saling lirik sama Nuril, aku memutuskan untuk duduk menghampiri Tyo.
“Hai, Tyo.”
“Hmm.”
“Kamu nggak makan?”
“Nggak.”
“Kamu nggak lapar?”
“Nggak.”
Sial, aku dicuekin, batinku sambil menggerutu.
“Yo.”
“Apa.”
“Waktu ibuku meninggal, aku nggak tau bahwa duniaku ternyata berubah semuanya.”
“Ibumu.. udah meninggal?”, kata Tyo.
“Yup. Waktu aku kelas 2 SD.”
“Wow, kamu masih kecil banget.”
Aku tersenyum, “ Adikku malah baru berumur setahun.”
“Terus kapan kamu sadar kalau hidupmu berubah?”
“Ketika aku kelas 5 SD, aku suka dengan teman sekelasku. Biasanya kalau aku punya rahasia, aku bakal cerita ke Mama. Tapi saat itu aku sadar, aku nggak punya siapa-siapa untuk diajak menyimpan rahasia.”
“Ayahmu?”
“Papa terlalu sibuk dengan kerjaannya. Mama baruku juga bukan tipe Mama yang bisa aku ajak curhat.”
“Ayahmu nikah lagi?”
“Yup. 2 tahun setelah kematian Mama.”
Hening sejenak, aku membuka bekal cookiesku, kali ini aku bawa vanilla cookies.
“Kamu mau?”, aku menyodorkan cookies ke Tyo.
“Makasih.”, Ajaib! Ia mengambil dan mengunyahnya.
“Aku perhatiin, kamu sering bawa cookies kalau sekolah.”, Tyo memandangiku.
“Kamu perhatian banget, sampe tau bekal makanku.”, aku tertawa sambil menepuk lengannya.
Tyo ikut tertawa, ah sudah lama aku tak mendengar tawanya.
“Iya, ini makanan kesukaan Mama dulu.”
“Jadi kamu bawa bekal cookies buat mengenang Ibumu?”
“Kurang lebih seperti itu. Aku rasa meski Mama udah nggak deket aku, tapi aku masih bisa mengenang dia. Salah satunya dengan cookies ini“.
“Kamu pernah kangen Ibumu?”
“Sering. Tapi mau gimana lagi, aku kan masih harus sekolah, hidupku nggak mungkin berhenti di baying-bayang meninggalnya Mama melulu. Impianku sih membanggakan Mama meski dia udah nggak ada.”
“Gitu ya?”
“Iya. Eh Yo. Kamu mau nggak besok belajar bareng ama aku dan Nuril. “
“Belajar bareng?”
“Iya. Eh jangan marah, aku Cuma ngajak kalau kamu nggak mau ya nggak apa-apa kok.”
Tyo terlihat berpikir sebentar sebelum menganggukkan kepalanya. ”Oke, besok jam?”
“Jam setengah 4 sore di rumahnya Nuril. Kamu tahu rumahnya kan?”
“Tahu kok.”
“Oke, kami tunggu ya.”
Kami tersenyum bersama sambil menunggu bel masuk berbunyi.
“Ehem. Ehem..”, Nuril mengagetkanku dan Tyo.
“Eh iya, lupa kalo ada orang lain di kelas ini.” Aku tertawa sambil melirik Nuril.
Sebuah spidol dilemparkan ke arahku, “Oh, jadi gitu ya, aku dilupakan.”, Nuril memasang muka merengutnya yang khas.
Tyo yang melihat kelakuan kami seketika tertawa, menjadikan aku dan Nuril saling tersenyum sambil mengedipkan mata. Terkadang yang dibutuhkan seseorang yang sedang berduka hanyalah sebuah perhatian dan bekal cookies untuk dinikmati bersama.
(gambar cookies di atas diambil dari http://us.123rf.com/)
Jumat, 03 Februari 2012
Secangkir Kopi, dan bayangmu
“Kenapa sih kamu suka black coffee?”
“Emangnya nggak boleh?”
“Kamu kan cewek, biasanya yang minum black coffee kan cowok.”
