Senin, 25 Mei 2015

Before We Go (Part -4)



Lanjutan cerita dari @putrisekarbc di blog  http://putrisekarbc.blogspot.com/

 "Selamat ulang tahun, Azka.", kata Andra sambil memberikan bunga tersebut lalu mencium pipiku. 

"Oh, tumben kamu ingat?", aku melirik penuh minat ke kotak merah yang dibawanya.

"Jadi kamu kira aku lupa?"

"Selama ini kan biasanya memang begitu. Lagian tumben kamu manis banget. Kemarin kan kamu menyebalkan.", jawabku sambil duduk di sofa.

"Ya sudah, aku minta maaf deh untuk yang kemarin. Yang penting kan sekarang aku sudah di sini buat kamu."

"Terus?", tanyaku dengan lagak sedikit jual mahal.

"Kok kamu gitu sih,Ka? Aku beneran minta maaf untuk yang kemarin. Pagi-pagi aku sudah ke toko bunga untuk membelikanmu ini. Dan sekarang jawabanmu ketus banget. Mau kamu apa?", jawab Andra dengan nada tinggi.

Duh, kok jadi gini. Pikirku. Aku kan cuma ingin sedikit jual mahal. Tapi aku jadi ingat betapa mengesalkannya kelakuan Andra yang hampir selalu cuek selama mengurus pesta pernikahan ini. 

"Aku capek, Ndra. Kamu kira aku bisa disogok dengan bunga? Aku perlu perhatianmu juga untuk acara pernikahan kita, Ndra."

"Aku sudah mengantar kamu ke sana kemari mengurus ini itu. Kurang apa lagi?"

"Kamu itu bukan supir, Ndra! Kamu juga calon mempelai! Tapi kamu nggak mau memberi saran, pendapat atau bantu memilih barang!"

"Kan kamu yang mau perayaan besar-besaran, Ka. Bukan aku!"

"Ya sudah kalau begitu, kita nggak usah nikah saja sekalian. Capek tau makan hati terus dari kemarin!", kataku yang kemudian kusesali.

"Oke. Terserah kamu. Kalau kamu maunya begitu, ya sudah. Kita berpisah saja dulu sementara!"

Andra dengan emosi meninggalkan rumahku sementara aku terdiam memikirkan pertengkaran barusan.
Mungkin memang benar ini jalan terbaik. Biar kami memikirkan lagi hubungan ini.


Di dalam kafe, aku sedang memainkan kotak merah dari Andra yang tertinggal ketika ada tangan menepuk bahuku. 

"Azka? Kamu Azka, kan?", suara lelaki yang terasa amat kukenal.

"Agung? Hai! Iya aku Azka. Lama nggak dengar kabarmu. Sekarang sudah balik ke Jakarta nih?", aku menahan kegugupan yang seketika memenuhi hatiku.

Agung pernah menjadi kekasihku semasa kuliah. Setelah lulus, ia pindah ke Riau, mulai saat itu hubungan kami renggang sampai kemudian terhenti sama sekali. Tak ada kata putus terucap, tapi aku selalu merasa hubungan kami sudah berakhir. Mana mungkin ada status pacaran tapi tak ada komunikasi selama bertahun-tahun, iya kan?

Agung duduk di kursi di hadapanku. Sosoknya masih sama, makin tegap malahan. Tatapan matanya masih seteduh dulu. Senyumnya.. Tunggu. Kenapa aku jadi malah memandangi mantan pacar, padahal beberapa menit yang lalu aku masih menangisi calon suami yang egois?

"Matamu bengkak. Habis menangis ya? Kenapa? Ah, pasti habis berantem sama pacar ya?", goda Agung.

"Kok kamu tahu?"

"Masalah klasik sih. Biasanya kalau ada wanita cantik sendirian di kafe, melamun, matanya bengkak. Itu ciri-ciri baru berantem ama pacar. Semoga bukan karena putus ya?", tanyanya.

"Biasanya? Kamu masih saja jadi playboy di hati para wanita ya, Gung?", tanyaku sambil tersenyum.

"Nah. Gitu donk, kalau senyum kan tambah cantik."

Aku tersipu malu. Diam-diam kumasukkan kotak merah dari Andra ke dalam tas. Kulanjutkan obrolan bersama Agung tanpa menyadari ada seseorang yang mengamati kami dari jauh.

simak kelanjutan ceritanya di agungstia.blogspot.com oleh Agung Setiawan @agungdospy