Aku berkali kali memutar mutar
peta, sial, matahari sudah di ubun-ubun tapi aku masih belum menemukan Mahogani
Hills. Kenapa juga di tempat ini sinyal ponselku minim, mana sepi banget, ngga
ada orang yang sesekali lewat. Jalan raya ini panjang membentang dan hanya aku
sendiri berkendara bersama Si sepeda merah.
Mr. Justice Raffles, tetangga baruku yang nyentrik, berkata bahwa ada sebuah perpustakaan lengkap di Kota Mahogani Hills, pemiliknya seorang perempuan bernama Bokken. Untuk menuju ke Kota itu, katanya lagi, aku hanya perlu mengikuti jalan raya, nanti akan ada sebuah papan tanda selamat datang. Tapi setelah satu jam aku mengayuh dan betisku mulai terasa kaku, papan sialan itu belum juga terlihat.
Eh tunggu, lihat, ada sebuah mobil lewat. Aku membetulkan penyangga sepeda dan melambaikan tangan dari jauh. Ah, syukurlah mobil itu memperlambat lajunya!
"Halo, permisi..Saya mau ke Mahogani Hills, apa masih jauh ya?"
"Wah, masih jauh, Nona. Kamu dari kora sebelah?", kata Sang Wanita di belakang setir.
"Iya..", aku memasang muka memelas.
"Mungkin lebih baik aku kembali saja ke rumah,sepertinya lain kali aku harus naik mobil kalau ke sana. Sepeda merah ini membuat kakiku gempor.", aku menertawakan keadaanku sendiri.
Saat aku hendak mengambil sepedaku dan memutar balik, sang Pria turun dari mobil pick up tadi.
"Mari bareng kami saja,
sepedamu biar ditaruh di belakang mobil. "
Aku ragu, bagaimana kalau
ternyata mereka adalah psikopat psikopat seperti di film Criminal minds?
Tapi toh aku tidak punya siapa
siapa lagi, kalaupun aku mati juga tidak ada yang akan kehilangan dan
mencariku. Baiklah, kucoba saja ikut mereka.
"Tidakkah saya akan
merepotkan kalian?"
"Tidak, tentu saja
tidak.", Sang Wanita tersenyum ramah lalu mempersilakanku naik. Mereka
bertukar tempat, Si Pria dan Wanita, sehingga gantian Si Pria yang menyetir.
Aku duduk di tengah, bingung hendak memulai pembicaraan apa. Mataku menjelajahi dashboard, ada sebuah pajangan wanita hula yang bergoyang saat pick up berjalan, ada novel The Catcher in the Rye di pojok kiri, dan ada stiker bertuliskan huruf LP di tengah kemudi.
Aku duduk di tengah, bingung hendak memulai pembicaraan apa. Mataku menjelajahi dashboard, ada sebuah pajangan wanita hula yang bergoyang saat pick up berjalan, ada novel The Catcher in the Rye di pojok kiri, dan ada stiker bertuliskan huruf LP di tengah kemudi.
"Kami sampai lupa
memperkenalkan diri, Aku Liesl dan ini Po, kakakku.", Sang Wanita
mengajakku bersalaman.
"Oh, aku Nara.",
kujabat erat tangan Liesl lalu tersenyum kepada Po yang melirik ke arahku.
"Jadi stiker di setir itu LP maksudnya Liesl and Po, ya? Kukira Linkin Park.", aku tertawa.
"Jadi stiker di setir itu LP maksudnya Liesl and Po, ya? Kukira Linkin Park.", aku tertawa.
" Oh itu. Hahahha. Iya,
tapi bolehlah anggap saja stiker serba makna.",
"Jadi...kalian tinggal di
Mahogani Hills?"
"Tidak, kami ke sana atas
undangan seorang teman. Rosie, dia semacam Kartini nggak sampai Eropa, tapi
malah nyangkut di sebuah kota kecil itu. Kami ada janji menikmati Sunset
bersama Rosie. Sedangkan kau sendiri, tepatnya mau ke mana?"
"Perpustakaan. Kabarnya ada
perpustakaan lengkap di kota itu."
