Lanjutan cerita dari @putrisekarbc di blog http://putrisekarbc.blogspot.com/
"Selamat
ulang tahun, Azka.", kata Andra sambil memberikan bunga tersebut lalu
mencium pipiku.
"Oh, tumben
kamu ingat?", aku melirik penuh minat ke kotak merah yang dibawanya.
"Jadi kamu
kira aku lupa?"
"Selama ini
kan biasanya memang begitu. Lagian
tumben kamu manis banget. Kemarin kan
kamu menyebalkan.", jawabku sambil duduk di sofa.
"Ya sudah,
aku minta maaf deh untuk yang
kemarin. Yang penting kan sekarang
aku sudah di sini buat kamu."
"Terus?", tanyaku dengan lagak sedikit jual mahal.
"Kok kamu gitu sih,Ka? Aku beneran minta maaf untuk yang kemarin. Pagi-pagi
aku sudah ke toko bunga untuk membelikanmu ini. Dan sekarang jawabanmu ketus
banget. Mau kamu apa?", jawab Andra dengan nada tinggi.
Duh, kok jadi gini. Pikirku. Aku kan cuma
ingin sedikit jual mahal. Tapi aku jadi ingat betapa mengesalkannya kelakuan
Andra yang hampir selalu cuek selama mengurus pesta pernikahan ini.
"Aku capek,
Ndra. Kamu kira aku bisa disogok dengan bunga? Aku perlu perhatianmu juga untuk
acara pernikahan kita, Ndra."
"Aku sudah
mengantar kamu ke sana kemari mengurus ini itu. Kurang apa lagi?"
"Kamu itu
bukan supir, Ndra! Kamu juga calon mempelai! Tapi kamu nggak mau memberi saran, pendapat atau bantu memilih barang!"
"Kan kamu yang mau perayaan besar-besaran, Ka. Bukan aku!"
"Ya sudah
kalau begitu, kita nggak usah nikah saja
sekalian. Capek tau makan hati terus
dari kemarin!", kataku yang kemudian kusesali.
"Oke. Terserah
kamu. Kalau kamu maunya begitu, ya sudah. Kita berpisah saja dulu
sementara!"
Andra dengan
emosi meninggalkan rumahku sementara aku terdiam memikirkan pertengkaran
barusan.
Mungkin
memang benar ini jalan terbaik. Biar kami memikirkan lagi hubungan ini.
Di dalam kafe, aku sedang memainkan kotak merah dari Andra yang tertinggal ketika ada tangan menepuk bahuku.
"Azka? Kamu
Azka, kan?", suara lelaki yang terasa amat kukenal.
"Agung?
Hai! Iya aku Azka. Lama nggak dengar
kabarmu. Sekarang sudah balik ke Jakarta nih?", aku menahan kegugupan yang
seketika memenuhi hatiku.
Agung pernah
menjadi kekasihku semasa kuliah. Setelah lulus, ia pindah ke Riau, mulai saat
itu hubungan kami renggang sampai kemudian terhenti sama sekali. Tak ada kata
putus terucap, tapi aku selalu merasa hubungan kami sudah berakhir. Mana
mungkin ada status pacaran tapi tak ada komunikasi selama bertahun-tahun, iya
kan?
Agung duduk di
kursi di hadapanku. Sosoknya masih sama, makin tegap malahan. Tatapan matanya
masih seteduh dulu. Senyumnya.. Tunggu. Kenapa aku jadi malah memandangi mantan
pacar, padahal beberapa menit yang lalu aku masih menangisi calon suami yang
egois?
"Matamu
bengkak. Habis menangis ya? Kenapa? Ah, pasti habis berantem sama pacar
ya?", goda Agung.
"Kok kamu tahu?"
"Masalah
klasik sih. Biasanya kalau ada wanita cantik sendirian di kafe, melamun,
matanya bengkak. Itu ciri-ciri baru berantem ama pacar. Semoga bukan karena
putus ya?", tanyanya.
"Biasanya?
Kamu masih saja jadi playboy di hati
para wanita ya, Gung?", tanyaku sambil tersenyum.
"Nah. Gitu donk, kalau senyum kan tambah
cantik."
Aku tersipu
malu. Diam-diam kumasukkan kotak merah dari Andra ke dalam tas. Kulanjutkan
obrolan bersama Agung tanpa menyadari ada seseorang yang mengamati kami dari
jauh.
simak kelanjutan ceritanya di agungstia.blogspot.com oleh Agung Setiawan @agungdospy