Kamu pernah ngga sih parkir dibantuin sama tukang parkir? Well terutama
buat pengendara mobil yang mau parkir paralel atau parkirannya di
pinggir jalan raya yang rame lalu lalang kendaraan besar. Dulu waktu
saya sering naik motor, jasa tukang parkir ini juga sangat berperan,
terutama dalam hal mengeluarkan motor dari jejeran parkir yang padat dan
sumpek, kelihatannya nggak bisa keluar tapi ternyata bisa aja gitu
keluar dengan gampang. Thanks to you, Mr Parkir.
Semenjak naik mobil (iya Alhamdulillah ada peningkatan), saya paling
bersyukur sama tukang parkir yang dengan cekatannya membantu kami kami
para wanita yang konon katanya sih memang selalu mengalami kesulitan
perihal parkir memarkir. Mungkin karena keterbatasan imajinasi kami
yah,jadi sering susah membayangkan ruang parkir yang tersedia.
Saya nggak bisa membayangkan betapa ruwetnya keadaan kalau tukang parkir
nggak ada, contohnya di depan sekolah Kakak yang rame lalu lalang
karena memang salah satu jalan besar utama. Sialnya, jalan ini sempit
banget, cuma bisa dilewatin 2x2 mobil berjejeran (dua arah). Karena itu
jasa tukang parkir benar benar berguna mengurai kemacetan jalan.
Kalau yang mau kerja kayak gini mah bayar dua ribu juga hayok aja, nah
kecuali yang ngga mau bantuin parkir, hih. Jangan harap kita mau bayar
yah. Situ aja ga mau kerja.
-Ditulis di dalam mobil sambil nunggu jam pulang sekolah-
Jumat, 31 Oktober 2014
Senin, 27 Oktober 2014
Hidup adalah soal keberanian
Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu
Ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup
- Soe Hok Gie -
Karena aku cinta pada keberanian hidup
- Soe Hok Gie -
Sejak pertama mengenal puisi ini, aku langsung jatuh cinta
pada rasa yang ditimbulkannya. Tidakkah kau juga? Rasanya damai, seakan
kita ada di puncak gunung.
Angin berhembus pelan, setiap hembusan nafasmu menjadi kepulan asap yang seketika hilang, jemarimu gemetaran menahan dingin yang mengiris tulang. Entah apakah aku merindukan gunung atau suasana di atasnya, kesunyian yang dihadirkannya, atau pemandangan menakjubkan yang dimilikinya. Membaca puisi Pangrango ini selalu membuat rasa rindu membuncah di dada, rindu nostalgia, mungkin?
Kira kira apa yang dirasakan Gie saat ia membuat puisi ini? Apakah ia sedemikian cinta dengan Pangrango? Dengan mandalawangi dan tumbuhan tumbuhan yang menaunginya? Apakah ia akan mengira bahwa suatu hari nanti yang tersisa darinya, puisi sederhana ini, akan terus dikenang sepanjang masa?
Aku belum pernah ke Mandalawangi, tetapi jika mengingat jurang, dingin dan sepi, mungkin Pangrango mirip dengan gunung yang pernah aku daki.
Mungkin jika aku mengenal puisi ini sebelum menapaki gunung sampai ke puncaknya, aku akan memandang perjalanan itu dulu dengan cara yang berbeda. Amat berbeda.
Angin berhembus pelan, setiap hembusan nafasmu menjadi kepulan asap yang seketika hilang, jemarimu gemetaran menahan dingin yang mengiris tulang. Entah apakah aku merindukan gunung atau suasana di atasnya, kesunyian yang dihadirkannya, atau pemandangan menakjubkan yang dimilikinya. Membaca puisi Pangrango ini selalu membuat rasa rindu membuncah di dada, rindu nostalgia, mungkin?
Kira kira apa yang dirasakan Gie saat ia membuat puisi ini? Apakah ia sedemikian cinta dengan Pangrango? Dengan mandalawangi dan tumbuhan tumbuhan yang menaunginya? Apakah ia akan mengira bahwa suatu hari nanti yang tersisa darinya, puisi sederhana ini, akan terus dikenang sepanjang masa?
Aku belum pernah ke Mandalawangi, tetapi jika mengingat jurang, dingin dan sepi, mungkin Pangrango mirip dengan gunung yang pernah aku daki.
Mungkin jika aku mengenal puisi ini sebelum menapaki gunung sampai ke puncaknya, aku akan memandang perjalanan itu dulu dengan cara yang berbeda. Amat berbeda.
Langganan:
Postingan (Atom)