"Ah, Perpustakaan Ajaib
Bibi Bokken! Tentu saja semua orang tahu perpustakaan itu."
"Kalian tahu juga?"
"Iya, Rosie salah satu
pegawai di sana. Seperti kubilang, dia Kartini yang cinta sekali dengan buku,
sampai akhirnya ngga jadi berangkat ke Eropa malah jadi petugas perpustakaan di
sana."
Kami melanjutkan perjalanan sambil bercerita macam macam. Ternyata dua orang ini asyik diajak mengobrol, jauhnya jarak tidak terasa karena tahu tahu kami sampai di depan sebuah bangunan unik.
"Welcome to The Red Pyramid!",
kata Po sambil keluar dari mobil.
Aku bergegas menyusul Liesl yang
juga turun dan aku melongo memandang bangunannya.
"Lho kok bangunannya
berbentuk piramida?", tanyaku
"Yup, perpustakaan ini
memang unik dan ajaib. Yuk, masuk.", kata Liesl sambil menggandeng tanganku.
"Kalian kan ada janji dengan Rosie?"
"Kalian kan ada janji dengan Rosie?"
"Iya, Rosie lagi kebagian jaga perpus hari ini", Po
memamerkan cengiran tengilnya.
"Rosie, where are
youu?", teriak Liesl saat kami masuk ke dalam perpustakaan.
Ruangannya amat luas, meski
berbentuk piramida, ternyata dari dalam tidak terlihat bentuk limasnya. Mari
sedikit kugambarkan keadaannya..Begitu membuka pintu depan, ada lorong yang
mengantarkan kita ke pintu utama perpustakaan. Di sisi kanan setelah kita
membuka pintu itu, ada meja tinggi untuk petugas perpus. Di baliknya mungkin
ada komputer dan perkakas lainnya, tapi tak terlihat olehku. Kemudian kita
masuk ke pintu putar kecil, kau tahu, yang sering ada di supermarket itu,
tempat anak anak kadang memainkannya sebelum disemprot kemarahan ibu mereka.
Perpus ini ada dua lantai, lantai pertama penuh dengan lemari lemari tinggi yang menempel di dinding dindingnya membentuk huruf L. Bagian tengah adalah kumpulan meja kursi yang disusun seperti aula kantin sebuah sekolah. Lalu ada dua tangga, masing masing di sisi kanan dan kiri ruangan dan keduanya menuju lantai dua yang pastinya lebih banyak buku. Di bagian atap ada lukisan lukisan tiga dimensi tentang awan biru dan langit lepas. Wah ini jauh lebih bagus dari harapanku.
Saat itu suasana sedang sepi,
kami dapat mendengar deru mesin pendingin ruangan dan sejenak aku merasa
bahagia melihat kumpulan buku buku itu.
"Hey, kok ngelamun?",
Liesl memukul pundakku.
"Kenalkan, ini Rosie."
"Oh..halo, aku Nara."
"I am Rosie, so.. i guess
this is your first time, isn't it?"
"Rosie berkebangsaan
Singapura, Nara. Jadi maaf aja kalau ternyata dia ngomongnya semacam Singlish
gitu. Hahahah. Dia bisa bahasa Indonesia juga tapi belum lancar", Po
tertawa dan kulihat muka Rosie memerah malu.
"Hello, the kite
runner!", Rosie menggelayut manja di bahu Po. Ah, ternyata mereka sepasang
kekasih.
"Iya, daripada kamu bingung, Nara. They are actually A Match Made in High School", kata Liesl
"Iya, daripada kamu bingung, Nara. They are actually A Match Made in High School", kata Liesl
Aku tersenyum mendengar
penjelasan itu.
"You know, what.. kalian
berdua pergi aja deh sana menikmati sunset. Biar aku temani Nara di sini.",
Liesl menarik tanganku untuk duduk di sebuah kursi.
"Kamu yakin?", kata
Rosie.
"Yup. Ngga apa kan,
Nara?"
"Yah aku ditemani ya
syukur..ditinggal sendiri juga nggak apa apa kok. Udah puas sama buku buku
ini.",kataku terkekeh.