“Dih, asal nge-judge. Suka-suka aku donk.”
***
Aku masih ingat pertemuan kita di café itu. Secangkir black coffee menjadi alasanmu menyapaku yang sedang duduk sendiri di meja dekat kasir. Kita baru berkenalan, tapi rasanya seperti sudah pernah lama bertemu.
“Eh, aku belum tahu siapa namamu.”
“Aku Delia. Pangggil aja Lia.”, aku mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman.
“Aku Cakra ”, kamu menjabat tanganku erat.
Semenjak itu kita sering bertemu di café, terlebih setelah jam pulang kantor. Kadang kita pergi ke bioskop, ke toko buku, tapi setelah itu pasti mampir lagi ke café ini. Memesan dua cangkir black coffee sambil tertawa menikmati sisa hari. Memandangi kemacetan lalu lintas ibukota yang tampak dari balik jendela, atau gemerlapan lampu Jakarta yang memesona saat malam tiba.
***
Hari ini, sudah 6 bulan lebih kita dekat, rasanya tak bisa dipungkiri lagi bahwa aku mulai mencintaimu. Segala sinyal sudah aku tampakkan agar kamu segera menyatakan bahwa kamu juga mencintaiku. Sudah aku tanyakan berkali-kali apakah kamu punya pacar, dan betapa senangnya aku waktu tahu kamu bilang kamu belum punya! Sesekali aku curi pandang ke arahmu lalu kamu melempar senyum manismu padaku. Oh ya ampun, kalau kamu juga suka aku, kenapa nggak bilang saja? Bahkan pelayan di café ini mengira bahwa kita sebenarnya sudah resmi pacaran, ya.. padahal bukan. Ups, belum maksudku. Rencananya malam ini aku yang akan mengungkapkan perasaanku sama kamu, kita sudah sama-sama dewasa jadi aku rasa kalau kamu nggak mau “nembak” aku duluan, maka aku yang akan melakukannya.
Aku sedang menyesap black coffee kegemaranku ketika kamu duduk di kursi depanku. Wajahmu ceria dan senyummu benar-benar lebar. Nampaknya hari ini kamu sedang bahagia, baguslah, pikirku, aku akan dapat menyatakan perasaanku dengan mudah kalau begitu.
“Ca, aku mau ngomong sesuatu.”
“Eh, aku juga mau nyampein sesuatu, Li.”
“Kamu duluan?”
“Nggak, ladies first.”, kamu tertawa.
“Oke. Begini, kita kan udah deket selama lebih dari enam bulan ini.”
“Iya, terus?”
“Aku mau bilang kalau.. aku..”, aku bingung memilih kata-kata yang tepat.
“Aku sayang kamu, Ca. Gimana kalau kita jajaki hubungan kita lebih lanjut? Kamu mau nggak jadi pacarku?”, aku memandang matanya sambil berusaha menutupi betapa gugupnya aku.
Kamu terdiam, lama. Aku mulai punya perasaan nggak enak.
“Lia, aku… tadinya aku mau memberikan ini.”, ia menyerahkan sebuah amplop berwarna merah marun. Seketika dadaku terasa sesak, air mata mulai menggenang di pelupuk mataku.
“Maafkan aku, Lia. Aku nggak bermaksud membuatmu jatuh cinta padaku lalu aku meninggalkanmu begitu saja. Bagiku kamu hanya seorang sahabatku, tidak lebih.”
Aku mengusap airmata yang jatuh, lalu menatap wajahmu sambil memberikan senyum termanis yang bisa aku berikan saat itu.
“Nggak apa, Ca. Siapa wanita yang beruntung itu? Kamu harus mengenalkannya padaku.”
“Namanya Andrea. Pasti, kamu akan aku kenalkan sama dia, Li. Maaf, aku pergi dulu.”
Aku menatap punggungmu yang menghilang dari balik pintu café saat seorang pelayan membawakan secangkir black coffee yang tadi sempat kamu pesan. Sekarang aku termenung di meja ini, bersama secangkir kopi dan bayangmu yang menjauh pergi dari hidupku.