"Bipbipbipbip", sebuah
suara mengagetkanku.
"It is the time keeper.
Both of you should beware of this thing.", kata Rosie
"Why?"
"Because it looks like A
Monster Calls."
Aku makin bingung mendengar
jawaban Rosie.
Rosie berjalan ke arah meja
tinggi dan mengeluarkan sebuah jam pasir setinggi sekitar 20 cm.
"I wonder why you call it a
monster", kataku.
"Liesl, kau jelaskan nanti
ke Nara. Sekarang kami pergi dulu. Hati hati dengan jam itu ya!", kata Po
menggandeng Rosie pergi. Rosie terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan karena Po sudah mengajaknya menjauh keluar pintu.
"Kemari, kita duduk di sini
sambil aku bercerita.", Liesl menggiringku duduk di balik meja petugas
perpus. Ternyata Ada tiga buah sofa di sana, sebuah kulkas, dispenser air,
serta sebuah lukisan besar di dinding.
"Kau mau apa? A cup of Tarapucino or Jasmine Tea?", Liesl mengambil dua buah cangkir dan menyiapkan dispenser air.
"Tarapucino? Apa pula
itu... aku pilih teh biasa saja."
Sambil menunggunya menyiapkan
minuman, aku berjalan mengamati lukisan yang tergantung di salah satu dinding.
Gambar itu menunjukkan seorang
Raja dengan burung mockingbird bertengger di bahunya. Raja itu sekilas tampak
biasa saja, tetapi burung di bahunya sangat menyeramkan. Matanya merah dan
paruhnya yang sedikit terbuka membuatnya makin terlihat kejam.
"The Runaway King After
D-100"
Tulisan di bawah lukisan itu.
"Jadi, apa sebenarnya jam
pasir itu?",tanyaku.
" Bokken adalah seorang
wanita biasa yang mencintai buku, sampai suatu hari keajaiban terjadi dari
sebuah buku yang ia baca. Bellamore A Beautiful Love To Remember, judulnya.
Buku itu suatu ketika membuka di bagian paling belakang. Tiba tiba dari kertas
putih keluarlah sinar menyilaukan dan seorang lelaki yang tampan. Singkat
cerita ternyata lelaki itu raja dari Negeri bernama "A World without
heroes". Kau boleh tertawa tak percaya, tapi itulah yang terjadi. Ia pergi
melarikan diri dari burung peliharaannya yang ternyata adalah seorang penyihir
jadi jadian. Penyihir itu mengancam akan membunuh Raja dan mengambilnya sebagai
tumbal, tetapi karena raja berhasil melarikan diri, ia tak pernah tahu
bagaimana kabar penyihir gelap itu. Oh ya, Raja itu memiliki kemampuan ajaib
yang membuatnya mampu membuat sebuah perpustakaan lengkap dengan isinya dan
sebuah kota dalam hitungan hari. Asal kau tahu saja, kota inilah yang ia
bangun."
"Lalu para
penghuninya?"
"Beberapa adalah tunawisma
yang datang setelah menerima penawaran dari Raja yang berpura pura sebagai
petugas sosial. Lainnya datang dari berbagai kota, Yah, dengan iming iming
gratis kau akan dengan mudah mendapatkan banyak peminat untuk menempati sebuah
kota."
"Terus?"
"Raja itu memiliki sebuah amanat untuk Bokken sebelum meninggal. Kalau Bokken harus membalik jam pasir ini tiap 12 jam sekali, atau jika tidak, sebuah petaka akan terjadi."
"Terus?"
"Raja itu memiliki sebuah amanat untuk Bokken sebelum meninggal. Kalau Bokken harus membalik jam pasir ini tiap 12 jam sekali, atau jika tidak, sebuah petaka akan terjadi."
"Oke..lalu?"
"Bokken meninggal dan
mewariskan amanat itu ke Rosie, asisten kepercayaannya."
"Ada yang pernah mencoba
mengabaikan amanat itu?"
"Tak pernah,sepertinya. Aku
juga tak mau berurusan dengan hal-hal aneh. Lagian kan kita cuma perlu
membalikkan jam itu. Bukanlah sebuah tugas yang sulit."
"Jadi, kapan jam berikutnya
harus dibalik?"
"Jam 3 malam nanti."
"Oke, gampang sekali."
Kami meninggalkan sofa dan
berjalan ke arah lemari lemari buku. Di sana kami khusyuk memilih milih buku
dan bertukar cerita, tanpa memedulikan waktu berlalu.
"Bipbipbipbip." Sebuah
suara membangunkanku. Sial, rupanya aku dan Liesl tertidur.
"Bipbipbip." Suara itu
terdengar lagi. Berisiknya bukan main.
Astaga!! Jam pasir itu!!
Aku berlari dari lantai dua
sambil meneriaki Liesl.
"Bangun, Liesl. Kamu di
mana? Jam itu bunyi!!! Liieesll!!"
Terbirit birit aku mendekati
meja tinggi untuk mencari jam pasir.
Tapi terlambat, sebuah sinar
muncul dari sebuah sisi lemari. Begitu menyilaukan, begitu menggoda.
Aku berjalan mendekati sinar itu. Terperangah dengan takjub, sinarnya menenangkan, kemudian berganti berkilau dengan warna kuning yang lembut.
"Bukkk" Sebuah buku
dilempar ke arah kepalaku.
Aku mengaduh kesakitan. Tersadar
dari godaan sinar itu, aku mengambil buku yang tadi dilempar ke arahku. Buku
berwarna ngejreng itu ternyata " The Not-So-Amazing Life of
@aMrazing" well, this is not so amazing night of my nightmare, i
think.
"Naraaa. Menjauh dari buku
itu!!", aku mendengar jeritan Liesl dari arah tangga.
Buku itu? Yang mana maksudnya?
"Sial!! Menjauh dari cahaya
sialan itu, Nara!!"
Aku
memandangnya sejenak, lalu melambaikan tangan. Rasanya cahaya ini jauh lebih
damai dari perpustakaan ini. Lagian apa salahnya kalau aku mendekatinya?
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pintu perpustakaan terbuka, sepasang kekasih masuk dan memandang sekeliling.
"Oh, shit!.. This Lullaby....."
Sebuah
tembang mengalun pelan dari arah meja tinggi petugas perpus. Seorang gadis
dengan panik mencari sesuatu di balik meja.
"The
Mysterious Howling...Oh, damn!", katanya sambil menatap jam pasir yang
berkilau misterius.
"Rosie,
what's wrong?"
"Liesl!!
Nara!!", teriak gadis itu panik.
Ia
berlari menuju rak rak buku dengan isi yang telah berhamburan di segala tempat.
"Apa yang terjadi? Mengapa semua buku di sini berantakan? Liesl, kamu di mana??", Lelaki pasanganya ikut berteriak. Mereka mencari ke seluruh sisi tumpukan buku. Mungkin berharap ada orang yang mereka temukan, atau ada penjelasan di balik peristiwa kacau itu.
Saat si Wanita mencari ke salah satu rak, di bagian atas terdapat sebuah buku yang masih dalam posisi utuh, seperti tersusun sendirian. Ia memanjat rak dan mengambilnya. Sebuah buku berjudul Measuring up, ia buka satu demi satu halamannya dengan tidak sabar. Di halaman terakhirnya, muncul gambar aneh yang tak berhubungan dengan buku itu.
"aaaaaaaa!!!",
ia berteriak.
Sang
lelaki menghampirinya dan melihat halaman yang sama.
"Oh,
sial!!"
Foto Dua
orang gadis berekspresi terkejut ada di halaman terakhir buku itu. Berserta
sebuah tulisan di bawahnya "To kill a mockingbird, you should kill the King and her friends too.".
woow keyeen hehe...
BalasHapusaku daritadi nyari2 to kill a mocking bird ga nemu2.. ehhh ternyata muncul di bawah. :D
Ada typo nih vin dikit kok hehe:
"Wah, masih jauh, Nona. Kamu dari kora sebelah?"