Jumlah kata : 500. (Yeay, 2 FF udah jadi XD)
Kamis, 02 Februari 2012
Ruang Hati
“Re… “. Suara itu mengagetkanku. Suara dari orang yang sudah hampir 3 bulan ini begitu aku rindukan. Aku yang sedang asyik memandangi jendela kamar langsung menoleh ke arahnya.
“Ndre, akhirnya kamu datang!”, aku menghampirinya, mengecup dahinya dan memeluknya dengan erat.
“Kamu kangen ya?”, dia menatap wajahku.
“Kamu sih nggak pernah kasih kabar. Aku kangen banget, Ndre.”, aku menggandengnya duduk di pinggir kasur.
“Tapi sekarang aku udah di sini kan. Kamu nggak kangen lagi, donk?”
“Nggak juga sih, sekarang waktunya kamu cerita. Kamu kemana aja berbulan-bulan ini? Kamu nggak tahu seberapa khawatirnya aku!”
Andreku masih sama seperti dulu, harum parfumnya, sentuhan tangannya, lembut kecupnya. Ah, tak ada yang beda dari kepergiannya dulu. Aku memandangi wajahnya sambil mendengarkan ia bercerita. Ah, dia adalah lelaki yang masih menguasai ruang hatiku.
“Re.. Lha, malah ngelamun..”, ia menggoyangkan tanganku.
“Eh, enggak. Aku seneng aja akhirnya ngeliat kamu Ndre. Kamu nggak tahu kan orang-orang bilang kamu udah pergi. Cuma aku yang berkeyakinan bahwa kamu suatu saat kembali lagi. Aku nggak mau kamu pergi, Ndre. Jangan tinggalin aku lagi.”, aku merasakan air mulai menggenang di pelupuk mata.
“Re, aku… aku minta maaf telah membuatmu lama menunggu. Aku sayang kamu, aku nggak akan tega ninggalin kamu, apalagi kamu selalu sedih begini gara-gara aku pergi.”
“Kalau begitu jangan tinggalin aku lagi, ya, Ndre. Please, jangan..”, aku mengusap bulir air mata yang jatuh.
Andre tersenyum, rasanya semua ini tak nyata, atau entahlah tapi aku masih bisa merasakan sentuhannya, kecupannya dan suaranya tadi. Bahkan kalaupun ini mimpi, aku memilih untuk tetap tertidur dan memimpikan Andre, selamanya. Aku memeluknya erat, lalu bersandar di bahunya yang bidang. Setelah hari ini, aku tahu semua akan kembali sama. Andre telah pulang!
“Re.. Rena… Mama ngajak kita jalan-jalan di taman. Kita keluar yuk.”, Mbak Arum, kakakku, mengajakku keluar kamar.
“Tunggu, Mbak, lihat, Andre sudah pulang. Dia boleh ikut aku ya, Mbak menemui Mama. Biar Mama tahu Andre kembali. Andre beneran pulang dan sekarang aku nggak akan mau pisah lagi sama dia.”, aku menggandeng jemari Andre yang dingin.
“Re.. Maksud kamu apa? Di mana Andre?”
“Ini, di sini, masa nggak ngelihat sih? Ini dia duduk di sebelahku..”, aku melirik dan tersenyum pada Andre.
“Kamu jangan bercanda, Re. Di kamar ini Cuma ada kamu dan aku! Nggak ada Andre! Andre sudah meninggal, Re. Bukankah kamu sendiri juga tahu, 3 bulan lalu pesawat yang ditumpanginya jatuh di Samudera Hindia …..”
Kata-kata Mbak Arum selanjutnya tidak aku dengarkan lagi. Dia pasti bohong, Andre di sini, dia masih tersenyum dan memandang lembut wajahku. Ia yang masih merajai ruang hatiku, tak akan pernah mudah menghapusnya pergi.
(Jumlah kata : 424) --> diikutkan untuk memenuhi Tantangan FFnya Inge :)